info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Menghilangkan “Aku”

Trisa Melati 13 Februari 2013

 

Kondisi kelas yang hanya berupa 1 ruangan dibagi 3 sekat memungkinkan aku hampir selalu melongok ke kelas 4 (yang hanya terpisahkan triplek tipis dengan kelasku, bahkan tidak ber”pintu”). Aku selalu tertarik memperhatikan anak-anak kelas 4 mengerjakan soal, terutama karena banyak sekali materi yang beririsan dengan materi pelajaran kelas 5 yang aku ajar. Aku juga sering mencuri dengar tanya-jawab yang dilakukan wali kelas mereka, Pak Ef, dengan mereka. Kelas 4 melakukan permainan semacam cerdas-cermat dan tanya-jawab hampir setiap hari. Pak Ef selalu penuh dengan candaan sehingga kelasnya selalu “hidup” dan ceria.

Aku sering iri. Beberapa kali aku memuji Pak Ef karena berhasil membuat murid-muridnya begitu aktif dalam pembelajaran. Kuakui aku sering agak kecewa dengan murid-muridku yang, walaupun kelas 5, kemampuan akademisnya masih di bawah beberapa anak kelas 4. Memang itu bukan kesalahan mereka. Kekurangan guru membuat mereka harus “kehilangan” beberapa tahun pelajaran.

Suatu hari, anak-anak kelasku sedang mencatat sesuatu di papan tulis. Sambil menunggu meeka mencatat, aku memperhatikan kelas 4 di bilik sebelah yang sedang mengerjakan soal matematika di papan tulis. Soalnya mudah, hanya mengisi garis bilangan dengan bilangan negatif. Saat itu yang sedang kebagian giliran menjawab pertama adalah murid yang “kurang” dibandingkan teman-temannya. Jawaban yang dia berikan kacau. Digantikan oleh temannya yang “agak pintar”, ternyata masih salah lagi. Sekarang giliran si anak yang katanya “paling pintar” matematika. Ternyata dia pun masih salah. Di sana aku menyadari, sebetulnya murid-murid di kelas 4 sama saja dengan murid kelas 5. Memang ada 2-3 anak yang cemerlang dan kadang langsung memberikan jawaban yang benar, namun ada juga yang, begitu maju ke depan, langsung diam seribu bahasa di hadapan papan tulis. Sekalinya tangannya terangkat dan menuliskan jawaban, jawabannya sama sekali tidak berhubungan dengan soal.

Tapi ada yang berbeda. Mereka melakukan semuanya dengan ceria dan bersemangat. Sekalipun mereka buntu, suasana belajar mereka justru tetap menyenangkan. Anak-anak menerima tantangan Pak Ef dengan bersemangat meskipun mereka tidak mengerti apa yang harus mereka tuliskan di depan. Tidak seperti murid-murid di kelasku yang sering sungkan maju ke depan untuk menjawab pertanyaan, murid-murid Pak Ef selalu dengan sukarela mengajukan diri, seberapapun kacau jawaban mereka akhirnya.

Ah, suasana ini yang mulai hilang dari kelasku. Jika aku refleksikan, sepertinya ini karena aku mulai menekan mereka dengan tuntutan bahwa mereka harus mengerti apa yang aku ajarkan. Mengulang pelajaran 3-5 kali sih oke saja, tapi ini mengulang hingga puluhan kali? Mereka sudah kelas 5, masa iya belum juga menguasai konsep dasar dari pembagian, dan mengurangi bilangan pun kadang-kadang masih salah? Aku khawatir kalau terus-terusan mengulang, mau maju kapan?

Apalagi, “kegagalan” di semester sebelumnya makin menghantuiku. Aku khawatir semester genap ini aku mesti menaik-naikkan nilai mereka karena belum memenuhi KKM[1]. Dan kalaupun aku memaksa menaikkelaskan mereka, apakah mereka akan sanggup menerima pelajaran kelas 6 nantinya? Terutama pelajaran matematika, karena pelajaran ini yang sangat memerlukan konstruksi dan pondasi pemahaman awal yang baik. Dengan kemampuan mereka yang masih seperti sekarang, aku khawatir prestasi mereka tidak akan cukup baik. Aku khawatir akan kecewa pada diriku sendiri karena merasa tidak mengajar mereka dengan becus. Aku khawatir jika gurunya di kelas 6 nanti akan berkata “Lho, gimana sih Bu Trisa ini, kok murid yang diajarnya semua belum bisa perkalian dan pembagian?”

Aku khawatir aku akan malu.

Ketika aku mengutarakan hal ini pada Pak Ef, beliau mengatakan kalimat yang menarik, “Buk, Ibu mengajar untuk siapa? Kita menjadi guru kan untuk murid,”

Dan aku tersentak.

Pak Ef memang masih sangat muda. Baru 2 tahun dia lulus SMA. Di saat pemuda seusianya masih sangat haus akan harta dan tahta serta pengakuan lingkungan sekitarnya, menurutku dia justru sangat berhasil mengesampingkan ke”aku”annya dan mengabdikan diri sebagai pengajar dari Airguci, untuk Airguci.

Beliau dimentori oleh Pak Hasnel, guru senior dan bahkan guru pertama yang mengajar sejak kelas Airguci ini dibangun 17 tahun yang lalu. Meskipun dengan pengabdian yang sudah begitu lama, bahkan hingga kini beliau belum diangkat menjadi guru PNS. Namun kerja beliau begitu ikhlas. Setiap hari selalu menyapa murid-muridnya, mendongeng, melukiskan senyum dan semangat di hati anak-anak. Beliau adalah pendidik sejati. Hatinya besar dan begitu terbuka terhadap perubahan. Tidak heran jika Pak Ef bisa terinspirasi dan mengikuti jejak beliau menjadi guru dari Airguci, untuk Airguci.

Memang itu adalah kata-kata yang dia ulangi setiap kami mengobrol mengenai nasib guru honorer seperti dia dan Pak Hasnel: “Kalau mau kaya, mencari uang, memang ngapain jadi guru, Buk. Jadi guru itu kan berarti bagaimana menjadi guru untuk murid kan Bu, bukan untuk jabatan, bukan untuk diangkat PNS, bukan untuk uang.”

Bagi aku dan teman-teman yang mungkin hanya merasakan pengalaman ini selama 1 tahun, banyak hal yang mengusik idealisme tersebut. Tapi dengan melihat orang seperti pak Ef dan Pak Hasnel yang menjalani ini bertahun-tahun, aku kembali tersadarkan. Memang “penyimpangan” idealisme tersebut tidak selalu berkaitan dengan materi. Yang sering aku lupakan adalah bahwa aku mengajar bukan untuk kepuasanku sendiri. Aku mengajar untuk murid-muridku.

Kegalauan yang kurasakan ini, semuanya bersumber dari aku. Karena aku merasa aku telah gagal mengajari mereka. Aku merasa apa yang aku lakukan tidak ada gunanya. Karena aku tidak merasa aku telah memberikan perubahan bagi anak-anakku. Aku, aku, selalu aku.

Andai aku berhasil mengesampingkan aku seluruhnya, aku tidak akan risau jika anak-anak tetap pada ketidaktahuannya. Aku akan tetap bersabar hingga mereka terpuaskan rasa ingin tahunya, seberapa banyakpun aku harus menguang, seberapa besarpun aku harus berusaha.

Ternyata memang masih sulit melepaskan “aku” dari diriku. Terbukti, caraku menulis blog ini saja masih begitu banyak porsi yang menyebutkan aku. :D

[1]Kriteria ketuntasan minimum, atau nilai minimum yang harus didapatkan untuk dinyatakan berhasil/naik kelas


Cerita Lainnya

Lihat Semua