info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bukan Tentang PM

Trisa Melati 25 Februari 2013

 

Merah putih berkibar berlatarkan awan mendung yang menggelayuti langit. Sudah pukul 8 pagi, namun gelap seperti masih pukul 6. Di ujung lapangan rumput di ujung talang, sebuah bangunan kecil berdiri. Berbeda dengan titik lainnya yang sepi karena sebagian besar penghuninya sudah pergi nakok[1], bangunan berdinding warna kuning itu justru ramai dan gaduh oleh suara anak-anak. Seolah-olah seluruh aktivitas di talang Airguci hanya berpusat di situ. Itu adalah sekolahku tersayang.

Dan anak-anak bukan satu-satunya sumber keramaian tersebut. Dengan ruangan yang kecil, disekat seadanya dengan papan triplek, 5 rombongan belajar dengan total 45 anak dan 5 guru di dalamnya, tentulah ruangan berukuran 7x5 itu tidak bisa dikatakan sepi. Tenggorokanku kering dan agak perih karena dipaksa memekik nyaring. Murid-muridku mengerutkan kening mereka karena tak peduli seberapa keras aku berteriak, suaraku tetap bercampur dengan suara lainnya. Akhirnya aku berhenti dan menunggu kegaduhan mereda. Meskipun sulit, karena di sekat kelas 1 dan 2 sepertinya flow mengajar terus-terusan tinggi.

Hari ini aku menyadari sesuatu: makin sulit mempertahankan agar suaraku terdengar oleh murid kelasku di tengah bisingnya suara dari kelas-kelas sebelah. Kami, para guru seperti saling berperang mengatasi suara masing-masing. Suaraku tidak juga cukup kuat. Sejauh yang kuingat, tidak pernah sesulit ini sebelumnya.

Lalu, menyadari apa yang sebetulnya tengah terjadi, dalam hati aku bersyukur: “kebisingan” ini adalah indikator bahwa guru-guru lain mulai disiplin hadir untuk mengisi jam pelajarannya.

Sewaktu zaman Dimas, PM pendahuluku, mengajar di sini, bahkan secara administratif—yang tercatat—hanya ada 3 guru untuk 5 rombongan belajar, kurang 2 guru dari yang seharusnya. Dan dari 3 orang tersebut konon ada saja yang jarang masuk, dan sekalipun masuk pastilah di atas pukul 8. Otomatis, kondisinya adalah 5 rombongan belajar ini kekurangan guru dan Dimas harus mengisi kekosongan tersebut. Tidak jarang Dimas harus memegang kelima rombongan belajar itu sekaligus. Mungkin bagi sebagian PM, merupakan kebanggaan tersendiri jika bisa memegang banyak rombongan belajar sekaligus. Aku sendiri pun sewaktu masa training sempat “berharap” akan mendapatkan sekolah penempatan dengan kondisi “menantang” seperti itu.

Sekitar 2 bulan yang lalu, aku ingatorang tua piaraku berkata, “kamu seharusnya seperti Dimas, dia mengajar semua kelas sehingga semua murid kenal dengannya. Kalau kamu kan hanya mengajar kelas 5.”

Memang ucapan tersebut sempat membuatku sedih dan merasa minor, aku merasa diriku kurang kompeten. Tapi ketika aku menanyakan pada diriku sendiri: kira-kira mengapa aku tidak bisa seperti Dimas?

Aku menemukan jawabannya:

Karena kini semua guru hampir selalu hadir tepat waktu!

Kini, 5 wali kelas telah ditetapkan untuk 5 rombongan belajar. Jadi, secara de facto tidak ada kekurangan guru seperti tahun ajaran lalu. Dalam hal pelaksanaan pun hampir semua guru datang tepat waktu dan penuh waktu. Jadi aku sebagai “guru bantu” tidak perlu lagi memegang 5 rombel sekaligus seperti zaman Dimas dulu.

Biasanya setiap pukul 7.30 memang aku satu-satunya guru yang sudah hadir di sekolah kelas jauh ini. Kalau sudah begitu, aku akan mengondisikan agar kelima rombongan belajar yang ada—kelas 1 hingga kelas 5—untuk berkegiatan bersama, misalnya bernyanyi atau bermain bersama, atau menulis surat untuk sahabat pena. Hal ini akan berlangsung hingga guru lainnya datang, sekitar pukul 8 atau 8.15. Namun akhir-akhir ini tidak lagi. Sebut saja sejak semester 2 ini dimulai, aku tidak lagi sempat menyapa seluruh rombel dengan “nyanyian pagi” seperti sebelumnya karena guru kelasnya juga sudah hadir dan memulai pelajaran pukul 7.30 teng. Kalau aku masih juga ngotot, wah, artinya aku melangkahi kewenangan guru lain.

Dan aku menganggap ini kemajuan. Tentu saja kemajuan. Kemajuan, meskipun aku tidak sempat mengukur kemampuanku sendiri dalam memegang 5 rombongan belajar sekaligus.

Namun menjadi PM bukanlah berarti unjuk kebolehan “berapa banyak rombel yang bisa dipegang oleh seorang PM” atau “seberapa bobroknya sekolah penempatan PM” atau “seberapa menantangnya kondisi geografis dan sosiologis di daerah penempatan PM”. Bukan, ini bukan tentang seberapa “hebat” dan “berat” usaha PM yang ditugaskan di sana. Bukan mengenai prestasi yang dilakukan oleh seorang PM di daerah penempatannya. Bukan juga mengenai seberapa banyak perubahan yang disebabkan oleh seorang PM. Aku pribadi merasa perubahan yang terjadi bukanlah karena aku, namun aku merasa bangga bisa hadir di sini dan menyaksikan ketika perubahan itu terjadi.

Setiap PM yang ditugaskan di daerahnya, apalagi yang menggantikan PM lain, bukan bekerja sebagai pribadi independen. Ia bekerja sebagai bagian dari tim, dari sebuah proyek yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Karena, sekali lagi, ini bukan tentang PM. Ini bukan tentang “aku”.

[1]Menyadap karet


Cerita Lainnya

Lihat Semua