Ketika Rambutku Memutih Nanti

Trisa Melati 30 Juni 2012

“Tunggu kami ya Pak, suatu saat nanti kami akan menyusul Bapak ketika cita-cita kami sudah tercapai”

Mona adalah nama anak itu. Saat itu adalah acara perpisahan Dimas Sandya, Pengajar Muda angkatan 2, dengan anak-anak dan rekan gurunya di kelas jauh SDN 10 Rambang, Talang Airguci. Di tengah malam buta, di tengah gulita, Mona selaku murid yang diajar Dimas membacakan puisi dengan suara bergetar dan setelah beberapa saat, isak mengiringi kalimat-kalimatnya.

Hatiku ikut tergetar, kurasakan tengkukku merinding, padahal udara tidak sedingin itu. Aku akan menggantikan Dimas berinteraksi dengan anak-anak hebat itu untuk setahun ke depan. Berapa banyak anak SD yang sudah menyadari arti sebuah cita-cita, yang punya alasan untuk menggapai mimpi?

Seingatku, semasa SD aku belum seperti itu. Aku punya cita-cita tapi belum berpikiran akan mempersembahkan cita-cita itu untuk seseorang. Aku ingin menjadi desainer atau astronom, hanya  itu. Dulu aku belum punya kesadaran untuk membuat guruku bangga lewat prestasiku. Dulu kupikir prestasi dan cita-cita hanya untuk diriku sendiri saja. Tapi Mona sudah punya afeksi yang sedemikian kuat di tahun kesepuluhnya hidup di dunia. Ia bisa menangis ketika menyampaikan sepenuh hati bahwa dia berjanji akan menemui Pak Dimas lagi ketika ia sudah berhasil.

Gadis cerdas ini juga yang menyambutku di hari pertama dengan tulisan “Selamat Datang Ibu Trisa” pada selembar papan. Mona, seorang gadis kecil dari talang terpencil di Muara Enim. Cita-citanya menjadi polwan. Dalam dirinya sudah ditanamkan sebuah hasrat untuk menjadi yang terbaik. Ketika menjadi polwan, dia akan menjadi polwan yang memiliki pemahaman mendunia.

Aku jadi agak melankolis. Anganku melayang ke suatu masa di depan sana. Ketika rambutku sudah memutih, ketika keriput telah menghias kulitku, ketika dunia perlahan melupakanku dan aku perlahan melupakan dunia, mungkin akan datang seorang lanang yang tegap, seorang betina yang anggun. Mungkin wajahnya tidak akan kukenali, namun binar di matanya aku ingat pernah kulihat jauh di masa lalu. Ketika aku bertanya, mereka akan menjawab, “Kami pernah diajar Ibu, dulu, di talang kecil bernama Airguci. Sekarang kami sudah memberi sumbangsih pada dunia, Bu, sesuai cita-cita yang pernah kami katakan kepada Ibu,”

Ah, akankah aku mendapatkan kehormatan untuk mengalami hal tersebut? Yang paling penting, akankah aku berhasil membisikkan mimpi kepada anak-anakku untuk mendobrak keterbatasan, menembus keterpencilan? Mampukah aku membuat mereka berani menggantungkan cita-cita mereka di luar sana?

Aku pasti bisa.

Ah tidak, mereka pasti bisa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua