Ketapel

Trisa Melati 27 Mei 2013

Kata Asri, pengalaman kami setahun ini seperti ketapel. Seolah-olah kami ditarik ke belakang untuk mundur, padahal sebetulnya  itu untuk menimbulkan gaya elastisitas yang cukup besar sehingga ketika dilepas, kita bisa melanting, melambung, melontar jauh.

Berbeda dari teman-teman Pengajar Muda lainnya yang merupakan aktivis kampus dan peraih penghargaan sana-sini serta terbiasa berbicara di forum, aku orang yang gagu berbicara di depan umum. Jangankan di depan panggung besar, mengutarakan pendapat di kelas ketika kuliah saja rasanya menguras habis keberanianku. Ketika mewakili presentasi di depan mahasiswa baru, aku hampir kehabisan nafas saking deg-degannya. Aku ingat sewaktu final pemilihan Duta Batik Jawa Barat dulu aku mempermalukan diriku sendiri karena kehabisan kata-kata di atas panggung (kalau ingat itu, sering rasanya ingin membenamkan kepala ke tanah, seperti burung onta).

Ya, aku bukan seseorang yang bisa berbicara di depan publik. Aku pembicara yang sangat buruk. Jangankan menguasai audiens, menguasai diri sendiri saja aku tidak bisa. Aku tidak pernah berinisiatif terhadap sesuatu karena aku selalu bersama orang lain yang berinisiatif tinggi. Aku pendiam, pasif, dan tidak pernah cukup percaya diri untuk berbicara dengan orang lain.

Tapi rupanya selama setahun ini, terutama ketika mulai seorang diri di desa penempatan, aku terus-menerus ditantang untuk mendobrak batasku. Aku yang tidak pernah menjadi perhatian kini harus mempertahankan fokus anak-anak padaku 5 jam dalam sehari, di dalam kelas. Aku tidak pernah percaya diri untuk menyanyi di depan orang lain (karena suaraku fals), tapi demi anak-anak aku menyanyi di depan kelas, di saat upacara, di saat jalan-jalan pramuka, dengan suara yang lantang (memang bukan berarti suaraku jadi tiba-tiba bagus, sih). Semua hanya karena satu alasan: jika aku tetap menutup mulutku, dari siapa lagi anak-anakku akan belajar?

Ketika kali pertama aku datang ke sekolah, seorang diri, karena PM pendahuluku punya urusan lain, aku sempat gemetaran. Sempat dalam hati aku bertanya-tanya, “aduh, mau ngapain ya aku?” tapi setelah satu menit pertama terlewati, detik-detik berikutnya mengalir begitu saja.

Kondisi menantang lainnya disebabkan oleh tim kabupaten yang kecil, yaitu hanya berempat. Hal ini menyebabkan tiap orang memikul tanggung jawab ganda dibandingkan teman-teman di tim lain yang punya anggota lebih banyak.

Beberapa waktu yang lalu, aku menjadi fasillitator pada acara berbagi pendapat antar guru yang notabene dihadiri oleh para pengajar yang lebih senior daripada aku. Saat itu, disebabkan beberapa hal, partner fasilitatorku harus bekerja di pos lain sehingga porsi fasilitator yang seharusnya dibagi dua, 50:50, menjadi 80:20. Namun dalam kurun waktu 2,5 jam tersebut rupanya aku berhasil menguasai audiens dengan cukup baik, dengan manajemen waktu yang efisien pula. Ada haru terselip melihat para guru dengan bersemangat berdiskusi mengenai metode pembelajaran kreatif, lalu mempresentasikannya. Tawa memenuhi ruangan.

Hari itu aku memberikan tepukan pada pundakku sendiri. Bangga atas kemajuan-kemajuan kecil yang kudapatkan dalam setahun ini. Kalau diputar lagi ke belakang, aku sudah pernah “orasi” di hadapan bupati, kepala dinas, dan kepala sekolah di Muara Enim. Dan semua ini dimulai dengan memimpin sebuah kelas kecil di desa terpencil yang isinya hanya 7 anak.

Awali langkahmu dengan mengajar. Itu kata-kata yang digaungkan oleh Indonesia Mengajar, sambil menyebutkan sosok para pemimpin negara ini yang juga pernah mengajar. Rupanya benar adanya.

Menjadi guru SD mudah? Pikirkan lagi. Mudahkah menghadapi anak-anak kelas tiga yang melapor temannya sedang berkelahi (sambil menggunakan sapu!) ketika di saat yang sama kita harus mengajari anak-anak kelas 4 dan 5 sekaligus karena guru lain tidak ada yang masuk? Mudahkah meladeni ”laporan” setiap anak kelas satu yang mau pipis, yang mau makan, yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan? Mudahkah mempertahankan fokus murid-murid untuk tetap memperhatikan kita di kala mereka sendiri tida punya cukup motivasi untuk belajar?

Mengajar bukan hanya masalah menguasai materi atau tidak. Anak usia SD cepat dibuat kagum, namun juga cepat bosan. Lagi, mereka belum melihat apa pentingnya “belajar” bagi mereka sendiri, kecuali mereka cukup senang pada gurunya. Jadi setiap hari aku harus siap dengan amunisi untuk membuat mereka terpukau. Setiap hari, anak-anak menantangku untuk melakukan inovasi, baik dalam hal mengajar maupun memecahkan persoalan di antara mereka. Dibandingkan dengan itu, ternyata jauh lebih mudah “mengatur” orang dewasa yang sudah bisa mempertanggungjawabkan kelakuan masing-masing.

Kini hampir selesai masanya ketapelku ditarik ke belakang. Apakah sudah cukup energi potensial yang kudapat dari merentangkan karet ini? Apakah peluru ketapelku akan melompat tinggi dan jauh sehabis ini?

Entahlah, semoga saja :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua