Efriansyah Siap Untuk Kuliah
Trisa Melati 13 Mei 2013Efriansyah. Pak Ef. Ia sahabatku selama sebelas bulan penempatan ini. Sebagai guru muda yang masih bujang, dia yang paling punya waktu untuk berdiskusi dan membantuku dalam berbagai hal. Umurnya 5 tahun di bawahku, saat ini, ia hanya lulusan SMA. Tapi jangan pernah remehkan ia.
Pak Ef orang yang cerdas dan brilian. Aku pribadi merasa kecerdasan Pak Ef jauh di atasku. Ditambah lagi, keinginannya untuk belajar luar biasa. Di waktu senggang, aku sering mendapatinya membaca buku. Itu hal yang luar biasa karena membaca adalah aktivitas yang masih langka di desa penempatanku.Sewaktu persiapan Olimpiade Sains Kuark lalu, Pak Ef membaca buku komik Kuark lebih banyak daripada murid-muridnya. Biasanya (guru lain yang aku tahu) akan gengsi membaca buku yang dibaca anak-anaknya. Rupanya ia menyadari bahwa seorang guru sepatutnya belajar lebih banyak daripada muridnya, karena ia harus bisa mengevaluasi mana materi yang sudah dan mana materi yang belum dikuasai murid-muridnya.
Pak Ef memang pintar. Perjalanan akademiknya (untuk sementara) berhenti di SMA, itu bukan karena ia tak mampu. Karena prestasinya, ia dapat jalur PMDK untuk berkuliah. Tapi berbagai alasan dan keadaan menghalanginya untuk kuliah. Mungkin Airguci, kampung kami, belum siap untuk mengirim putra-putrinya berkuliah. Aku dan Dimas sering menyayangkan kecerdasan dan potensi Pak Ef dikebiri, terkubur begitu saja di tengah kebun karet ini.
Tapi hari ini ada kabar gembira. Sehabis mendampingi anak-anak senam pagi, aku dan Pak Ef duduk-duduk di pinggir lapangan bola, mengobrol sedikit. Tiba-tiba dia bilang, “Buk, kalau ibuk ke Palembang lagi, saya titip ambilkan brosur-brosur untuk kuliah ya Buk.”
Pak Ef mau kuliah!
“Bapak mau kuliah di bidang apa?” tanyaku.
“Ya pendidikan begini lah Buk. Tentang cara mengajar...”
“Bapak nggak mau coba UNSRI? Bisa tanya-tanya ke teman Bapak... tapi mungkin untuk tahun ini pendaftaran sudah agak telat sih...”
“Ngga tau juga saya Buk. Teman-teman saya itu kan pikir saya ngga kuliah karena saya yang ngga mau. Padahal kan keluarga saya yang ngga ingin saya kuliah Buk.”
Teman-teman SMA Pak Ef tinggal di desa, di jalan aspal, bagian yang sudah lebih “maju” daripada kampung kecil Airguci tempat kami tinggal ini, yang masih merupakan jalan tanah. Di desa, hampir semua warganya sadar pendidikan. Hampir semua lulusan SMAnya melanjutkan sekolah.
“Bapak lulusan tahun 2011 kan?”
“2010 Buk.” Aku terdiam. Aku sadar umurnya sudah terlalu tua untuk mengikuti penerimaan mahasiswa lewat SBMPTN. Aku mencoba bertanya dengan hati-hati. “Bapak mau kuliah di negeri atau swasta?”
“Ya pinginnya di negeri Buk. Tapi kalau di swasta saya bisa sambil kerja-kerja... jadi tukang sapu atau tukang cuci... buat nambah-nambah Buk.”
Dia juga mengatakan selama ini honornya menjadi guru telah dia tabung untuk kuliah, sementara hasil nakok (menyadap karet)nya ia pakai untuk keperluan hidup sehari-hari. Itupun, jangan bayangkan honornya besar. Karena ini baru tahun keduanya mengajar, honornya masih 250ribu per bulan.
“Pak, Bapak kan dulu tidak kuliah karena keluarga tidak mengizinkan... sekarang bagaimana Pak? Udah diizinkan?”
“Ya keluarga saya masih seperti itu Buk. Mungkin di sini kan belum sadar pentingnya pendidikan. Buat apa, toh masih bisa hidup dengan hasil kebun karet ini.” Memang benar. Di Airguci, belum pernah ada orang yang mengenyam bangku perkuliahan. Yah, ada satu orang sekarang, Pak Depriadi, itu pun berupa Universitas Terbuka.
“Kalau di Universitas Terbuka seperti Pak Dep, bagaimana Pak? Itu kan kuliahnya hanya Sabtu-Minggu, jadi bapak masih bisa ke Airguci.”
“Kalau di UT minimal harus sudah 2 tahun mengajar... itu pun tergantung peminat, harus memenuhi kuota, minimal 50 orang untuk membuka angkatan baru.”
Selama berbicara, ia menunduk sambil terus menggambar-gambar di atas tanah berpasir dalam kecanggungan. Tidak sanggup menegakkan kepalanya, sepertinya. Aku jadi bisa tahu seberapa beratnya ia mengutarakan itu semua. Suaranya kadang bergetar dan kadang diselipi tawa miris. Aku kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan padanya, meyakinkan apakah dirinya siap dengan berbagai risiko yang mungkin terjadi. Semua ia jawab dengan lancar. Pastilah selama ini dia juga terus berdiskusi pada dirinya sendiri.
Ya, Pak Ef sudah siap untuk kuliah. Ia siap “melawan” keluarganya, ia siap “menderita” dan bersusah-payah, siap bekerja membanting tulang untuk membiayai kuliahnya. Siap menjadi seorang diri. Iya. Pak Ef akan kuliah, apapun risikonya. Meskipun pada kenyataannya, aku yakin ia tak akan mengalami yang seberat itu. Orang secemerlang Pak Ef pastilah akan mendapat banyak kemudahan dalam hidupnya. Mungkin dia akan mendapatkan beasiswa, mungkin dia akan menjadi asisten dosennya. Tapi yang terpenting adalah: ia siap kuliah.
Pak Ef akan menjadi pemutus rantai “ketidakberpendidikan” di Airguci. Keberaniannya mengambil risiko untuk berkuliah akan menjadi motivasi bagi anak-anak didiknya kelak. Apalagi, Pak Ef adalah guru yang sangat disayangi oleh murid-muridnya. Kesiapan Pak Ef untuk kuliah ini bagiku bukan hanya awal revolusi bagi dirinya sendiri, melainkan bagi seluruh Airguci.
Efriansyah siap untuk kuliah, catatlah ini wahai dunia!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda