Kemurahan Hati untuk Mahalnya Persahabatan

Trisa Melati 16 Agustus 2012

Sepotong pin Irfan Bachdim menyertai sepucuk surat itu.

Bagi kita yang biasa tinggal di perkotaan, barang tersebut mungkin tidak berarti apa-apa. Apalah artinya pin Irfan Bachdim. Murah, mudah didapat, bahkan kita bisa membuat atau mencetaknya sendiri. Saking mudahnya didapat, bisa jadi barang itu tidak bernilai buat kita.

Tapi pin itu dikirimkan oleh seorang anak SD dari Bima untuk sahabat penanya di Muara Enim. Di daerahnya di Bima, di pulau kecil di tengah Indonesia, bisa jadi pin bergambar pemain Tim Nasional Indonesia itu merupakan barang mewah karena susah didapat. Mungkin juga beberapa kali lipat lebih mahal daripada harganya di Jakarta. Sekurang-kurangnya, pin itu pasti sangat berarti baginya karena bergambarkan pemain sepak bola idolanya (begitu ia sebutkan di dalam surat). Toh tetap saja dia dengan tulus mengirimkannya kepada sahabat penanya yang bahkan belum pernah ia temui, demi terjalinnya suatu persahabatan. Demi menunjukkan kepada sahabatnya, siapa dia, siapa idolanya, apa cita-citanya, bagaimana kehidupannya.

Anak-anak memang tulus. Aku pernah mendengar salah satu cerita Dimas (PM II yang aku gantikan), salah seorang muridnya di Aceh memberinya hadiah perpisahan berupa lembaran-lembaran soal Olimpiade Sains Kuark (OSK). Dimas mengaku awalnya dia bingung mengapa diberi kertas lusuh seperti itu, apa karena tidak ada kado lain? Tapi setelah direnungkan akhirnya dia terpikir, “Sepertinya pengalaman mengikuti OSK ini sangat berarti baginya, dan dia justru ingin berbagi betapa berharganya hal itu kepadaku lewat memberikan soal ini.”

Pengalamanku menghadapi itu pun rasanya sudah segudang selama aku berada di sini, di tengah-tengah mereka. Yang paling baru, kualami sewaktu berbuka puasa bersama di masjid. Waktu itu aku hanya berniat buka (membatalkan puasa) di masjid dengan sekedar air, sholat maghrib, barulah kemudian pulang ke rumah untuk makan. Rupanya, anak-anak yang mendengar rencanaku untuk berbuka di masjid juga ikut berbuka di masjid, dan mereka membawa bukaan lengkap. Aku jadi malu sendiri, karena aku satu-satunya yang hanya membawa air. Toh demikian, aku berniat tetap tinggal di masjid hingga mereka semua selesai makan, barulah pulang. Meskipun aku harus menahan lapar dan dahagaku lebih lama, misalnya. Tapi rupanya selesai sholat maghrib mereka langsung memberikan makanan yang mereka bawa kepadaku. Pertama, tiga potong pempek (yang disebut "pempek" di sini adalah segala jenis gorengan) diberikan dari murid perempuanku. Lalu yang lain memberi dua potong pisang goreng. Satu anak lagi memberi martabak yang ia bawa. Lalu satu gelas minuman dalam kemasan. Lalu sepotong semangka. Lalu setengah mangkuk bubur kacang hijau. Tidak henti-hentinya aku dihujani makanan oleh mereka. Padahal ternyata itu setengah porsi keseluruhan yang mereka bawa! Di hari lainnya, sering pula mereka belian (jajan) hanya untuk mereka berikan kepadaku. Aku terharu.

Badan mereka sendiri kurus dan mungkin mereka sendiri kekurangan gizi, tapi mereka begitu pemurah. Pemberian mereka seolah-olah berkata, Tidak banyak, tapi ini yang kupunya

Tentu, ini bukan masalah harga. Bukan masalah, bentuk, ukuran, atau lainnya yang mudah diukur. Mungkin hanya sebungkus permen. Mungkin hanya sebatang es lilin. Mungkin hanya coretan warna warni di kertas. Mungkin hanya selembar kertas lusuh berisi soal ulangan. Mungkin hanya sebuah pin Irfan Bachdim. Tapi ada kata-kata bijak yang sering didengungkan, “It’s the thought that counts”.

Dan rupanya anak-anak adalah guru yang paling hebat dalam mengajarkan itu.

Mereka tahu bahwa persahabatan itu mahal. Memang mahal. Mahal karena mereka sadar mereka perlu memberikan hal yang mereka sayangi, bahwa mereka harus memberikan ketulusan hati mereka.

Sambil menahan haru, lagu Negeri di Awan dari Katon Bagaskara terngiang, mungkin dari temporal cortex.

Ternyata hatimu penuh dengan bahasa kasih

Yang terungkapkan dengan pasti dalam suka dan sedih


Cerita Lainnya

Lihat Semua