Ketika Terpaksa Bolos Sekolah Saat Musim Panen

Ridhaninggar Rindu Aninda 17 Agustus 2012

Apakah yang ada di dalam benak kita ketika menyaksikan seorang siswa SD bernama Lintang terpaksa tidak berangkat sekolah karena harus menunggui rumah dan mengurus adiknya dalam salah satu adegan film Laskar Pelangi? Pertama mungkin iba, iba karena melihat betapa nasib baik sepertinya sama sekali tidak berpihak pada anak jenius itu. Kemudian mungkin disusul rasa gemas, gemas karena tak seorang pun orang dewasa di sana – entah itu tetangganya, pemerintah, atau bahkan dialamatkan pula pada orang tua anak ini – memerhatikan kebutuhan belajar sebagai sesuatu yang pokok bagi anak ini, kemudian berupaya “menggantikan” demi bisa mempertahankan anak ini agar tidak usah sampai putus sekolah. Selain itu mungkin ada pula rasa marah, geram, atau perasaan sejenis lainnya.

 

Saya pun demikian tak habis pikirnya dengan sepenggal kisah semacam itu, bisa-bisanya seorang anak sampai harus mengorbankan sekolahnya untuk mengurus urusan “rumah”, sesuatu yang semestinya belum jadi tugas anak seusianya. Menurut saya, seharusnya orang dewasa di sana bisa berusaha meng-handle urusan semacam itu at least selama anak ini pergi sekolah. Pendidikan itu, kan, jangka panjang, sudah semestinya lebih diperjuangkan.

 

Namun beberapa pekan yang lalu, sesampainya saya di salah satu pelosok negeri ini, tepatnya di sebuah pulau yang mengapung di tengah Laut Jawa, saya hanya bisa tercengang melihat fakta semacam itu ternyata memanglah nyata terjadi di pelosok negeri ini. Bolos sekolah saat musim panen menjadi hal tak terhindari lagi, betapapun saya ngototnya memandang pendidikan sebagai aset jangka panjang yang harus lebih diperhatikan. Ternyata, ada sesuatu yang luput dari pandangan saya selama ini: sebenarnya pendidikan bukan berarti dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting oleh mereka, namun faktanya menyambung hidup memang jauh lebih penting pada keadaan kini mereka.

 

Profesi sebagai petani tradisional berarti siap mengikuti aturan main sang alam dalam mengatur musim dan siklus hidup pertanian. Musim panen menjadi musim tak terhindari lagi bagi keluarga petani untuk bersiap-siap menadahkan tampah demi datangnya rizki. Sang orang tua telah dengan bijak bertanya pada sang anak tentang pilihan yang bisa diambilnya: mau sekolah atau tidak, kalau sekolah emak tidak akan menjemur padi sekarang – meskipun pilihan semacam itu tetaplah terasa kurang begitu bijak disodorkan pada anak seusianya, yah, setidaknya sang ibu sudah memberi pilihan, bukan memaksa. Namun dengan keadaan seperti ini, jelas saja sang anak tak mungkin membuat orang tuanya terpaksa menolak rizki hari itu dan pilihannya berarti padi haruslah dijemur, sehingga jawaban yang pantas tinggallah “jemurlah, Mak,” dan itu artinya ia tidak akan sekolah hari itu.

 

Sebagai guru yang juga manusia, saya pun tak mungkin mencegah rizki datang hari itu pada keluarga anak didikku – mengingat rizki itu memang dibutuhkannya, mengingat satu-satunya sumber nyata rizki mereka hanyalah pertanian mereka. Saya pun terpaksa merelakannya tak sekolah – sesuatu yang rasanya tak akan habis pikir bisa saya lakukan ketika menyaksikan adegan Laskan Pelangi kemarin dulu.

 

Faktanya, ketika melihat keadaan seperti ini mengecam kegelapan memang jadi keniscayaan hati-hati yang memberontak ini, namun ternyata ia jadi tak ada gunanya lagi ketika keadaan sudah seperti ini, menyangkut hidup-mati sebuah keluarga. Maka tak ada kata lain, yang dibutuhkan hanyalah pelita, uluran tangan untuk membantu ketertinggalan belajar sang anak, solusi untuk membantu kehidupan keluarganya, dan mungkin langkah konkret perbaikan perekonomian petani dan nelayan mikro negeri ini.

 

#renunganharikemerdekaanbangsa


Cerita Lainnya

Lihat Semua