Gadis yang (ternyata) Berjodoh dengan Lautan

Trisa Melati 25 Juni 2012

Aku punya rahasia. Aku adalah gadis yang jatuh cinta kepada lautan. Aku ingat sewaktu masih SMA, aku membeli buku berjudul serupa. Gadis Yang Jatuh Cinta Kepada Laut. Sewaktu baru tiba di Leiden pun, aku bela-belain bersepeda dari kampusku di Leiden ke Pantai Katwijk sore-sore sambil ngabuburit[1] (waktu itu musim panas, maghrib sekitar pukul 20.30 di Belanda).

Memang sebagai orang gunung, sudah lama aku mendambakan bisa bersepeda dari rumah hingga ke pantai. Tentu saja, pantai di Belanda sama sekali tak ada indah-indahnya, setidaknya jika dibandingkan dengan di Indonesia. Rata, hanya ada bukit pasir dan tumbuhan seperti ilalang yang berfungsi untuk menahan angin dan air laut (bahasa Belandanya sih “het duin”). Namun, sekali lagi, hanya dengan memandang lautan, aku merasa tenang. Seperti berjumpa dengan kekasih yang sudah lama tidak ditemui. Tentunya beribu kali senangnya manakala yang kukunjungi itu adalah lautan di Indonesia yang jauh lebih cantik.

Aku masih ingat hari itu. Senin, 14 Mei 2012. Pengumuman penempatan. Potongan-potongan kertas bertuliskan daftar nama PM IV beserta daerah penempatannya disebar di barak pelatihan. Di sekitarku riuh rendah. Aku mendengar teman-temanku menyanyikan Indonesia Raya. Aku mendengar diriku sendiri ikut bernyanyi. Untuk beberapa saat, diriku yang bimbang masih belum benar-benar bisa memutuskan apa yang mesti dirasakan. Dengan berbagai alasan, sepertinya teman-teman sepenempatanku merasakan kecanggungan yang sama. Kami tersenyum dan tertawa tapi tanpa suara, tanpa komentar lebih jauh. Tak lama hatiku mulai menerima kenyataan pahit: Aku tidak berjodoh dengan lautan.

Lalu bumi tidak berhenti berputar, dan seiring dengan putarannya aku berdamai dengan kenyataan. Tentu saja dengan segala kalimat motivasi seperti “it’s not about you, it’s about your students. It’s about the changes we long to make”. Aku menata diri dan melakukan tugasku sebaik mungkin. Hanya, di satu pojok di hatiku, masih ada retakan kecil.

Selang beberapa minggu, kami mendapatkan data Pengajar Muda II yang akan kami gantikan. Aku menggantikan Dimas Sandya. Ketika akhirnya aku bisa menghubunginya, nada bicaranya yang ceria dan penuh optimisme membuatku merasa jauh lebih baik. Apalagi ketika dia berkata, “tunggu ya, aku sudah kirimkan surat untukmu. Surat cinta dari anak-anakmu di sini.”

Sesuai janji, paket itu datang dua hari kemudian, 5 Juni 2012. Paket itu dibuka dengan tulisan Dimas. Begini kata-katanya tentang muridku:

“...izinkanlah saya memperkenalkan mereka. Sosok ‘malaikat kecil’ yang akan kamu temui di setiap harinya. Mereka adalah sumber energi sekaligus alasan utama kamu ada di sini nanti. Mereka adalah ‘sahabat’ yang akan jadi teman belajar, sambil kamu mengajar. Tantangan akan datang silih berganti. Cobaan akan terus datang tiada henti. Tapi percayalah, senyum anak-anak itu, binar mata mereka, semangat ceria mereka, sungguh tidak mampu menahanmu untuk berhenti. Kamu akan terus bergerak, mesti jantungmu semakin berdetak. Kamu akan melebur, meluber, hingga akhirnya melebar bersama mereka. Kamu adalah Ibu Guru Trisa yang selalu mereka nanti.”

Beserta itu, terlampir puluhan lembar surat dari anak-anakku, beserta foto mereka ketika acara Hari Kartini di sekolah. Mereka juga mengirimkan gambar-gambar mereka padaku. Mereka menceritakan diri mereka, hari-hari mereka di sekolah, cita-cita mereka. Di akhir surat mereka semua berkata, tidak sabar menanti Bu Trisa datang ke sana.

Detik itu hatiku seperti balon yang terlepas ke angkasa, aku menyadari hal baru: Aku tidak berjodoh dengan lautan, tapi rupanya aku berjodoh dengan samudera kelapangan hati dan senyuman tulus anak-anakku.

 

p.s. Ini untuk Dimas, terima kasih sudah menunjukkan aku senyuman anak-anak yang seluas samudera ini :)

[1] Menunggu waktu berbuka puasa


Cerita Lainnya

Lihat Semua