info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Aku Tidak Akan Tergantikan (Begitu pun Kamu)

Trisa Melati 11 Juni 2013

Suatu siang, PM 4 Muara Enim berkumpul, menggosipkan PM6. Hahaha, mungkin sudah sewajarnya seperti itu, karena kami begitu bersemangat menyambut keluarga baru kami ini. Hingga satu hal dilontarkan oleh Adhi, yang dimaksudkan untuk bercanda,  namun aku pun udah memikirkan itu dalam hati:

“Jangan sebut dirimu PM pengganti, karena aku tidak tergantikan

Iya. Kenapa sih orang terus-terusan menyebut “pengganti”? Mungkin karena kebiasaan, karena sejak awal memang istilah itu yang dipakai. Tapi kalau dipikir-pikir, efek psikologisnya nggak enak deh. Seolah-olah PM cuma entitas substitutif. Seolah-olah ada bagian yang dipotong dari selembar kertas kemudian dipasangi kertas lain untuk menutupi lubang tersebut. Yang mana belum tentu cocok. Bukan hanya masalah ukuran, tapi juga bentuk.

PM pun seperti itu.

Yang pertama, dan terutama, kualitas PM pasti berbeda-beda, bukan dari derajatnya, namun dari variasinya. Jelas dimensi yang berbeda.

Yang kedua, aku tidak mau dianggap pergi, dianggap menghilang, dipotong dari kehidupan Airguci lalu ditempel di Bandung atau manapun kotaku selanjutnya. Aku pulang ke rumahku di Bandung, namun aku tidak pergi, aku akan selalu menjadi bagian dari Airguci. Dan sebagaimana Airguci juga sudah menjadi rumahku, aku akan merasa nyaman untuk pulang ke sana kapan pun (seperti juga yang kurasakan pada Leiden). Airguci adalah keluargaku, dan anak-anak Airguci adalah anak-anakku. Sebagai ibu, mana mungkin aku meninggalkan (atau melupakan) anak-anakku sendiri.

Maka jangan berusaha menggantikan aku, aku tidak tergantikan dan anak-anak tidak akan mau aku digantikan, karena kesannya aku akan menghilang, digantikan oleh PM6. Tentu tidak. Alih-alih kehilangan (atau mengganti), kita justru menambah personil keluarga kita.

Ada satu kalimat bagus untuk ini:

“Aku bukan membagi cintaku, melainkan melipatgandakan cintaku.”

Ini tentunya aku pelajari dari anak-anakku. Mereka begitu tulus dan polos. Sebagai PM penerus, wajar dulu aku punya kekhawatiran tidak mampu memenuhi harapan anak-anak sebagai  “pengganti” Dimas (PM2). Namun tidak lama, aku akhirnya menyadari bahwa Dimas punya tempat sendiri di hati anak-anak (yang tidak akan aku hilangkan), dan akan selalu demikian, begitu pun aku. Begitu pun Adhim. Mereka tidak akan membagi-tiga cinta mereka pada Dimas, aku, dan Adhim. Mereka justru akan melipatgandakannya.

Maka, daripada memotong entitas “kita” dari desa penempatan dan memaksa menggantikan dengan potongan yang lain, lebih baik kita justru menambah atau memperlebar lembaran kita, bukan?

Mulai sekarang, yuk berhenti menggunakan kata-kata “PM pengganti”. Mereka “PM penerus”.  Penerus di sini pun maksudnya penerus perjuangan, yang lingkupnya luas.

Jadi berhentilah menyebut PM pengganti. Aku tidak tergantikan. Bukan karena aku begitu fenomenal, namun karena setiap orang tidak tergantikan. Begitu pun kamu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua