Memahami (Kembali) Setiap Anak Itu Cerdas
Fini Rayi Arifiyani 11 Juni 2013Malam tadi, selesai sudah editan video tentang dua anakku (Risno dan Yoga) yang sedang konser di dapur rumahku, di desa ini. Tawaku lepas menyaksikan tingkah mereka yang bernyanyi dengan mic yang sebenarnya pel dan bergitar dengan sapu. Mereka membawakan konser itu dengan natural.
Menyaksikan konser itu, aku jadi ingat saat mereka di kelas. Dua anakku itu bukan termasuk anak yang cepat tanggap dalam pelajaran eksakta, mereka lebih senang bermain atau becanda. Harus kerja ekstra agar mereka tetap mau “belajar”. Berbeda jika pelajaran lainnya. Yoga, jelas terlihat kecerdasan visual dan musiknya ketika pelajaran kesenian. Dengan mahir, dia menggambar perahu dan baru-baru ini menggambar orang. Berbeda dengan Yoga, saat Risno bermain bola kaki dan kasti, nyata terlihat kecerdasan kinestetiknya. Dia menjadi bintang di lapangan.
Memikirkan kedua anak itu, aku jadi teringat anak lainnya di seluruh penjuru negeri, teringat tentang paradigma yang sampai saat ini masih ada kepada mereka. Acapkali anak dianggap cerdas itu anak yang cerdas matematis atau alam (eksakta), sedangkan anak lainnya yang kurang atau lambat tanggap seringkali dianggap bodoh. Karena anggapan bodoh itu, orangtua atau guru menjadi khawatir atau malah pesimis dengan masa depannya. Khawatir atau pesimis? Kekhawatiran atau kepesimisan ini justru yang harus dikhawatirkan karena anggapan keliru bahwa anak itu bodoh.
Anak itu bodoh, anggapan itu pernah terlahir dariku. Rasanya, sudah berbagai cara dilakukan agar anak itu mengerti pelajaran, tetapi tetap saja tidak paham. Bodoh. Bodoh? Benarkah anak itu bodoh? Memori lamaku berputar, kuingat perjalanan sekolahku dari SD hingga kuliah, mengingat diriku dan teman-temanku. Tidak ada anak yang bodoh, akhirnya anggapan itu muncul.
Aku ingat kisah temanku yang dulunya dikatakan bodoh berubah cerdas saat jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ini sangat mungkin terjadi karena dirinya telah menemukan kecerdasannya. Kecerdasan itu ditemukan, ya.. aku ingat kata bapak Munif Chatib (sang penulis Gurunya Manusia), kecerdasan itu harus ditemukan dan mendapat perlakuan yang sesuai agar hasilnya optimal.
Seorang anak yang dikatakan bodoh, sebenarnya, bukan bodoh, hanya saja belum menemukan kecerdasannya. Mungkin karena anggapan bodoh pada dirinya, akhirnya anak itu mencap dirinya bodoh, “Aku tidak bisa apa-apa”. Kepercayaan bahwa dirinya mampu, sirna sudah. Pesimis, itu yang akhirnya lahir. Jika begini, bagaimana masa depannya?
Optimisme, itu yang harus ditumbuhkan. Yakinkan bahwa dirinya memiliki kecerdasan, apa pun itu. Cerdas tidak harus bidang eksakta saja. Mahir berolahraga, itu termasuk kecerdasan. Mahir bercakap atau menulis, itu termasuk kecerdasan. Mahir kesenian, itu termasuk kecerdasan. Pandai bergaul, itu termasuk kecerdasan. Pandai mengontrol diri, itu termasuk kecerdasan. Kecerdasan ada banyak macamnya, tinggal kita yang harus jeli melihatnya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda