Lom Pacak Nakok, Gi Ade Mentok* (III)

Syamrotun Faudiyah 15 April 2015

*Lom pacak nakok, gi ad mentok adalah kalimat dalam Bahasa Rambang yang artinya: meski belum bisa menyadap, masih ada ubi. Narasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian tulisan yang akan mencoba menceritakan tentang kehidupan para petani di talang ketika behume. Kenapa ini menarik, karena mereka merupakan para orangtua dari siswa-siswa di sekolah tempat kami mengajar. Dari sini, akan terlihat bagaimana pola hidup mereka sehari-hari dan dalam bertani. Ini adalah tulisan terakhir.

 

 

 

Wak Arip Jantan, Wak Arif Laki-laki, nama aslinya adalah Ahmad Zainuri. Ia adalah Wong Jawe, asalnya dari Magetan, Jawa Timur. Di sini ia menjadi petani penggarap untuk tiga tauke di dusun. Tauke adalah sebutan bagi para pemilik perkebunan dalam jumlah besar atau sekaligus pengumpul getah dari petani untuk disalurkan pada pedagang yang lebih besar, hampir sama dengan istilah juragan.

Kak Arif, anak laki-laki sulungnya yang sudah berkeluarga, bersama istrinya juga tinggal behume menunggu dan menggarap kebun milik seorang tauke dusun. Wak Arip kini tinggal dengan istri dan anak bungsunya, Roma. Mereka sudah beberapa kali membuka hume di lahan-lahan takokannya.

Kali ini ia membukakan lahan milik seorang tauke dari dusun. Lahannya cukup luas, hampir dua hektar, meski bentang ini menjadi ukuran yang tak terlalu luas bagi ukuran warga di sini. Rumah kayunya berupa rumah panggung yang tak terlalu tinggi, jarak dengan tanah hanya sekitar satu meter. Menonjol, terletak di tengah-tengah lahan. Pohon Ubi Kayu berjajar membentuk jalan setapak menuju rumah kayu. Di sekitarnya, pohon terong dan tomat sambal berbuah lebat, putih-hijau, ungu, dan oranye kemerahan. Melajur ke arah sebaliknya, beberapa tanaman jagung sudah mulai mengeluarkan rambut-rambut cokelatnya, “Beberapa bulan lagi pacak dipanen, pacak direbus kakge,” (beberapa bulan lagi bisa dipanen, nanti bisa direbus), kata Wak Arip Betine. Sedikit ke pojokan di samping rumah, pohon-pohon cabai rawit berjajar, selutut tingginya, cabai-cabai kuning keemasan itu sudah beberapa kali dipanen. Sepuluh ribu untuk seukuran plastik setengah kilo jika dijual di talang.

Di sana-sini terlihat tanaman kencur muncul begitu saja, daunnya sudah mulai lebar dan berbunga, tanda umbi kencur sudah mulai membesar di bawah tanah. Juga pohon kunyit, jahe, dan serai. Di musim hujan seperti sekarang, jika malam hujan datang, paginya aneka jamur bermunculan di sela-sela batang dan tanah-tanah yang penuh arang dan terbakar. Bermacam-macam jenisnya, namun hanya beberapa yang bisa diolah. Jamur kayu, orang sini menyebutnya. Tandanya, jamur yang berwarna cerah tak bisa dimasak. Hanya yang berwarna cokelat kehitaman yang bisa diolah. Ada pula jamur tikus, entah kenapa dinamai begitu, tapi rasanya enak juga.

Behume, seperti menjadi gambaran menyenangkan tentang memiliki cukup lahan dan cukup waktu untuk mengembangkan bermacam tanaman. Tak perlu panik ketika haga cabai melambung tinggi atau sekedar memupuk harapan bersamaan dengan tanaman kacang yang mulai menua hingga datang saatnya panen nanti. Lebih besar lagi, harapan dan semangat mereka yang behume ada pada bibit-bibit karet yang daunnya mulai berubah menjadi hijau tua. Enam atau tujuh tahun lagi, pohon-pohon itu akan menjadi sumber hidup mereka.

Wak Arip bercerita, jika cuaca bagus, dalam sebulan ia dan kelurganya yang menyadap bisa mengumpulkan setidaknya enam pikul karet. Satu pikul merupakan sebutan untuk karet alam kira-kira seberat 100 kg. Harga satu kilogram karet alam di pasaran kini sekitar Rp. 9.000. “Anggaplah sembilan ribu...” kata Wak Arip, “Ada lima juta kami dapat, hitunglah Bu... Lebih besar dari gaji pegawai negeri.”

“Itu baru dari nakok bai Bu, di luar nakok inilah kami behume, ade pula duitnye. Ade bailah hendaknya untuk dimakan,”(Itu baru dari menyadap saja, di luar menyadap, ada juga uangnya. Ada saja yang bisa untuk dimakan), lanjutnya.“Pernah pule karet sekilo dua puluh tujuh ribu, Bu...” kenangnya menerawang.

Masa ketika karet mencapai Rp. 27.000 selalu menjadi kenangan indah bagi para petani di sini. Dalam beberapa percakapan tentang karet, pun dengan anak-anak, kalimat ini hampir selalu muncul. Gambaran tentang pendapatan menyadap yang lebih besar dari gaji pegawai negeri juga menjadi cerita tersendiri. Memang benar adanya demikian. Tak jarang, mereka yang memiliki pekerjaan sebagai abdi negarapun tetap ke kebun, baik berangkat ketika subuh sebelum bekerja ataupun siang setelah bekerja.

Bagi Wak Arip sendiri, yang berasal dari Jawa, hidup di sini berkali-kali lipat enaknya daripada di kampung halamannya, di Magetan sana. Ia misalnya, ketika membuka kebun dan tinggal di sana, termasuk menanami bermacam tanaman dan memanennya sambil menunggu pohon karet siap disadap, tak dikenai sepeserpun biaya sewa lahan. Hasil panen tanaman juga sepenuhnya menjadi hak Wak Arip, sesekali ia mengantar hasil panen ke pemilik lahan. Bagi hasil dilakukan ketika karet mulai disadap. Berbeda dengan sistem pengolahan lahan di Jawa oleh petani penggarap, yang biasanya ada semacam uang sewa lahan atau bagi hasil sejak dari awal.

Di sisi lain, keberadaan petani penggarap seperti Wak Arip sebenarnya banyak menguntungkan para pemilik kebun atau tauke. Dengan lahan puluhan hektar, para tauke perlu petani penggarap untuk menyadap getah dari tanaman produktif setiap hari. Pun untuk mengurus lahan-lahan yang baru dibuka untuk ditanami bibit baru. Petani-petani penggarap yang bersedia untuk behume ini dapat menjaga tanaman tetap tumbuh dengan baik dan tanah diolah dengan baik pula. Meski barangkali, jika mau lebih kritis lagi, tauke sebagai tangan pertama yang mendapat getah alam dari petani harusnya mampu memberi pilihan yang lebih baik bagi para petani, terutama terkait nilai harga jual dan atau informasi terkait peningkatan kualitas karet yang bisa diupayakan sejak dari perkebunan. Tapi tentu ini agak rumit, mengingat getah alam adalah produk ekspor dengan permainan harga yang terus berubah tiap waktunya dan negara-negara lain yang juga ikut bersaing dalam pasar ini.

Behume, pada akhirnya menjadi seperti untuk saling melengkapi. Bagi tanah-tanah subur di sana, rumpun-rumpun cabai dan tomat melengkapi bibit-bibit karet yang siap tumbuh meninggi. Bagi para petani penggarap, inilah cara hidup untuk melengkapi rutinitas menyadap mereka. Rutinitas untuk menyambung hidup mereka agar tak berhenti sekedar untuk memegang pisau sadap di pagi hari. Karena kadang hari hujan dan pohon karet tak mau mengeluarkan getahnya sementara. Hume, menjadi hiburan pelengkap di hari-hari mereka. Hari-hari yang jauh dari riuh rendah suara yang memburu.

Di hume tak ada TV. Itu cukup menjadi alasan untuk menepi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua