Lom Pacak Nakok, Gi Ade Mentok* (II)

Syamrotun Faudiyah 14 April 2015

*Kalimat dalam Bahasa Rambang yang artinya: meski belum bisa menyadap, masih ada ubi. Narasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian tulisan yang akan mencoba menceritakan tentang kehidupan para petani di talang ketika behume. Kenapa ini menarik, karena mereka merupakan para orangtua dari siswa-siswa di sekolah tempat kami mengajar. Dari sini, akan terlihat bagaimana pola hidup mereka sehari-hari dan dalam bertani. Berikut adalah tulisan kedua.

 

Hal terpenting yang harus dilakukan ketika behume tentu adalah memastikan bibit karet tumbuh dengan baik. Tidak terserang penyakit tanaman ataupun tidak dirusak binatang buas. Namun demikian, dalam tujuh tahun, tentu banyak hal lain yang dapat dilakukan di sini.

Pemilik kebun, atau biasanya diwakili para penggarap kebun, mula-mula akan membangun rumah panggung sederhana di tengah kebun. Cukup untuk ruang depan, satu kamar, dan dapur. Rumah panggung juga dibangun tak terlalu jauh dari sumber air. Beberapa ekor anjing turut menemani, untuk berjaga-jaga jikalau rombongan babi hutan, kera-kera, atau orang jahat datang.

Dalam rumah panggung inilah, nantinya si pemilik atau penggarap kebun akan tinggal setidaknya selama satu atau dua tahun, hingga bibit karet telah tumbuh cukup kuat untuk ditinggalkan. Atau kadang, mereka harus membuka lahan baru di wilayah baru. Seringkali, karena harus berpindah tempat, harus berpindah pula sekeluarga ini. Bagi kami di sekolah, hal ini menyebabkan jumlah siswa yang terus berubah setiap waktu, karena ada siswa yang pergi mengikuti orangtuanya berpindah lahan atau ada pula siswa yang datang dan kembali karena orangtuanya pun kembali. Sementara bagi anak-anak, mereka terpaksa harus merelakan waktunya untuk mengulang di kelas sebelumnya karena melewatkan tes kenaikan kelas atau memang terlambat memulai sekolah. 

Selama masa behume ini, bibit karet tak dibiarkan berdiri sendirian di sana. Inilah masa pengolahan lahan yang sesungguhnya. Lahan subur itu dimaksimalkan sedemikian rupa. Di antara jajaran bibit-bibit karet, pada sela-selanya, beberapa menanam padi tanah kering, beberapa lainnya menanaminya dengan jagung, kacang tanah, ubi-ubian, sayur-sayuran, juga tanaman obat dan bumbu-bumbuan. Tak lupa, di sekililing kebun juga ditanami bibit-bibit pohon besar, seperti durian, duku, rambutan, cempedak, atau tanaman-tanaman kayu.

Ada sloroh sederhana warga, “Lom pacak nakok, gi ade mentok,” (belum bisa menyadap, masih ada ubi). Meski mereka belum bisa menyadap karet, asap dapur akan tetap mengebul. Mereka bisa menjual hasil panen tanam-tanaman atau langsung memasaknya untuk kebutuhan sehari-hari.

Satu hal unik tentang behume, mereka yang behume biasanya adalah penggarap lahan. Satu catatan penting di sini, pemilik-pemilik kebun biasanya adalah tauke-tauke besar yang tinggal di dusun atau di kota-kota sekitar. Para penggarap ini, adalah mereka petani-petani biasa yang tinggal di sekitar perkebunan, baik warga asal ataupun pendatang. Pun ada warga asal yang memiliki kebun, luasnya tak seberapa, setengah atau satu hektar saja, berisi lima ratusan batang pohon karet yang menghasilkan getah tak terlalu besar.

Petani-petani biasa ini, mereka biasanya tinggal pada talang-talang di sekitar perkebunan. Talang menjadi satu wilayah adiministratif unik, menjadi satu perkampungan kecil yang berisi sepuluh hingga lima puluhan kepala keluarga yang mendiami satu wilayah di sekitar perkebunan. Biasanya dipimpin oleh seorang ketua RT, sebagai perpanjangan tangan kepala desa yang berada puluhan kilometer jaraknya. Jangan bayangkan pembagian wilayah seperti di perkotaan, di sini, satu desa bisa seluas satu kecamatan di Jawa. Satu desa bisa memiliki sepuluh hingga lima belas talang yang tersebar-sebar.

Talang dulunya terbentuk untuk kebutuhan praktis: agar dekat dengan kebun. Ketika bertanya, sejak kapan sebuah talang ada, warga tak mampu mengingatnya. Kebanyakan mereka telah meninggalinya selama turun-temurun, berganti-ganti. Ketika telah cukup mampu membangun rumah di dusun, mereka kembali ke dusun. Lalu panggung di talang dibiarkan saja, sebelum diisi oleh saudara atau krabat yang baru akan memulai kebun. Tak heran, biasanya pasangan-pasangan muda yang tinggal di talang. Meski kini juga banyak warga yang menetap di talang.

Saya bertanya pada M. Pudi, ustaz sekaligus tetua di Talang Tebatrawas Desa Pagar Agung misalnya, dan jawabannya adalah, “Aku mude, talang ini la ade,” (aku masih muda, talang ini sudah ada). Beberapa talang memang tumbuh baru, tapi kebiasaan menetap di talang memang sudah ada sejak lama, sejak kebun-kebun produktif dibuka di daerah ini. Atau beberapa anak-anak bercerita, “La ade sejak jaman Belanda,” (sudah ada sejak jaman Belanda).

Ketika behume, rumah di talang ditinggalkan. Mereka membawa alat-alat untuk kebutuhan sehari-hari ke hume. Mulai dari kasur lipat, baju-baju, alat makan, juga kompor, yang seringnya malah tak dipakai, karena tungku tetap lebih efektif di sana.

Ada ritme dan harmoni yang indah dari kegiatan behume ini.

Pagi hari, tak perlu mandi dan dengan sarapan sekadarnya, biasanya berisi kombinasi nasi hangat, mie instan yang diremukkan, lauk, sayur, atau gorengan jika ada, serta kopi manis mereka bersiap menggarap kebun. Bagi mereka yang ada lahan takokan, lahan untuk menyadap, mereka akan pergi menyadap. Bagi mereka yang belum ada takokan, mereka akan melakukan apa saja yang menuntut perhatian di hume. Mulai dari membersihkan tanah dari jamur dan gulma merugikan, menyabuti rumput, memupuk tanaman, memanen tanaman yang siap jual.

Siang hari, mereka akan kembali ke rumah. Mandi dan membersihkan diri, makan siang dengan komposisi yang hampir sama. Biasanya ada tambahan aneka sambal padas dan sayur-sayuran, atau gulaian orang menyebutnya. Salah satu yang paling khas di sini adalah tahok rendang, yaitu tumbukan daun ubi kayu atau daun ketela, yang ditumbuk halus lalu ditumis dengan bumbu bawang, cabai dan teri. Kombinasi pedas-asin yang memaksa kita mengambil nasi hangat berkali-kali hingga perut kenyang terisi.

Setelah istirahat sebentar hingga matahari tak terlalu tinggi lagi, tanam-tanaman merayu lagi untuk didekati dan diurusi. Ibu-ibu juga biasanya membuat rondengan, atau camilan khas dari hasil kebun. Mulai dari mengeringkan buah-buahan, mengolahnya untuk dijadikan krupuk, atau sekedar mengeringkan cabai merah untuk dibibitkan lagi. Hingga sore dan matahari tenggelam. Saatnya membersihkan diri lagi dan lalu makan malam bersama semua anggota keluarga. Menunggu kantuk datang dengan saling bercerita atau sekedar mendengarkan ceramah dari MP3 di HP. Bercerita tentang tomat, terong, rumput yang semakin cepat tumbuh, atau harga cabai yang sedang bagus di kalangan, pasar harian di dusun. Hingga entah jam berapa, cukup malam untuk tahu bahwa ada kalanya badan memaksa untuk diistirahatkan sebelum kembali ke rutinitas pagi keesokan harinya.

Beberapa hari lalu saya berkesempatan merasakan tinggal di hume. Pagi di Hari Minggu itu hujan lebat datang. Cukup lama hingga mampu mengalahkan dingin dan beranjak untuk keluar rumah kayu dan mencari tempat untuk buang air kecil. Satu hal lagi tentang behume, kita bisa buang air di mana saja, asal jauh dari rumah dan sumber air bersih. Beruntung malam itu hujan dan Wak Arip, pehume yang saya inapi, memiliki bak penampung air hujan besar di bawah ujung atap rumah kayunya. Sehingga tak perlu turun jauh menuju sumber air berupa aliran kecil air yang membelah kebun.

Wak Arip Betine atau Wak Arip perempuan, istri Wak Arip, mengikuti saya bangun. Ia langsung menyalakan api dan memanaskan air. “Hujan besak, kakge bai geraknye...” (hujan besar, nanti-nanti saja bangunnya), ujarnya. Saya memanggil keluarga ini Wak, atau Uwak, sebuah panggilan untuk kakak dari orangtua, karena keluarga yang saya tinggali di sini berkawan akrab seperti saudara dengan keluarga Wak Arip ini. Dipanggil Wak Arip, karena anak tertua keluarga ini bernama Arif, tapi warga di sini terbiasa menyebut huruf “f” dengan huruf “p”. Jadilah Arif akrab terdengar sebagai Arip, seperti festival menjadi pestipal


Cerita Lainnya

Lihat Semua