Lom Pacak Nakok, Gi Ade Mentok* (I)

Syamrotun Faudiyah 12 April 2015

Pagi itu dingin. Semalam hujan deras datang mengguyur dan membuat tanah di sekitar begitu lunak ketika terinjak. Saya habis menumpang tidur di rumah panggung Wak Arip, salah satu warga Talang Tebatrawas, kampung sekolah penempatan saya berada. Tapi hari itu saya bukan sedang di talang, saya sedang di kebun. Mengikuti Wak Arip dan keluarga behume.

 

Behume. Hume adalah kebun dalam Base Rambang, bahasa asli warga Melayu Rambang. Mereka mendiami desa-desa di sekitar Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim, satu wilayah yang terdiri ratusan hektar perkebunan karet dan kelapa sawit.

 

Wong Rambang, mereka menyebut diri mereka yang memang keturunan asli orang-orang Rambang. Tak hanya Wong Rambang, di wilayah ini memang banyak terdapat suku pendatang, terutama dari Jawa. Bahkan orang-orang Jawa ini tersebar dalam satu daerah berisi ratusan kepala keluarga yang tinggal dalam satu wilayah yang disebut Daerah Trans, sebuah koloni besar yang lahir di masa orde baru: transmigrasi. Wong Jawe, mereka menyebutnya. Ada pula Wong Ogan, yaitu mereka para pendatang yang asalnya dari sekitar Sungai Ogan, sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu ataupun Ogan Komering Ilir, dengan bahasa asli Base Komering.

 

Sebutan wong, atau orang, yang menunjukkan asal daerah di daerah Sumatera Selatan biasanya merujuk pada wilayah di sekitar sungai, mengingat banyaknya sungai-sungai besar yang mengalir di wilayah ini. Selain itu, sungai merupakan jalur transportasi utama warga di masa lalu. Sungai-sungai itu, pada akhirnya menyatu di arus Sungai Musi yang mengalir ke Kota Palembang. Di Rambang sendiri, mengalir Sungai Rambang yang berarus deras membelah di tengahnya.

 

Banyaknya sungai besar inilah, pada akhirnya yang menjadikan tanah-tanah di Sumatera Selatan subur. Sebagian menghasilkan tanaman pangan seperti padi, sebagian besar lainnya merupakan tanah rawa yang sangat cocok untuk tanaman perkebunan berusia panjang. Tak hanya itu, di dalamnya juga terkandung banyak mineral minyak. Termasuk di Rambang. Di antara rerimbunan pohon karet atau kelapa sawit, di sana terdapat satu atau dua sumur pengeboran minyak.

 

Tapi minyak adalah milik mereka yang memiliki teknologi tinggi dan berbicara hal-hal yang terlampau rumit. Wong Rambang, Wong Jawe, Wong Ogan, dan warga kebanyakan di Rambang lebih senang berbicara tentang kebunnya. Salah satunya, adalah tentang behume. Berkebun. Istilah behume digunakan bagi mereka yang tengah membuka kebun baru. Dalam hal ini, khususnya adalah perkebunan karet. Daur hidup karet alam sendiri melalui masa waktu yang sangat panjang. Satu batang pohon karet alam bisa disadap untuk diambil getahnya hingga puluhan tahun, setidaknya hingga 30 tahun. Tergantung kualitas bibit yang ditanam. Ketika pohon-pohon karet tak lagi mengeluarkan getah putihnya, itulah saatnya bibit baru ditanam di sana.

 

Untuk membuka lahan baru itu, tak bisa sembarang merobohkan pohon-pohon lama dan menggantinya begitu saja. Pertama, pohon-pohon tua harus ditumbangkan dan tanah harus disiapkan ulang. Nunu, atau membakar pohon-pohon tua menjadi cara sederhana yang paling efektif. Jika dilakukan dengan baik dan bertanggungjawab, nunu tidak akan menyebabkan polusi asap seperti sering terjadi di wilayah dimana sering terjadi kabut asap. Salah satunya dengan tidak membakar sekaligus wilayah perkebunan yang terlampau luas. Sebelum membakar wilayah perkebunan yang pohonnya telah tua, warga juga menyiapkan jarak antara yang bersih dari dahan dan daun kering ke wilayah perkebunan di sekitarnya untuk mencegah menyebarnya api ke wilayah yang tak diinginkan.

 

Nunu biasanya dilakukan ketika musim kemarau datang. Agar tanah bisa diolah ketika musim penghujan berikutnya datang. Tanah yang terbakar beserta arang-arang dari batang pohon menjadi pupuk alam yang akan menyehatkan tanah secara alami. Menuju saat tanam dimulai, tanah juga dibersihkan dari akar-akar tua untuk mencegah berkembangnya jamur akar putih, salah satu jamur perusak tanaman karet. Gulma-gulma dan rumput-rumput liar juga dibersihkan. Sebelum akhirnya bibit-bibit karet baru ditanam dalam jarak-jarak yang presisi antara satu dengan yang lainnya.

 

Pohon karet muda baru bisa diambil getahnya pada usia enam atau tujuh tahun. Orang-orang di Rambang menyebutnya sebagai nakok, bahasa lokal untuk menyadap. Selama masa tunggu ini, mereka belum bisa nakok batang karet. Dalam masa tunggu inilah, behume dimulai.              

 

 

 

 

 

 

*Lom pacak nakok, gi ad mentok adalah kalimat dalam Bahasa Rambang yang artinya: meski belum bisa menyadap, masih ada ubi. Narasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian tulisan yang akan mencoba menceritakan tentang kehidupan para petani di talang ketika behume. Kenapa ini menarik, karena mereka merupakan para orangtua dari siswa-siswa di sekolah tempat kami mengajar. Dari sini, akan terlihat bagaimana pola hidup mereka sehari-hari dan dalam bertani. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua