Baca Apa Kita Hari Ini?

Syamrotun Faudiyah 16 Februari 2015

Anak-anak di sini senang membaca. Alasannya sederhana, untuk mengetahui lebih banyak hal di luar dunia mereka sekarang tinggal. Anak-anak tinggal di sebuah ruang kecil yang disebut talang, talang yang sudah begitu mereka kenal, bahkan hingga di tiap percabangan pohonnya. Begitu mereka mengenal satu dunia baru, dunia baru di dalam buku, mereka begitu senang untuk menemukan dunia baru itu dan menjelejahinya hingga habis ke halaman terakhirnya.

Saya ingat pertanyaan Tedi pada hari-hari pertama saya di talang. “Ibu, ibu bawa buku apa?” tanya Tedi. Saya membawa beberapa buku, tapi bukan buku anak-anak. Buku tentang filsafat pendidikan dan satu roman klasik pemberian seorang kawan. Pertanyaan itu akhirnya mendapat jawaban, “Em, Ibu tidak bawa buku apa-apa.”

Tedi menunjukkan wajah kecewanya. Saya berbohong, karena entah kenapa saya menyimpulkan bahwa Tedi sepertinya ingin membaca apa yang saya bawa. Padahal mungkin tidak. Padahal mungkin dia hanya penasaran saja. Seharusnya pertanyaan itu saya jawab jujur, dengan misal, “Ibu bawa buku untuk pegangan ibu mengajar dan satu novel,” dan menunggu pertanyaan selanjutnya yang pasti tidak akan terlalu sulit dan bisa saya konfirmasi. Satu pelajaran penting sejak itu, saya tidak boleh berbohong pada anak kecil.

Tapi yang terpenting sebenarnya adalah, saya mengenal Tedi, dan puluhan anak-anak lain di sini sebagai anak-anak yang selalu ingin tahu banyak hal baru. Mereka suka membaca. Atau jika saya boleh sedikit berhiperbola: mereka, sungguh amat sangat senang sekali membaca.

Terlebih anak-anak kelas tinggi yang memang sedang berada rentang usia dengan rasa ingin tahu sangat tinggi. Bertanya ini, bertanya itu... atau sekedar saling bercerita tentang pengetahuan baru yang didapatnya dari satu buku ke satu kawan dan menunjukkannya tepat di halaman yang baru saja dibacanya jika si kawan tidak percaya. Beberapa anak kelas 6 bahkan menyatakan diri, sudah membaca semua buku yang ada di perpustakaan kami. Ini bukan hiperbola. Ini nyata.

Jangan bayangkan perpustakaan sekolah kami berisi jajaran rak-rak buku dengan ribuan judul menyembul dari punggung buku yang berisi kode nomor ala Dewey di salah satu sudutnya. Di sekolah kami, di SDN 3 Rambang (Kelas Jauh), Talang Tebatrawas, Desa Pagar Agung, Rambang, Muara Enim,  barangkali perpustakaan kami ialah si lemari besi dengan empat rak itu sendiri. Lemari besi yang tak lagi berkunci itu menempati ruang dua kali lima dengan pintu bertempelkan kertas bertuliskan “PERPUSTAKAAN” yang dibuat dengan crayon warna-warni.  

Pun demikian, kami masih berbagi sudut kecil di pojok sekolah itu dengan barang-barang lain yang tak kebagian tempat di ruang lainnya. Pemotong rumput, meja-meja bekas, juga kompor yang pernah terbakar pada satu waktu karena sumbunya terlepas. Tapi anehnya, masih saja ada anak-anak yang nampak membungkuk di antara pintu lemari yang setengah terbuka. Membuka-buku buku dan majalah sains. “Lagi ngapain?” tanya saya retoris. “Cari bacaan Bu, sedang ada pelajaran tentang alat pernafasan. Saya ingat saya pernah membacanya, tapi lupa bukunya....”

Buku di perpustakaan sekolah memang tak sedemikian banyak. Kebanyakan berupa buku tambahan pelajaran, ensiklopedi, buku cerita dan novel anak, buku cerita bergambar, juga majalah-majalah sains dan majalah anak. Tak heran, anak-anak sering mengingat materi atau bacaan apa berada di buku apa. Agar anak-anak membaca, sering guru-guru sengaja membagi buku satu persatu ke setiap siswa agar dibaca dan dibuat ringkasannya, atau maju ke depan menceritakan ulang di hadapan teman-temannya yang lain. Atau sekedar belajar membaca dan melihat seberapa lancar si anak mampu membaca bagi anak-anak kelas rendah.

Hingga pada akhirnya, muncul kalimat itu: “Baca apa kita hari ini? Yang ini sudah... yang ini sudah... ah, yang ini aku lupa isinya...” lalu mengambil buku itu. Membaca, bagi anak-anak di sini, tak lagi menjadi ruang untuk belajar dan menambah pengetahuan baru. Bagi mereka, membaca sakan menjadi cara untuk menghentikan lupa. 

Ya, “Baca apa kita hari ini?”

Pun kadang saya kehabisan bahan, “Iya ya, baca apa lagi ya...”. Bagi anak-anak yang malas membaca dan belum lancar membaca, buku-buku itu masih menjadi surga lain bagi mereka (atau mungkin neraka, bagi yang benar-benar malas baca). Tapi bagi anak-anak lainnya, yang sudah terbiasa membaca, mereka menjadi sangat antusias ketika ada bahan bacaan baru. Berebut dan bergiliran satu persatu.

Di sisi lain, guru-guru juga ingin menghidupkan perpustakaan lagi. Upaya merapikan perpustakaan kecil itu sudah dimulai dengan mencoba mencari ruang lain untuk perkakas-perkakas yang kini masih tersimpan di sana sementara. Mendata kembali satu per satu buku yang ada, meskipun sampulnya sudah terlepas dan beberapa halamannya terberai.

Saya senang melihat kenyataan bahwa buku, bahan bacaan, tak hanya sekedar bacaan. Ketika mereka mampu mengingat isinya, hubungan itu menjadi seperti sebuah perkawanan. Perkawanan mereka dengan buku. Dan mereka telah mengenal kawannya itu dengan baik. Sayang sekali, mereka tak memiliki banyak kawan. Padahal, hampir pasti, mereka pasti akan sangat senang sekali jika mereka memiliki lebih banyak kawan di satu hari nanti.

Pasti. Semoga suat hari nanti.

Atau minimal, semoga anak-anak yang sangat suka membaca itu pada satu hari nanti bisa bertemu perpustakaan yang sebenarnya. Perpustakaan dengan jajaran rak-rak tinggi berisi ribuan judul buku yang menyembul anggun di punggung buku, menunggu untuk dicatat pada petugas peminjaman dan membawanya pulang ke kostan. Menghabiskan akhir pekan dengan membaca sebelum tersadar bahwa hari sudah habis, gelap sudah datang, dan ternyata lupa makan malam. Apapun ceritanya nanti.

Semoga mereka akan tetap berkawan dengan buku. Bacaan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua