Diplomasi Cireng

Suwanto 19 Februari 2015

Semester II ini saya niatkan untuk membuatkan makanan di kelas setiap hari Rabu. Saya sebut mata pelajarannya ‘Tematik’, karena pada intinya merupakan gabungan dari berbagai mata pelajaran di dalamnya. Saya pikir akan seru selama pelajaran tersebut.

Minggu pertama kami membuat cireng (aci digoreng), jajanan khas dari Bandung. Alih-alih mengenalkan ragam kuliner nusantara, saya sedangkan mengajarkan berbagai pelajaran moral di dalamnya. Anak-anak begitu antusias ketika saya mengeluarkan tepung tapioka (aci), kompor gunung, nesting, dll. Segera kami jerang air, kemudian menuangkannya panas-panas di tepung tapioka yang sudah dibumbui. Lengket.

Bagian yang menyenangkan segera dimulai. Saya bagi adonan aci untuk 4 kelompok – yang merupakan gabungan Kelas Pendengar, Kelas 1, dan Kelas dua. Saya mengajak anak-anak untuk membuat cireng dengan kreasi dan bentuk sesuka mereka. Tidak lupa terlebih dahulu mengaplikasikan pelajaran moral 1: mencuci tangan. Nampak tepung berhamburan di baju dan mukanya. Menyenangkan. Anak-anak telah belajar pelajaran moral 2: bekerja sama dengan teman yang berbeda jenis kelamin dan suku. Sembari mereka asyik mengkreasikan bentuk cireng, saya mulai menggoreng cireng yang sudah terbentuk.

Betapa mudah menyuruh anak-anak duduk rapi sesuai kelompoknya jika mengenai masalah makanan. Walaupun sudah ada beberapa cireng yang matang, saya masih asyik menggoreng lainnya. Anak-anak tetap duduk di bangkunya. Anak-anak telah belajar pelajaran moral 3: bersikap sabar. Sontak anak-anak kegirangan ketika saya membagi cireng matang kepada mereka. Setelahnya anak-anak mengaplikasikan pelajaran moral 4: berdoa sebelum makan, makan sambil duduk, dan makan dengan tertib.

Saya sendiri seperti tukang masak yang ada di tv, menggoreng makanan sambil ngoceh segala rupa pelajaran yang berkaitan dengan makanan saat itu. Seperti minggu selanjutnya dengan menu singkong goreng.

“Anak-anak, siapa yang tahu cara menanam ambon ato bojo?” Sambil membalik-balik singkong di penggorengan. Atau:

“Bagaimana bentuk daun singkong? Bisa digambarkan di papan tulis?” Pengantar untuk membedakan tumbuhan monokotil dan dikotil.

“Mengapa pohon singkong bisa tinggi dan menghasilkan singkong?” Sambil terkadang membersihkan meja dari sampah-sampah.

“Apa rasa singkong yang sudah dimakan?”, dilanjutkan “Garam asalnya dari mana?”

Ssttt...sebenarnya misi terselubung dari diplomasi cireng dan jajanan lainnya agar siswa tetap bersemangat masuk ke sekolah, karena di musim hujan seperti sekarang, menurut cerita, banyak siswa yang memilih tinggal di ladangnya dibanding ke sekolah. Dalam artian tingkat kehadiran siswa menurun. Selain itu, tentunya pelajaran-pelajaran moral seperti di atas (harapannya) akan menjadi kebiasaan jika sering dilakukan secara rutin.

Masih ada beberapa bulan ke depan dan banyak menu yang akan dihadirkan di setiap minggunya. Detik ini saya bersemangat belajar bersama pasukan mungil saya karena bangku di kelas selalu penuh.

“Pak, minggu depan kita membuat sayur kecoro! Kita cari kecoro di kebun kopi belakang sekolah, terus kita masak. Biar kami bawa nasi dari rumah!” usul salah satu siswa setelah sesi diplomasi singkong goreng.

 

Ambon (Bahasa Sasak): singkong

Bojo (Bahasa Bima): singkong

Kecoro (Bahasa Bima): jamur


Cerita Lainnya

Lihat Semua