Saat Senyum Itu Kembali

Siti Bagja Muawanah 25 Mei 2016

Desember 2015 saya tiba di sebuah daerah yang bernama Tanjung Matol. Daerah ini berada di pinggir Sungai Sembakung, yang berada jauh dari jalan raya. Untuk sampai di desa ini, kita harus masuk melewati jalanan tanah merah yang lengket dan licin saat hujan dan sangat keras saat kemarau.

 Karena berada jauh di pedalaman Kabupaten Nunukan, tak ada akses bagi anak usia dini untuk menikmati pendidikan di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini atau Taman Kanak-kanak. Jadi, anak-anak di sini hanya bermain sepanjang hari, menunggu bapak dan mama mereka pulang dari ladang.

Melihat itu semua saya memutuskan untuk mengajak anak-anak tersebut belajar sambil bermain di lapangan desa. Saya melakukannya setiap sore hari, tepatnya dari pukul 16.30-18.00 WITA. Belajar di waktu senja diselingi beberapa permainan dan nyanyian sederhana sudah membuat mereka begitu bahagia dan antusias luar biasa. Hal itu membuat siapapun yang melihatnya bahagia.

Setiap kali saya berjalan menuju lapangan mereka berlarian membawa buku tulis dan pulpen. Mereka berteriak memanggil saya “Bu, belajar apa hari ini?” Saat mendengar itu saya hanya tersenyum sambil menjawab, “Belajar apa yah? Yuk kumpul dulu sini!”

Setelah mereka semua berkumpul ditemani beberapa anak-anak SD dan SMP kamipun memulai kegiatan. Setiap hari selalu begitu. Sampai akhirnya kegiatan ini harus dihentikan untuk sementara waktu, karena salah satu anak yang paling bersemangat belajar meninggal. Rumah anak tersebut berada tepat di depan lapangan tempat kami biasa berkumpul.

Saya menghentikan itu semua karena tidak tega melihat sang mama selalu menangis saat melihat saya dan anak-anak. Beliau teringat akan anaknya, Felin. Hampir satu bulan tak ada keceriaan di sore hari. Hati ini mulai rindu melihat tawa riang mereka.

 Dari hari ke hari saya terus berpikir sampai akhirnya saya bertemu dengan Pak Subandi. Beliau adalah warga desa yang sudah lama ingin melihat adanya lembaga PAUD di desanya. Perbincangan dengan beliau mengingatkan saya akan tujuan saya datang ke sini.

Maka saya pun memulai diskusi dengan aparat desa tentang pendirian PAUD untuk kelompok Desa Tanjung Matol yang terdiri atas dua desa ini. Selain itu, saya pun mendiskusikan hal yang sama dengan guru-guru di SD dan juga dengan warga desa. Hasil dari diskusi-diskusi tersebut adalah kebulatan tekad untuk segera berjuang mendirikan lembaga PAUD.

Perjuangan itu pun dilakukan secara bergotong royong. Demiana dan Rosiani, pemuda desa mendata anak-anak usia dini dari satu rumah ke rumah yang lain. Aparat desa mengumpulkan warga desa untuk membentuk pengurus PAUD, membuatkan surat-surat yang dibutuhkan untuk kelengkapan administrasi, dan menyisihkan sekitar Rp40.000.000 dari dana add dan dd untuk mendanai lembaga ini.

Selain itu, Kepala sekolah SD pun memberikan banyak spidol, penghapus, dan papan tulis untuk sarana awal kegiataan di PAUD. Beliau juga meminjamkan perpustakaan sekolah untuk digunakan sebagai tempat belajar PAUD sebelum dana lembaga ini cair.

Orang-orang bekerja bersama-sama. Membantu sebisa yang mereka mampu. Hal tersebut akhirnya membuat PAUD ini berdiri dengan cepat. Berdirinya PAUD yang diberi nama Mentari Atulai ini membuat anak-anak di desa gembira sekali.

Setiap pagi mereka menenteng bekal untuk dimakan saat jam istirahat sebelum mereka bermain jungkat jungkit sederhana atau bermain kejar-kejaran sambil tertawa ditemani bunda PAUDnya. Tawa itu akhirnya kembali, bahkan kini bisa disaksikan setiap hari.

Ketika semua bergerak semua masalah pendidikan sudah pasti kalah telak.

                                                                        

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua