Mutiara di Pedalaman Kaltara

Siti Bagja Muawanah 26 November 2016

Dimanapun engkau berada selalulah menjadi yang terbaik dan berikan yang terbaik dari yang bisa kita berikan.

(B. J. Habibie)

Ketika menginjakan kaki untuk pertama kali di provinsi termuda yang berada di sisi utara Pulau Kalimantan ini ada rasa takut dan cemas yang memenuhi hati. Rasa takut itu muncul karena perjalan kali ini adalah pengalaman pertama saya merantau dengan jarak yang cukup jauh sementara rasa cemas muncul karena ada banyak perbedaan yang sangat ketara mengenai daerah ini dan daerah asal saya di peloksok Provinsi Banten.

Perbedaan yang sangat nampak yaitu agama warga desa yang hampir semua beragama Katholik dan suku mereka semua adalah Dayak Agabag. Saya yang beragama Islam dan bersuku Sunda merasa sendirian. Namun, setelah hampir lima bukan saya hidup bersama mereka. Melihat bagaimana mereka menjalani kehidupannya sehari-hari. Melihat begitu banyaknya potensi yang mereka miliki. Juga melihat bagaimana mereka mensyukuri kehidupan yang diberikan ilahi. Semua ini menjadi perpustakaan abadi yang mengajari saya tentang arti semboyan Bhineka tunggal ika; berbeda-beda tapi satu jua.

Saya dan mereka secara agama dan budaya memang berbeda, akan tetapi kami adalah waga Indonesia yang hidup berdampingan, saling membantu untuk membuat perubahan. Hal tersebut terlihat saat di sekolah saya, SDN 011 Sembakung mengadakan kelas cita-cita.

Kelas cita-cita adalah kegiatan berbagi. Orang-orang dari berbagai latar belakang profesi (guru, polisi, tentara, bidan, perawat, dokter, pemadam kebakaran, dan staf kecamatan) menyempatkan diri untuk hadir di ruang kelas dan menceritakan perjuangannya meraih cita-cita. Para profesional tersebut hadir dengan ketulusan dan penuh keiklasan untuk memotivasi siswa-siswi yang mereka jumpai. Mereka yakin kebaikan yang dilakukan akan mampu menyentuh hati para generasi bangsa agar berani bermimpi dan bekerja keras untuk mewujudkannya.

Pada kesempatan itu semua orang bergerak. Para kepala desa menyumbangkan dana, kepala sekolah menyiapkan sarana dan prasarana, guru-guru menyiapkan semuanya dengan kerja sama yang baik, para siswa hadir dengan antusias, dan para relawan hadir dengan ikhlas.

Semua hadir dan bekerja untuk memberikan sumbangan bagi pendidikan. Saya jadi teringat perkataan Menteri Pendidikan, Pak Anies Baswedan. Beliau berkata “Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik”. Ya semua orang yang pernah bersekolah tentu memiliki hal yang layak dibagikan pada generasi penerus bangsa. Dengan demikian, pendidikan di negara kita akan menjadi lebih baik.

Mungkin akan ada yang sependapat dengan saya dan mungkin akan ada yang tidak sependapat. Itu wajar karena perbedaan adalah rahmat yang dengannya kita saling mengenal dan saling menghormati.

Saya percaya di zaman yang sudah modern seperti saat ini, kita sudah tidak lagi menutup mata akan nasib saudara kita yang berada di pelosok sana. Mereka yang berbahagia menjalani hidup sederhana di tempat tinggal mereka di Provinsi Kalimantan Utara.

Mereka yang memerlukan kecerdasan atau kepandaian demi masa depan yang lebih baik. Sungguh mata saya baru terbuka bahwa untuk menjadi Rahmatan Lilalamin seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang berilmu di agama saya ternyata banyak caranya. Hal ini saya dapati pada sosok sederhana guru-guru di pedesaan sana. Mereka yang mengabdi dengan tulus.

Hal tersebut membuat mata saya yakin bahwa sukses bukan hanya mencapai kemapanan dalam harta, tapi juga bagaimana kita bermanfaat bagi sesama. Para guru ini berada di sana dalam waktu belasan tahun lamanya. Berjuang melawan takut pada ketidakpastian perjuangannya mendidik anak-anak didiknya.

Keinginan untuk memberikan pendidikan yang lebih baik terus terpatri di hatinya. Para guru itu terus konsisten memperjuangkan hal tersebut sampai sekarang. Mereka bahkan sudah berhasil memberikan pendidikan bagi masyarakat luas. Semua ini berkat kegigihan mereka mengajar daerah demi daerah yang begitu sulit untuk dijangkau. Mereka bahkan harus berjuang menggunakan sepeda motor pada tanah merah yang licin dan menaiki ketinting berjam-jam lamanya hanya untuk menuju sekolah tempatnya bertugas.

Lelah sudah pasti tapi mereka terus berlari mengawal mimpi anak-anak di ujung negeri. Tak ada penghargaan bergengsi yang mereka miliki. Satu-satunya penghargaan yang sangat berharga bagi mereka adalah sebutan “Ibu/bapak Guru”. Sebuah penghargaan yang membuat siapa pun terharu dan tak akan pernah melupakannya seperti Butet manurung, sang pejuang pendidikan anak-anak rimba.

Apalagi di Provinsi Kalimantan Utara saya temui beberapa putra daerah sudah mulai bekerja. Anak-anak tersebut adalah hasil dari perjuangan guru-guru tangguh di seluruh pelosok Nusantara. Bukankah puncak dari pencapaian seorang guru adalah ketika sang murid meraih kesuksesan?

Murid tersebut adalah kado dari Tuhan untuk membuktikan pada dunia bahwa pengabdian dan keikhlasan adalah dua hal penting yang semestinya digalakkan. Bukankah indah saat melihat kemasifan dalam kebaikan. Kebaikan menjadi kesuksesan dengan perubahan. Berbuat kebaikan adalah kewajiban semua manusia. Jadi siapa pun bisa melakukannya.

Dimana manusia-manuisa yang lain? Orang-orang yang berasal dari berbagai suku, agama, dan ras yang berbeda. Mereka yang akan bersatu padu untuk memajukan pendidikan di Negara Indonesia kita tercinta. Mereka yang mengabdi dengan dilandasi ketulusan.

Lihatlah guru-guru di peloksok sana! Mereka. yang memulai perjuangan dengan masuk ke pedalaman, bercengkrama dengan kehidupan orang-orang desa, dan mengfokuskan diri untuk mengajar. Merekalah para pejuang yang hanya mengharapkan balasan dari Tuhan.

Bukankah Tuhan Maha Kuasa. Ia kuasa menjadikan setiap perjuangan menjadi begitu menyenangkan dan tantangan menjadi kebahagiaan. Apabila ia sudah berkehendak maka hanya dengan satu kali ucapan maka semuanya menjadi kenyataan.

Apakah kalian masih ingat peristiwa Hiroshima. Dimana pada saat itu terjadi, Jepang mengalami kehancuran dalam beberapa hal. Menariknya, saat itu terjadi hal pertama kali ditanyakan oleh kaisarnya adalah berapa jumlah guru yang tersisa. Kondisi serupa juga terjadi di beberapa negara maju lainnya. Orang begitu bangga berprofesi sebagai guru karena bergaji tinggi dan begitu diakui.

Mengikuti negara maju, negara kita pun mulai menyejahterakan guru melalui sertifikasinya. Namun, adanya hal tersebut tentu bukan alasan kita untuk berbondong-bondong menjadi guru hanya untuk mengejar gajinya. Sebab, negara bahkan dunia masih membutuhkan pejuang pendidikan yang penuh keihlasan.

Seikhlas guru-guru di kabupaten Nunukan yang mengarungi lautan yang penuh dengan kayu yang bertebaran dengan menaiki speed boat hanya untuk sampai di kantor dinas pendidikan. Mereka mengeluarkan uang yang lumayan banyak. Untuk sekali pulang pergi bisa menghabiskan sebulan gaji honorer di sekolah-sekolah dasar.

Mereka melakukan itu hingga puluhan tahun lamanya. Mempertaruhan segalanya demi pendidikan di negara Indonesia tercinta. Tetaplah teguh berjuang. Kelak setiap nama para pejuang dalam pendidikan atau dalam bidang yang lainnya akan abadi di hati setiap orang yang mengenalnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua