Mereka layak disebut Pejuang Talang
Siti Nurul Adhimiyati 26 Mei 2014Tidak seperti biasanya, siang ini aku menunggu kepulangan anak-anak SMA yang letaknya sekitar tujuh kilometer dari talang kecil kami. Kulakukan ini tak lain karena aku harus kembali ke talang dan kebetulan tak ada yang menjemput, jadi kuputuskan untuk ‘nebeng’ salah satu anak SMA yang memang tinggal di talang. Sekitar setengah jam menunggu akhirnya sekolah bubar, kuperhatikan satu ppersatu anak-anak yang keluar dari gerbang terutama yang membawa motor. Sudah hampir sepi, tapi tak kulihat anak bernama Beri yang bisasanya memberiku tumpangan jika aku akan pergi ke kota. Juga beberapa anak lain yang memang tinggal di talang kami. Muncul pertanyaan dalam hati, ada apakah gerangan sehingga mereka belum keluar dari gerbang sekolah?
Maka kuputuskan untuk memasuki gerbang sekolah, bertanya kepada beberapa anak yang masih tersisa. “Dek, kenal Beri tidak? Dia sudah pulang belum ya?” tanyaku pada salah satu siswa. “Tahu yuk, tapi kami tidak lihat dia sudah pulang atau belum” Jawabnya. Lalu dari kejauhan terdengar sayup seseorang memanggilku.
“Ibuk, bu Adhim!” Seketika aku menoleh ke sumber suara. Nah, itu dia ada salah satu anak talang kami, aku yakin anak yang kucari juga sedang bersamanya.
“Beri mana nak?” tanyaku kemudian.
“Beri sedang di rumah situ tuh buk, sama Ayuk sama Ita!” jawabnya sambil menunjuk salah satu rumah mungil di belakang gedung sekolah.
“Lah, ngapain Beri disana nak, kok gak langsung pulang saja?" tanyaku kembali.
“Numpang ganti baju buk, biar seragamnya tidak kotor. Besok kan masih dipakai buk seragamnya” Jawabnya sambil mringis. Seketika aku baru sadar, tak seperti aku yang hanya keluar masuk talang beberapa minggu sekali, jalanan yang akan kami lewati adalah rutinitas harian mereka tak peduli hujan atau panas.
“Ya ampun, ini anak keren banget ya. Atas masih pake seragam lengkap, pake dasi pula. Tapi kok bawahnya pake kolor gitu?hahahaha” candaku sambil diikuti tawa renyah kelima anak yang ada di hadapanku.
“Tahu gak buk, masak masih ada teman-teman kami yang tega-teganya bilang moga-moga aja hujan terus, biar gurunya pada gak masuk. Mereka yang ngomong gitu gak mikirin nasib kami apa ya buk, Ibuk tahu sendiri kan kalo hujan jalan kita seperti apa”. Salah satu dari mereka tiba-tiba berkeluh kesah, aku terdiam seketika.
“Tapi Buk, itu tidak akan membuat kami menyerah!” Celetuk Beri.
Wajahku sumringah mendengar kata-katanya. “Gue suka gaya loe!, coba ulangi lagi biar ibuk rekam videonya” teriakku. Beri yang agak pemalu itupun langsung kabur begitu kukeluarkan handphone untuk merekamnya, begitupula keempat anak yang lain langsung bubar sambil tertawa cekikikan.
“So, are you ready guys?!!” teriakku menjelang keberangkatan kami kembali ke talang.
“Yes, we are!!!!”teriak mereka sambil tancap gas, keluar dari gerbang sekolah.
Perjalanan awal masih lumayan, ada sekitar seratus meter jalan batu, setelah itu tantangan sebetulnya baru dimulai.
“Bu, ibu kemarin-kemarin lewat jalan utama kan buk? sekarang kami ajak lewat jalan tol saja ya buk.Hehe..”. ucap Beri yang memboncengkanku
“Sip.. Boleh”.
Beberapa hari ini hujan mengguyur talang, bahkan dalam setahun ini disini tak ada kemarau. Datangnya hujan tentunya membuat jalan utama sudah rusak parah. Daripada motor menyangkut dan lekat ke tanah, maka mereka memilih untuk mencari jalur alternatif melewati kebun karet, meskipun perjalanan agak lebih lama, yang penting lancar. Empat orang siswi dan satu orang siswa. Kelimanya sungguh terlihat begitu menawan di mataku. Menyaksikan sendiri kelihaian mereka melewati jalan lumpur dan semak belukar menggunakan sepeda motor. Tak jarang mereka jatuh terpeleset atau harus saling membantu mendorong motor yang tersangkut, tapi kesemuanya dilakukan dengan penuh sukacita.
“Jalan tol ini nanti tembusnya dimana?”. Tanyaku memecah keheningan.
“Jalan deket blok buk”.
Blok adalah sebutan mereka pada sebuah tambang minyak dan gas yang kami lewati jika kami kembali ke talang. Semenjak perusahaan ini tak beroperasi, maka jalan yang kami lalui juga semakin tak terawat. Karena tak ada lagi alat berat yang akan meratakan jalan tanah yang sudah membentuk bekas ban motor di sana sini.
Sesampainya kami di blok, tiba-tiba saja ada yang menyeletuk. “Buk, kami dulu pernah mau nyoba masuk ke dalam sama Bu Trisa, tapi tidak diperbolehkan sama penjaganya buk.”
“Oh mungkin karena saat itu tambangnya masih beroperasi, makannya tidak boleh nak. Eh, bagaimana kalau kita minta ijin masuk lagi? Siapa tahu kali ini diperbolehkan sama penjaganya. Kan tambangnya sudah tidak beroperasi.” Jawabku sambil menawarkan kepada mereka.
“Wah... mau banget buk”. Jawab mereka hampir berbarengan.
Aku masuki gerbang tambang, kemudian menemui penjaga tambang yang kebetulan kulihat berada di depan markasnya. Kuperkenalkan diri kuelaskan maksudku kepada penjaga tambang tersebut yang bernama Pak Alex. Beliau mengijinkan kami masuk, dan bahkan bersedia menjadi tour guide kami di lokasi tambang dengan ketentuan kami tidak diperkenankan mengambil gambar di lokasi pengeboran. Ahai, tentunya syarat yang tidak terlalu berat dibandingkan ilmu yang akan kami peroleh.
Maka dimulailah study tour singkat kami bersama pak Alex, karena tidak diperkenankan mengambil foto maka kuminta anak-anak mencatat hal-hal yang penting. Pak Alex dengan sabar dan ramah mengenalkan dan menjelaskan semua alat-alat yang kebetulan masih tersisa di lokasi pengeboran yang ternyata dulunya dioperasikan secara manual. Scrabber, kompresor, letak sumur pengeboran, pendistribusian hasil tambang, pengolahan gas sebelum didistribusikan, dan beberapa sisa-sisa piranti yang digunakan untuk mata bor yang tentunya sudah tidak ada lagi intan yang terpasang disana. Kami sampai tertawa-tawa sendiri membayangkan intan yang begitu besar di mata bor tersebut.
Setelah memberikan penjelasan singkat dan menjawab beberapa pertanyaan dari kami. Pak Alex juga memberikan kami motivasi bahwa untuk bisa sukses harus mau belajar keras, dan harus menguasai Bahasa Inggris. Begitupula jika ingin memasuki dunia pertambangan,kedua hal itu juga menjadi syarat wajibnya.
Tour singkat kami ditutup dengan mengelilingi bekas mess pegawai dan kantin yang kata anak-anak dulu sering mereka kunjungi terutama saat bulan puasa untuk membeli es. Namun semuanya tinggal kenangan, mess dan kantin tersebut sudah dipenuhi rumput dan semak belukar. Di tempat inilah kemudian kami berfoto bersama.
Puas rasanya beberapa jam bersama anak-anak ini. Ibarat baterai, beberapa jam bersama mereka rasanya seperti semangat dalam tubuhku dicas penuh. Menyaksikan sendiri betapa antusiasnya mereka melanjutkan pendidikan disaat banyak dari teman-teman sebayanya memilih untuk berhenti berjuang. membuatku malu jika di masa akhir tugasku aku malah kehilangan semangatku.
Terimakasih Beri, Misra, Ita, Ayuk, dan Yuni. Ibu bahagia mengenal kalian, para pejuang talang. Yakinlah, suatu hari nanti Tuhan akan membayar perjuangan kalian ini dengan berlipat ganda. Teruslah belajar dari siapapun, dimanapun, dan dari apapun. Ibu yakin, perjalanan kalian ini akan membantu kalian untuk menjadi pemimpin yang bijak kelak di tanah air yang begitu kita cintai ini, INDONESIA.
Talang Airguci, 19 Mei 2014
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda