Oktober di Rote Ndao

Iwan Budi Santoso 27 Mei 2014

Terbit lebih dini, terbenam agak telat. Waktu masih menunjukkan pukul 06:00 WITA. Tetapi murid-murid sudah berjalan tergesa-gesa ke sekolah. Itu adalah bulan Oktober di Pulau Rote. Di Rote, bulan ke sepuluh adalah bulan petaka bagi yang sensitif panas. Saat siang, matahari yang sedang menuju arah garis balik selatan bumi, tepat ada di atas kepala. Beberapa bulan menjelang akhir tahun inilah kita dapat melihat eksotisnya Pulau Rote, perbukitan yang diselimuti sabana gersang dengan sapi-sapi kurus yang mengunyah rumput kering.

Berbicara mengenai kebaikan memang tidak ada habisnya. Umumnya orang di pelosok desa belum berpikir tentang harga dari segelas air putih yang akan diberikan kepada pengendara sepeda yang sedang kehausan. Ini bulan ke sepuluh, suhu sangat panas, dan bersepeda 18 KM dari Desa Kuli ke Kota Baa ketika bayangan tubuh tidak lagi terlihat adalah pilihan yang sulit.

Pertama, sudah dijelaskan di atas, cuaca sangat panas. Kedua, jalanan rusak. Ketiga, jalanan menanjak. Keempat, jarak antar desa jauh dan yang terakhir jarang ada kios. Alasan pertama hingga ketiga masih bisa ditolerir oleh kondisi badan dan sepeda. Kedua alasan berikutnya yang sering menjadi kekhawatiran orang-orang rumah mengingat aku sering bersepeda dengan perlengkapan yang minimalis.

Untunglah setiap rumah yang berada di tepi jalan berdebu itu dihuni oleh manusia-manusia yang tulus. Cukup mengatakan,

“Permisi Mama, ada air minum ko? Beta boleh minta?”,

selanjutnya adalah sedikit keributan dari dalam rumah. Tidak jelas memang apa yang mereka ributkan, namun intinya adalah mereka akan mempersiapkan wadah terbaik dan air terbaik untuk diberikan kepada pengendara sepeda yang mulai dehidrasi.

Itulah serunya bersepeda di Rote. Selain bisa menikmati alam, bisa juga menikmati kebaikan hati warganya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua