Menunggu Kelas Spesial di Hari Sabtu

Siti Nurul Adhimiyati 8 April 2014

 

 

Saturday is a special day!!!

Sabtu..sabtu…siapa yang tak menyukai hari Sabtu. Apalagi setelah satu minggu penuh dilalui dengan berbagai aktivitas. Begitupula di sekolah kami, hari sabtu biasanya hanya kami isi dengan menggambar dan mewarnai. Ya.. lagi-lagi menggambar dan mewarnai. Bosan.. tentu saja bosan. Maka siang hari itu saat pelajarn IPS dimulai oleh kelas 4 dan 5 di hari Kamis, Pak Efriansyah salah satu Guru di sini meminta anak-anak membawa barang dagangan di hari sabtu. Boleh berupa apa saja.

Anak-anak senang bukan kepalang. Karena kelas pastilah akan ramai dengan berbagai macam barang dagangan. Prediksi yang ada adalah banyak anak-anak yang akan menjual makanan. Akan ada berbagai makanan tradisional. Wah.. girang tak terkira si Ibu Guru yang doyan sekali ngemil ini. Hahaha... Namun sayang seribu sayang, hari itu karena satu dan lain hal, si Ibu Guru berhalangan hadir. Oke, musnah sudah harapan melihat berbagai makanan itu untuk dinikmatinya.

Meski kehilangan kesempatan di hari-H, si Ibu Guru tak lantas diam. Senin pagi mulailah dia kumpulkan informasi mengenai apa saja yang dijual anak-anak hari sabtu minggu yang lalu. Dari sebuah pertanyaan

“Sabtu kemahen, dengan jualan ape die nak?”

“Omelet bu... lok yang Ibu ajarkan dulu itu..”

“wah.. laris gak dagangannya?”

“langsung habis bu.. Laris manis...” wajah si anak terlihat sumringah

“Dapat duit banyak dong...” (Oke si Ibu mulai iseng)

“Ao buk, dapat tujuh ribu..” (wajah si anak masih tetap dengan wajah sumringah)

“modalnya behape nak?”

“Kami tuhunan buk, masing-masing tiga ribu”

“Ade behape orang kelompok dengan nak?”

“tige buk...”

“Lah... rugi dong” (Jawaban si Ibu membuat si anak meringis tak berdosa)

Oke si Ibu mulai menghitung, tiga ribu kali tiga orang artinya iurannya sembilan ribu, dan pendapatan kelompok ini hanya tujuh ribu. Jadi, MEREKA RUGI!!! (dan kalimat dengan huruf kapital ini agak berlebihan.. maaf si Ibu Guru kadang-kadang memang agak berlebihan XD). Otak bisnis si Ibu Guru langsung tidak terima, karena ternyata anak-anak ini juga tak menyadari kerugian mereka. Ya tapi dasar anak-anak, mereka sih asik-asik aja selama dagangan mereka hari itu habis. Maka kemudian muncullah ide itu. Bekerjasama dengan guru kelas IV dan V (yang sebetulnya hanya satu orang dan tentu saja mudah dirasuki fikirannya, hahaha) akhirnya kami sepakati untuk membentuk kelas wirausaha setiap hari sabtu. Berjualan setiap hari sabtu pertama dan memberikan penjelasan di minggu berikutnya.

Mengapa si Ibu Guru akhirnya semangat sekali memberikan kelas wirausaha kepada anak-anak ini? Jawabanya tentunya bukan hanya soal makanan lezat yang akan ditemuinya setiap dua minggu sekali (ya, walaupun sebetulnya itu juga salah satu faktornya..hehe), atau melulu soal mengajari anak-anak ini untung dan rugi. Terlebih dari itu semua, tentunya kita sadar bahwa wirusaha adalah salah satu langkah pasti menuju kemandirian.

Sama seperti kepribadian seseorang, pola konsumtif serta kebergantungan kepada orang lain yang seringkali ditemukan pada seseorang sesungguhnya juga berawal dari ajaran pola konsumtif itu sendiri ketika mereka masih berusia dini. Pola asuh anak secara bertahap akan mempengaruhi pembentukan karakter mereka ketika mereka telah memasuki usia dewasa.

Jauh sebelum memikirkan masalah perekonomian suatu bangsa yang semakin maju jika masyarakatnya banyak menelurkan lapangan pekerjaan, wirausaha sendiri memiliki berbagai karakter positif yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Seorang wirausahawan harus dituntut untuk selalu kreatif, aktiv, inofatif, disiplin, percayadiri, tepat sasaran, bertanggung jawab, jujur dan masih banyak karakter positif lain dalam diri seorang wirausahawan. Hal inilah yang kemudian membuat si Ibu Guru tertarik untuk mengenalkan anak-anak didiknya menjadi seorang wirausahawan. Pengenalan karakter paling efektif menurut si Ibu Guru, melalui pendekatan yang disukai anak-anak tentunya.

Maka dimulailah kelas spesial itu, setiap hari sabtu. Kelas ini memang baru berjalan beberapa kali, namun disini anak-anak mulai belajar banyak hal. Belajar tentang modal, bahwa sekecil apapun bahan yang mereka gunakan harus dimasukkan dalam perhitungan, tentunya ketelitian secara otomatis telah mereka pelajari.  Belajar tentang untung-rugi, secara otomatis mereka akan belajar mengambil resiko dan keberanian. Belajar menawarkan barang dagangan dan pengemasan, secara otomatis mereka belajar lebih kreatif juga komunikatif. Belajar tentang strategi pemasaran jika barang dagangan tidak laku, secara otomatis merekapun belajar initiating action. Yang malu dan malas pun akhirnya juga akan belajar dari yang tekun dan gigih. Ini nyata, bahwa yang malas tak akan mengahasilkan apa-apa. Belajar, belajar, dan belajar banyak hal. Si Ibu Guru berharap lewat kelas kecil ini, anak-anaknya akan menjadi manusia pembelajar.

Berawal dari sesuatu yang kecil, itulah anak-anak. Suatu hari mereka akan tumbuh dewasa dan bersama dengan hal itu tumbuh pula karakter mereka yang telah tertanam di diri mereka kini. Hanya itu harapan kecil si Ibu Guru yang disemai di ladang hijau murid-murid yang begitu dikasihinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua