Menembus Batas
Siti Nurul Adhimiyati 8 April 2014Pagiku cerah, matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua, kunantikan dirimu...
Dari kejauhan teriakan nyanyian siswa siswi kelas jauh SDN 10 Rambang terdengar samar. Sekolah mungil itu berada di sebuah perkampungan kecil yang terdiri dari 99 Kepala Keluarga bernama Talang Airguci. Jumlah siswanya sekitar lima puluhan, tak banyak memang. Untuk ukuran kelas jauh, sudah sewajarnya jumlah siswanya tak seberapa.
Setiap pagi, mereka selalu menunggu kedatangan guru mereka dengan penuh semangat. Ada kalanya hari tak bersahabat. Hujan deras yang mengguyur bahkan tak pernah menyurutkan langkah mereka menuju ke sekolah. Tak peduli seberapa hancur jalan tanah yang harus mereka lewati, tak peduli sepatu mereka sudah basah dan dipenuhi licak. Tak peduli mereka kedinginan dalam baju yang basah terkena air hujan. Setiap pagi senyum mereka akan selalu mengembang dan berteriak lantang “Ibu Guru datang!!!!! Ayo masuk!!!!!”
Mereka dilahirkan di tengah perkebunan karet yang begitu asri dan masih menyisakan beberapa jenis binatang hutan. Tentu saja kehidupan mereka jauh sekali dari kemewahan dan hingar bingar kota, listrik pun hanya mereka nikmati dari genset dari kampung yang menyala mulai pukul enam sore hingga pukul sebelas malam. Hanya hal itulah yang menjadikan pembeda anak-anak di sini dengan di tempat lain. Nyatanya itu bukanlah hal yang menjadi tembok pembatas bagi mereka untuk mengejar mimpi dengan berbagai potensi dan kecerdasan yang mereka miliki. Sebelumnya, mereka juga telah satu tahun diajar oleh seorang Guru Muda yang sempat mengenyam pendidikan di Belanda. Memperkenalkan mereka pada kebudayaan dari Bangsa lain sekaligus merajut mimpi mereka untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Bulan November tahun 2013 kemarin, salah satu siswi bernama Tri Alya Desta mendapatkan kesempatan untuk mengukir semangatnya dalam Konferensi Penulis Cilik Indonesia di Jakarta.
“Agak takut kalo lihat ke bawah bu, tapi seneng banget bisa lihat awan”. Kata siswa kelas IV SD ini ketika ditanya perasaannya saat pertama kali naik pesawat. Anak berusia sepuluh tahun ini juga sempat mengeluhkan kemacetan yang memang sudah menjadi makanan sehari-hari penduduk Ibukota
“Mending jalan jahat (jelek) dan banyak licak lok di talang bu daripada dek pacak (tidak bisa) bejalan lok di Jakarta. Terus buk, di hotel saya sempat bingung gak bisa pake WCnya, soalnya kan biasanya BAB di sungai buk. Untung ada kakak-kakak yang mau ngajarin saya caranya..hehe” sambungnya sambil meringis menahan malu.
Seperti layaknya anak-anak kami di seluruh penjuru dunia. Sesungguhnya masih banyak anak-anak di sini yang pastinya memiliki potensi-potensi terpendam yang tak kasat mata dan membutuhkan keberanian untuk menembus tembok-tembok yang menjadi penghalang mimpi mereka. Bukan masalah yang besar mereka dilahirkan di mana atau sekolahnya sebagus apa. Namun akan sangat bermasalah jika kualitas orang-orang di sekitar mereka tidak dapat memberikan dukungan dan keyakinan yang kuat bagi jiwa-jiwa mereka yang masih berada pada pembentukan dasar kehidupan mereka kedepan.
Bersama orangtua yang menyadari pentingnya pendidikan, serta bimbingan dari guru yang senantiasa mendampingi perkembangannya, tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak inilah yang nantinya menjadi generasi penerus kepemimpinan berkualitas di sini. Mereka juga yang nantinya menjadi bukti bahwa anak-anak boleh dilahirkan dimana saja, namun masing-masing individunya berhak menggantungkan cita-cita di ujung langit sana.
Ya… Kalian pasti bisa nak…
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda