info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menggungat Makna 'Kampungan'

Sisca Kezia Puspita 24 Desember 2017

Aku berada ribuan mil dari keriuhan kota. Perlu waktu 7 jam mobil mendaki dari kabupaten menuju tempat ini jika jalanan licin berlumpur, waktu yang cukup untuk cerita cinta satu pihak antara tanah dan roda, yang satu membenamkan ban tak boleh pergi yang satu berusaha berputar untuk pergi. Naas memang. Mobil ini menuju; kampung, desa, pelosok, you name it, tapi orang-orang terbiasa menyebutnya Desa Wowalatoma. Memasuki malam ke-5 berada di sini membuat saya berfikir ulang tentang istilah kampungan. Sinis, dangkal, arogan sekali menyandingkan kata ‘kampung’ dan ‘an’ lalu menjadikan terminologi kampungan untuk mendefinisikan kondisi selera yang jauh dari konstruksi sosial ‘kekinian’.

Hari pertama kedua lidah kelu tak paham mau berbicara apa karna selain tidak mengerti apa yang dibicarakan khawatir keluar pertanyaan aneh atau menyinggung. Selanjutnya macam bendungan jebol hal remeh temeh aku lontarkan, bahkan kepada anak muridku sekalipun.

Alasan pertama yang menjadi sanggahanku terkait penggunaan istilah ‘kampungan’ bermula dari sapi yang berkeliaran di jalan juga halaman sekolah. Saya menanyakan bagaimana pemiliknya mengenali sapi miliknya atau bukan? Apa ada yang kehilangan sapi atau jumlah sapi akan berkurang? Bagaimana kalau sapi melahirkan, apa di alam bebas tanpa pengawasan? Pertanyaan saya dijawab dengan santai tapi sungguh si penanya ini takjub tidak habis berdecak dan mengingat bahwa sapi Australia dan New Zealand konon kabarnya jauh dari jamah tangan manusia. Sapi bebas berkeliaran di alam, bebas merumput sesuka hati, seperti diberikan kontrol diri saja dengan hasil yang tidak main-main yaitu daging sapi yang lebih berkualitas karena minim lemak juga otot yang baik, berbeda dengan sapi kandang yang terbiasa diberikan pakan ternak juga kandang sempit yang gemuk namun kadungan lemaknya besar. Aku utarakan kekaguman itu kepada ayah angkat dan ia terkejut karena ia mengatakan bahwa ada pembeli yang lebih memilih sapi di Latoma meskipun harganya lebih mahal karena daging yang dihasilkan lebih baik dan  lemaknya sedikit. Konsep peternakan bebas dengan hasil berkualitas. Sapi oh sapi begitu berbaur disini, hingga jalanan dan ranjau kotoran sapi seperti aspal di jalanan kota sana.

Di hari yang berbeda saya mendengarkan cerita tentang preferensi 'dimana menyimpan uang?' Beberapa diantaranya memilih membeli tanah juga sapi daripada banyak menabung di bank dengan pertimbangan jika di bank uang yang disimpan tidak bisa beranak  sedangkan harga kebutuhan akan selalu naik. Jika ia membeli tanah bisa digunakan untuk berkebun dan harga tanah akan selalu naik. Jika ia membeli sapi bisa berlipat nilainya karena perkembang biakannya. Bukan kah itu prinsip investasi yang digaungkan oleh ekonom-ekonom?

Pernah mendengar istilah double burden? Perempuan disini membahas itu dalam bahasa mereka. Mempertanyakan kenapa laki-laki hanya bekerja sedangkan perempuan melakukan segala nya? Ya bekerja juga, ya mengurus urusan domestik sebagai ibu rumah tangga, dan disalahkan kalau ada yang terjadi dengan anak seolah peran mengurus anak itu hanya perempuan saja? Itu menjadi alasan ketigaku menggugat istilah kampungan dari sudut pola pikir mereka.

Last but not least, aku sangat menggandrungi seni juga kerajinan tangan. Kau tau? Sungguh kemewahan ketika merebahkan badan bisa melihat langit-langit bukan tembok putih tapi kain berwarna warni yang disambung menjadi satu. Kalau malam hari ketika tidak ada listrik saya biasa menggunakan senter untuk melihat. Nah itulah yang biasa disebut patchwork dalam dunia para crafter. Mereka membuatnya dengan menjahit tangan tapi hasilnya tidak kalah dengan menjahit dengan mesin. Komposisi warnanya juga menarik. Nikmat mana lagi yang didustakan sebelum mata terpejam melihat patchwork keren macam itu. 

Masih banyak hari untuk menambah alasan lain atau adakah cerita lain yang ingin kalian tambahkan?

Kalau ada istilah ‘kampungan’ bolehlah sandingkan juga dengan istilah ‘kotaan’ untuk mencemoohku saat ini yang terbiasa hidup instant dan gagap terhadap hidup yang menghidupkan.

 

Desa Wowalatoma, 7 Juni 2017


Cerita Lainnya

Lihat Semua