Roller Coaster Penempatan dan Tangan-tangan Tuhan

ShofiNurul Himmah 13 Juli 2015

 

Jika saya ditanya, benda apa yang paling menggambarkan dinamika awal penempatan maka saya akan dengan yakin menjawab: roller coaster!

Kurang dari satu bulan yang lalu, saya berangkat ke tempat ini dengan hampir tanpa ekspektasi sama sekali. Pada apapun atau siapapun. Pertama, saya bukanlah makhluk sosial yang baik. Tim saya belum memiliki bayangan apapun mengenai apa yang akan kami lakukan. Dan daerah penempatan saya dikenal dengan cukup banyak kesan negatif. Maka saya berangkat dengan ekspektasi terendah yang mungkin dimiliki oleh seorang Pengajar Muda ketika berangkat ke penempatannya.

Di lokasi penempatan, kebanyakan Pengajar Muda melakukan transisi tim dan baru setelahnya transisi pribadi. Berbeda dengan hal itu, kurang dari tiga jam setelah kami menginjakkan kaki di Bumi Multatuli kami segera berpisah menuju desa masing-masing. Saat itu, tentu saja saya masih berkutat dengan ekspektasi yang rendah sekaligus kekhawatiran yang tinggi. Beberapa hari kemudian, kami menjalani transisi tim dan melakukan kegiatan bersama-sama selama kurang lebih satu minggu. Pada saat itulah ekspektasi saya meningkat drastis. Saya menemukan tangan Tuhan yang pertama: tim. Dari mereka saya belajar untuk memutuskan bahagia.

Kemudian tibalah hari ketika keenam Pengajar Muda sebelum kami harus kembali, meninggalkan kami berenam yang belum yakin hendak melakukan apa. Kepala saya kembali blank. Dan bekerjalah tangan Tuhan. Tim kami yang sebelumnya belum terlalu terbiasa bekerja bersama segera memutuskan bahwa kami tidak bisa terus-terusan diam dan menunggu keajaiban. Kami harus memulai. Maka selama hampir 3 hari berikutnya, kami melakukan rapat sepanjang hari. Berdebat. Bersepakat.  Dari bangun pagi hingga tidur lagi. Apa yang akan kami lakukan. Siapa bertugas apa. Apa rencana dan target tim. Apa rencana dan target pribadi. Tidak lupa kami saling memberi saran mengenai rencana-rencana pribadi, meski pada akhirnya kami menyerahkan kepada masing-masing individu untuk memutuskan. Kemudian setelahnya, saya meninggalkan kontrakan di kabupaten dengan ekspektasi yang kembali tinggi. Saya tahu saya punya rencana, saya tahu saya hendak melakukan apa.

Tiba di desa, saya segera bergerak. Bertahap mendatangi beberapa orang dan memulai pembicaraan yang perlu dibicarakan. Pada saat berbicara dengan seorang tokoh, saya menemukan sebuah masalah. Ah, bukan masalah. Mungkin lebih tepatnya realita. Konsep menggerakkan di tempat ini masih merupakan barang mewah. Telah banyak yang mencoba. Sebanyak itu pula yang kemudian menyerah. Saya ditampar oleh sebuah pertanyaan sederhana: siapa yang hendak kamu gerakkan, hah?

Maka saya menurunkan ekspektasi, serendah-rendahnya. Mungkin saya hanya perlu melakukan yang bisa saya lakukan. Tidak perlu banyak rencana. Kenyataannya, realita adalah segalanya. Tidak perlu muluk-muluk, menggerakkan hanyalah mitos konyol tanpa ada yang mau digerakkan.

Suatu siang, pesan singkat masuk ke handphone saya. Undangan buka bersama dengan kelompok pecinta alam. Menarik. Sayangnya saya sudah ada janji dengan anak-anak di sekitar rumah untuk berbuka bersama. Hampir saja saya balas pesan tersebut dengan permintaan maaf, tiba-tiba kaki saya tergerak keluar dan refleks menyampaikan pada seorang anak untuk menyampaikan permintaan maaf pada kawan-kawannya bahwa buka bersama hari itu dibatalkan karena saya ada urusan.

Sore itu saya kembali dikagetkan oleh sebuah tangan Tuhan yang lain.

Saya dipertemukan dengan sekelompok pemuda yang berasal dari beberapa desa bahkan beberapa kecamatan –yang bonusnya adalah semuanya merupakan kecamatan yang ditempati Pengajar Muda. Mereka mengatakan: “Kami memiliki latar belakang pecinta alam. Kami suka menjelajahi alam terutama di sekitar sini. Curug, gunung, termasuk juga situs-situs sejarah dan budaya. Sampai ketika kami berkumpul di sini dan kami sama-sama merasa lelah hanya melakukan itu-itu saja. Kami ingin melakukan sesuatu yang lebih. Berbuat sesuatu, bermanfaat bagi sesama. Apalagi kami juga melihat bahwa masih banyak kampung di dekat sini yang sangat tertinggal, banyak masyarakat yang masih buta huruf, anak-anaknya banyak yang tidak bersekolah karena jaraknya terlalu jauh dari rumah. Kami ingin membuat fasilitas belajar informal sederhana di sana. Paling tidak mengajari mereka membaca.”

Saya sempat bertanya-tanya, dengan inisiatif sehebat itu, kemana saja mereka hingga tidak sekalipun saya mendengar keberadaan mereka? Tapi kemudian saya memutuskan untuk berhenti bertanya-tanya. Satu hal yang saya tahu, saya hampir menyerah mengenai konsep menggerakkan dan kemudian saya bertemu mereka. Maka, sungguh, nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?

Di tempat itu saya merasakan sendiri bagaimana adrenalin saya bergejolak. Saya tidak sabar. Tiba-tiba satu tahun ke depan tampak sangat menyenangkan. Mungkin tetap terlihat sulit, namun akan menyenangkan. Mereka kemudian meminta tolong. Merapikan struktur organisasi, saya sanggupi. Membantu memberikan pandangan mengenai program yang ingin mereka jalankan, masih saya sanggupi. Membantu pelaksanaan teknis termasuk mengajari membuat proposal dan referensi kontak sumber fundraising, tentu saja dapat saya sanggupi. Semuanya dengan catatan bahwa saya menolak menjadi aktor utama, dan mereka menerima itu.

Kemudian mereka meminta tolong saya membantu mencari cara menggelitik pemerintah agar tujuan besar mereka untuk nantinya membuat sekolah formal di daerah yang belum ada sekolah. Membantu mereka mencari legalisasi demi memudahkan anak-anak di kampung terpencil dapat bersekolah. Whoa whoa, tunggu dulu. Tentu saja itu permintaan realistis, saya kira. Tapi, bagaimana? Saya hanyalah seorang Pengajar Muda kocak yang bahkan masih gemetaran ketika diminta berbicara dengan mikrofon di depan warga desa. Kali ini saya memilih menyanggupi untuk berusaha, dan menggarisbawahi kata “berusaha”. Itupun masih dengan sebuah kebingungan besar, bahkan ketika “hanya berusaha”, usaha seperti apa yang dapat saya lakukan?

Setidaknya saya masih punya satu minggu sebelum pertemuan berikutnya, dan beberapa hari ke depan saya akan bertemu dengan tim. Saya bisa meminta pertimbangan tim, pikir saya saat itu. Dua hari pertama di kabupaten, saya belum menemukan pemecahan masalah. Saya memilih membiarkan kebingungan itu, mungkin sekarang saatnya saya fokus dulu menjalin silaturahim dengan penggerak yang ada di kabupaten.

Sore itu, tim kami mengetahui bahwa akan ada buka bersama suatu komunitas di kabupaten melalui sebuah undangan terbuka di status media sosial salah satu penggerak. Kami memutuskan pergi meski tidak secara langsung diundang. Acara berlangsung sebagaimana mestinya. Di pertengahan forum, saya iseng berbasa-basi dengan seorang ibu yang duduk di sebelah saya. Ternyata beliau dosen di sebuah kampus di kota itu. Basa-basi kami berlanjut menjadi perbincangan seru. Beliau bercerita banyak.

Hingga saya mengetahui bahwa beliau adalah pemilik Pusat Belajar Masyarakat di salah satu kecamatan di kabupaten ini. Beliau bercerita bagaimana dulu beliau merintis lembaga tersebut hingga mendapatkan legalisasinya. Saya kemudian tahu bahwa lembaganya tidak dapat dilepaskan dari dinas pendidikan, dan beliau tahu persis mengenai prosedur yang terkait pelegalan lembaga. Saya kemudian bercerita tentang sekelompok pemuda pecinta alam tadi. Kemudian kalimat yang saya tunggu-tunggu itu muncul juga: “Shofi bantu saja dulu mereka melakukan yang bisa dilakukan, nanti sambil jalan Shofi konsultasikan masalah legalitasnya dengan saya”. Tentu saja saya belum menemukan jalan kelcuar, tapi jelas bagi saya bahwa tangan-tangan Tuhan kembali bekerja!

Ini merupakan kali kesekian roller coaster penempatan membawa saya pada puncak ekspektasi. Untungnya, saya telah cukup banyak belajar sejauh ini. Berikutnya yang akan saya lakukan adalah menahan ekspektasi saya sendiri, menahan ekspektasi kelompok pecinta alam yang saya fasilitasi agar tidak terlalu tinggi, menyusun rencana realistis, menjalankan rencana tersebut sebaik mungkin, bersiap menemukan sekian banyak masalah, dan membiarkan tangan Tuhan bekerja menurut caranya. Saya hanya harus terus bergerak dan tidak perlu banyak menunggu, sudah terlalu jelas bagi saya bahwa tangan-tangan itu nyata.

Kampung Sitoko, 13072015.


Cerita Lainnya

Lihat Semua