info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Memilih Bahagia

ShofiNurul Himmah 19 Juni 2015

Ekspektasi dan kekecewaan. Dua kata itu seperti tidak lagi dapat dilepaskan dari hidup kami, terutama saya, sebagai seorang Pengajar Muda. Sejak memutuskan untuk mengisi belasan esai, mengikuti semua proses seleksi, pelatihan dan pengumuman penempatan hingga hari ini berada di daerah penempatan, saya sudah berkutat dengan sekian banyak ekspektasi dan juga kekecewaan yang muncul satu persatu. Indonesia Mengajar memahami itu, tentu saja. Karenanya, salah satu hal yang ditekankan pada kami adalah pengelolaan ekspektasi dan kekecewaan. Namun konsep adalah konsep. Kenyataannya, saya masih saja harus berkali-kali jatuh dan bangun berusaha mengelola dua hal rumit itu.

Terlepas dari segala ekspektasi dan kekecewaan yang berasal dari faktor eksternal, saya masih harus pula berkutat dengan ekspektasi dan kekecewaan yang berasal dari diri saya sendiri. Tipikal introvert, kata orang.

Singkat kata, di awal masa penempatan ini saya mengkhawatirkan banyak hal mengenai diri saya sendiri. Satu hal yang cukup menonjol adalah kekhawatiran saya tentang menjadi dewasa. Bagi saya, hidup dan berada di antara orang-orang baru bukanlah sesuatu yang asing. Namun, berada di antara masyarakat baru dalam kondisi dianggap sebagai seseorang yang sepenuhnya dewasa, kenyataannya cukup menakutkan. Saya takut salah bersikap. Saya takut salah berucap. Saya takut masyarakat menganggap saya sebagai seorang yang dewasa sedangkan saya tahu saya belum benar-benar dewasa. Saya takut ketika saya menjadi diri saya sendiri saya tidak akan diterima oleh masyarakat di mana saya berada. Saya takut jika menjadi dewasa dan menjadi diri saya sendiri adalah dua hal yang berbeda. Dan saya takut jika apa yang saya takutkan terjadi, ternyata saya masih saja belum cukup dewasa untuk menghadapinya.

Sayangnya, semua ketakutan itu justru memuluskan “rencana” ketakutan-ketakutan saya. Dengan semua beban ketakutan itu, saya benar-benar salah bersikap. Saya benar-benar salah berucap. Dan sayangnya, lagi, itu justru semakin membuat saya ketakutan.

Dua hari terakhir saya habiskan bersama teman-teman sepenempatan kabupaten, berkeliling dari satu desa penempatan ke desa penempatan yang lain. Saya melihat banyak hal. Saya belajar banyak hal. Saya melihat sendiri bagaimana teman-teman saya menikmati proses bermasyarakatnya. Mereka bukan orang-orang tanpa kekhawatiran, tentu saja. Maka saya bertanya-tanya, apa yang membuat langkah kaki mereka begitu ringan. Dan saya menemukan satu hal sederhana. Mereka memilih bahagia.

Ah, tentu saja. Kami, dan saya, baru kurang dari satu minggu berada di sini. Tapi telah ada puluhan anak-anak yang dengan riang hati mencium tangan kami, puluhan senyum yang selalu setia menyambut kami, puluhan pemilik nama yang tidak juga berhasil sepenuhnya kami hafal dengan tulus menyebut nama kami. Kami bahkan belum melakukan apa-apa. Ditambah lagi pemandangan indah pegunungan yang selalu berhasil membuat kami, atau setidaknya saya, “berhenti” sejenak dan tanpa sadar tersenyum. Juga kesederhanaan. Pula kebersahajaan. Jangan-jangan, saya tidak punya cukup alasan untuk menunda bahagia.

Jangan berkutat dengan diri sendiri, pesan seorang kawan. Maka, apakah menjadi diri sendiri atau menjadi dewasa? Tentu saja ekspektasi dan kekhawatiran itu masih ada. Tapi sudah saya putuskan, kali ini saya memilih bahagia.

Kampung Lebuh, 19062015.


Cerita Lainnya

Lihat Semua