Cerita dari tutukembong

ShandyLeo Kristanto Marpaung 21 November 2015

 

 

“Apel berbuah lagi, apel berbuah lagi, di tutukembong, di tutukembong. Apel tak pernah mati, apel tak pernah mati, hidup slamanya, hidup slamanya”.

Lagu itu terdengar berulang kali dari dalam ruangan berwarna merah tua dengan jendela yang berbentuk seperti jeruji besi. Di dalamnya, ada puluhan orang sedang serius mengikuti materi. Kadang mereka bergoyang, berjoget, berdendang atau tertawa terpingkal-pingkal.

Kegiatan itu merupakan kegiatan temu kangen dari guru-guru pelopor yang dikemas dalam bentuk pelatihan. Guru-guru ini sendiri merupakan guru-guru  perwakilan dari setiap sekolah SD di seluruh kabupaten MTB yang pernah mengikuti pelatihan intensif selama satu bulan. Guru-guru ini dilantik dengan sebutan angkatan pelopor(apel). Diharapkan guru-guru ini menjadi pelopor perubahan pendidikan di Maluku Tenggara Barat.

Kegiatan itu dibuka dengan membentuk kesepakatan pelatihan. Secara sadar guru-guru itu membuat kesepakatan untuk memperlancar kegiatan pelatihan. Bentuk kesepakatan nya seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak merokok di dalam ruangan, dan lainnya.

Pagi berikutnya, guru-guru ini bangun jam 5 pagi dan langsung menuju ke halaman balai desa. Mereka bersiap untuk  senam. Setiap pagi memang jadwal kegiatan mewajibkan mereka untuk melakukan senam. Lagu Chicken Dance dan Goyang Dumang pun menemani mereka senam atau lebih tepatnya goyang pagi itu. Lagu ini memang menjadi lagu wajib di kegiatan ini. Berkali-kali dalam bentuk icebreaking lagu ini dimainkan. Dan seperti sihir, setiap guru tampak semangat bergoyang walaupun sudah semengantuk apapun.

Disela-sela kegiatan terdengar canda tawa dari guru-guru ini. Kadang mereka mengenang saat-saat mereka di pelatihan. “Tidak dapat dilupakan”. Begitulah kata mereka. Bersama-sama melakukan kegiatan selama sebulan tentu bukan hal yang mudah untuk dilupakan. Misalnya, mereka tidur berhimpitan beralaskan tripleks di sebuah gudang, antrean mandi ataupun kegiatan malam seni yang mereka jalani bersama, masih teringat jelas di pikiran mereka. Tidak jarang mereka tertawa terpingkal-pingkal mengingat hal-hal itu.

Malam terakhir, pertunjukan malam seni mereka selenggarakan. Setiap kecamatan berusaha menunjukkan yang terbaik dari kecamatan mereka masing-masing. Walaupun kegiatan sudah melewati tengah malam, mereka masih tampak sangat antusias mengikuti kegiatan itu. Kegiatan selama 4 hari itu pun ditutup dengan Kegiatan belajar dan bermain (KBB) bagi anak-anak SD di desa itu. Dan tentu saja, tidak lupa untuk joget. Seluruh kegiatan di tanimbar memang belum bisa ditutup apabila tidak joget.

Satu catatan berkesan di kegiatan itu melihat antusiasnya seluruh masyarakat tutukembong untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Selama 4 hari itu, tutukembong terlihat meriah. Desa di pantai timur pulau yamdena itu berhias dengan bendera warna-warni yang digantung di depan-depan rumah warga. Desa yang memiliki sungai besar yang membelah kampung ini tampak seperti sedang berpesta. Berpesta pendidikan. Orang-orang kampung, tua muda, terlihat repot berlalu-lalang membersihkan rumahnya atau mempersiapkan makanan untuk tamu. Tidak ada hotel berbintang ataupun catering makanan mewah disini untuk melayani tamu. Semuanya dikerjakan swadaya oleh masyarakat. 

Komunikasi yang sangat baik dari tiga batu tungku (Gereja, pemerintah dan gereja) di desa menjadi penyebabnya. Dari awal, memang, tiga batu tungku sudah mengambil peranan yang baik di desa. Peserta yang datang, dibagi di unit-unit pelayanan dari gereja dan tinggal di rumah-rumah warga. Unit-unit bertanggung jawab untuk menyediakan tempat tinggal, makan dan minum bagi peserta selama kegiatan. Semuanya dikerjakan bersama-sama oleh masyarakat. Kepala desa dengan kuasanya di desa meminta warga memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada peserta kegiatan. Kepala desa, tidak hanya meminjamkan balai desanya untuk dipakai selama kegiatan dengan gratis, tapi juga mendahulukan uangnya untuk dana awal kegiatan itu. Seluruh energi desa memang terfokus pada kegiatan itu.

Layaknya lagu kebangsaan dari guru apel, mudah-mudahan kepedulian ini terus berbuah, tidak hanya di tutukembong tapi di seluruh tempat Indonesia, dan tidak akan pernah mati. Terlalu utopia ? ah... Gandhi, mandela atau Soewardi Soerjaningrat dulu pun semua orang-orang utopis. 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua