Pelari Terakhir
NaluriBella Wati 21 November 2015Seseorang pernah bertanya: Apa tantangan paling mendasar selama menjadi Pengajar Muda di tahun terakhir?
Saya : Meredam egoisme pribadi.
Beberapa waktu sebelum bertolak ke Kabupaten Bengkalis, saya sudah menyusun agenda sederhana tentang apa saja yang akan dilakukan di Desa Titi Akar. Saya ingin buat ini, saya ingin buat itu, saya akan mengajarkan hal ini, saya ingin murid saya ikut lomba apa, saya ingin membangun hal itu, dan lain sebagainya. Agenda ini mungkin bukan hanya disusun oleh saya saja, melainkan oleh seluruh Pengajar Muda. Toh, kami ingin melakukan yang terbaik selagi penugasan. Apalagi, kami memiliki batas waktu. Tak heran jika sejak semula rencana itu sudah di susun rapi.
Awalnya, saya cukup menggebu-gebu untuk menuntaskan agenda yang saya buat dan "target" yang telah disusun oleh tim Indonesia Mengajar. Namun di tengah perjalanan, agenda saya banyak yang berubah. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan hal tersebut : dari mulai kondisi sosiologis, geografis, demografis, waktu, dan masih banyak lagi. Tapi di luar itu, ada sesuatu yang mengetuk saya. Suatu hari, salah seorang kawan sesama Pengajar Muda nyeletuk,
" Kita sering banget ngikutin anak-anak buat ikut lomba ini itu. Tapi sadar nggak sih kalo kadang malah kita (PM) yang lebih ambisius daripada anaknya sendiri?"
Pernyataan itu tiba-tiba seperti menyadarkan saya. Kemudian, saya jadi bertanya-tanya. Benarkah agenda yang saya buat demi mereka? Benarkan mereka membutuhkan itu? Jangan-jangan semua hanya untuk memenuhi ego-feeding saya saja?
Itu adalah "tamparan "yang pertama.
"Tamparan" kedua adalah tugas saya sebagai Pengajar Muda di tahun terakhir. Ketika berbagi perkembangan keberlanjutan dengan trustee di Jakarta, saya dan kawan-kawan sering diingatkan olehnya. Setiap kali akan melakukan sesuatu, trustee selalu bertanya : siapa aktor lokal yang ikut terlibat? Coba jangan Pengajar Muda yang melakukan kegiatan ini, tapi dorong penggerak yang memikirkan konsepnya, dan sebagainya.
Merasa diiingatkan, saya kemudian berefleksi. Saat menyandang label sebagai seorang “Pengajar Muda”, semua mata tertuju pada kami. Dengan mudah kami berada di bawah sorotan lampu “popularitas”. Secara otomatis, eksistensi kami melonjak naik di daerah penempatan. Tapi sebagai pelari terakhir, ternyata kami harus belajar menjadi sutradara yang bekerja di balik layar. Tugas kami justru mengarahkan para aktor lokal untuk bersinar . This is their show time! This is their turn to be on the spot light.
Ternyata, tantangan sebagai Pengajar Muda di tahun terakhir tidak dilihat dari sebanyak apa kegiatan pendidikan yang mereka cetuskan di daerah penempatan. Atau sepopuler apa mereka di desa. Atau sesering apa murid kita ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan. Semua itu tak lagi menjadi prioritas utama. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana menumbuhkan kepercayaan diri sekaligus mendorong aktor lokal sehingga mau bergerak untuk memajukan pendidikan di tanah kelahirannya sendiri. Selain-yang sudah saya jelaskan di atas- meredam egoisme pribadi untuk sering “tampil”.
Saya sangat bersyukur karena ditempatkan sebagai pelari terakhir. Saya akan segera menyaksikan Kabupaten Bengkalis "lulus" dan siap mandiri. Saya belajar menjadi sutradara di balik para aktor lokal, dan saya belajar meredam egoisme. Because once again, this is not about us, this is about them.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda