peRtemuan dengan peRcikan

Say Shio 5 November 2014

Ternyata, setiap pertemuan memang selalu menghasilkan percikan baru. Entah dengan efek debu-debu bintang seperti pertemuan api dengan batang kembang api. Atau seperti pertemuan warna biru dan merah yang menghasilkan warna ungu. Pertemuan biji mangga yang keras dengan tanah malah bisa menghasilkan buah yang jingga dan legit digigit. Berbeda elemen yang dipertemukan, maka berbeda percikan yang dihasilkan. Kenapa tiba-tiba mengamati dan menulis tentang, pertemuan dan percikan? Ini juga tercetus dari hasil sebuah pertemuan dengan Rudi.

 

Nama lengkapnya Nasruddin. Anak kelas 5 yang lincah, dan seringnya sangat aktif. Berpartisipasi dalam segala kegiatan dengan warna yang tegas. Senang bergerak riang ke sana kemari. Semakin lengkap dengan suaranya yang nyaring dan lantang, yang muncul kapan saja. Bulan ini adalah bulan ke-10 aku mengenal Rudi di kelas Bahasa Inggris, atau aku dan anak-anak menyebutnya: English for Fun (EFF). Di bulan awalku mengajar di SDN 015, aku bertemu Rudi di Special Class, nama yang dipilih siswa kelas 4 khusus untuk jam EFF. Pertemuan pertama pun sudah penuh percikan. Seperti kubilang, warnanya yang tegas itu... Dia memilih untuk tidak mau ikut teman-temannya untuk menggambar di luar kelas. Memilih untuk merengut dan menendang kursi di dalam kelas.

Bulan berikutnya, Rudi mengikuti pelajaran di jam EFF dengan gaya asyiknya, mengulang kosa kata “coconut tree” tanpa kontrol suara yang nyaman didengar. Ada banyak hari di mana Rudi menyapaku dengan senyum cerah dan sambutan seperti: Good morning, Miss Shio. Tak banyak siswa lain yang sudah sampai tingkatan berani untuk praktek langsung seperti Rudi. Pernah juga dari sudut tak terlihat mata, Rudi pernah memanggil dengan kata yang kurang enak di hati.Satu waktu di jam EFF, saat sedang membuat rumah lengkap dengan kolam ikan, dari kotak korek api, gelas dan kardus bekas, Rudi konsisten membuat prakaryanya dengan gaya sendiri. Tak mau memakai korek api, tapi mau punya 2 kolam ikan. Ide yang keren, kuakui.

 

Tahun ajaran baru, Special Class masuk ke ruangan dengan label: kelas V. Dan di sudut barat, dekat pintu masuk, di situlah Rudi sudah menanti. Dengan topi merahnya dan suaranya yang sudah mendahului salam dari gurunya. Di awal semester baru yang dimulai Agustus lalu pun, semangat Rudi tak berkurang. Selalu menantang teman-teman dan gurunya untuk ikut semangat. Lagi-lagi pertemuan awal, penuh dengan percikan. Saat setiap anak mendapat giliran untuk melafalkan angka dalam bahasa Inggris, Rudi menolak untuk bersuara. Diam tak bergeming. Tumben, pikirku. Setelah diberi penjelasan kalau nanti gilirannya akan tiba, Rudi dilewat untuk sementara. Lalu, kembali ke Rudi, dan masih diam. Setelah tiga kali kesempatan, keluarlah pilihan terakhir, yaitu belajar di kantor guru. Giliran dilanjutkan ke temannya, lalu kembali ke pada Rudi. Masih diam. Dengan tenang, aku menghampiri Rudi dan hendak menuntun untuk keluar. Akhirnya suaranya keluar, tapi dalam bentuk: teriakan/marah. Kugeser kursinya perlahan, dengan maksud memberi ruang untuk keluar. Di situlah percikan baru, antara tangannya yang kurus dipukulkan ke tanganku. Tetap aku konsisten menuntunnya ke kantor guru sambil menjelaskan bahwa ini sudah kesepakatan dan sudah ada peringatan. Lalu, Rudi menangis.

Pasti bisa ditebak bagaimana wajah Special Class saat menonton rangkaian percikan itu. Aku pun kembali ke depan kelas, namun tetap dengan peringatan bahwa Rudi harus melakukan gilirannya. Setelah menyebutkan ‘five’ bersama-sama, maka Rudi mendapat giliran menyebutkan angka tersebut. Syukurlah, dia mau walau suaranya keras. Dan setelah diminta mengulang dengan baik, dia menurut. And the drama ends there.

Semakin sering kami bertemu, semakin sering ada percikan. Tapi, tanpa kutahu akan ada hal yang tak disangka. Waktu itu seluruh siswa sedang istirahat dan sebagian memilih menjelajah perpustakaan. Beberapa dari mereka sedang mencoba membunyikan pianika dan rekorder. Termasuk Rudi. Rudi dan Rekorder. Itu pertemuan pertama mereka. Dia terlihat mengamati dari jauh, saat aku mengajarkan Vina bagaimana membunyukan nada do. Ternyata dia menunggu giliran Sahril, yang juga ada di dekatku, untuk mencoba rekorder. Dan setelah rekorder di tangannya, dia mencoba sendiri. Tak minta bantuanku. Jadi, kubiarkan saja. Aku mengumumkan untuk yang mau ikut ekstra kurikuler ansambel, boleh latihan bersama di sore hari.

“Bu, saya boleh ikut ya!”

Aku menganalisa wajahnya.

“Ibu mau yang latihannya semangat dan serius.”

“Iya, Bu. Saya mau.”

Itu janji Rudi, lengkap dengan senyum dan nyengir-khas-Rudi.

Sore hari, Rudi hadir dan dengan antusias mengikuti langkah-langkah membunyikan rekorder dan menyatukan dengan pianika. Sebelum pulang, dia meminta izin untuk mencatat partitur sederhana lagu “Twinkle Twinkle Little Star” yang barusan dipelajari. Masih ada lagi permintaannya, ingin membawa pulang si rekorder untuk berlatih. Kuiyakan saja.

Sore itu, kuanggap sebuah rangkaian peristiwa sederhana.

Berminggu-minggu berikutnya, Rudi konsisten mengikuti jam ekskul ansambel setiap hari Rabu. Rudi dan rekorder semakin akrab setiap hari. Dengan cepat dia menguasai lagu yang sudah diajarkan. Rudi juga selalu hadir di setiap sore saat aku memberi pelajaran tambahan, eksperimen, atau melipat-lipat kertas. Sampai ada celetukan seorang Ibu warga desa, “Kenapa Rudi ini jadi sering turun les sekarang?” , barulah terpikir: Iya juga, ya. Seorang guru di sekolah pun bertanya hal serupa. Di kelas, Rudi semakin antusias mengikuti pelajaran dan mau mematuhi kesepakatan kelas.Sikapnya ke teman-teman sekelasnya pun semakin ramah. Aku pun sadar. Ada percikan yang sempat kulewatkan untuk diamati. Kalau menurut pendapat salah satu guru di sekolah, Rudi mendapat kesempatan untuk mencoba sesuatu yang dia senangi. Dan saat dia dipinjamkan rekorder untuk dibawa pulang ke rumah, semangatnya berlipat ganda. Dia mendapat kesempatan menikmati momen di sekolah yang lebih dari sekedar belajar dan duduk memperhatikan.

Saat Rudi menemukan hal yang dia senangi, mungkin inilah yang membuat dia bisa menikmati arti “belajar itu menyenangkan”. Saat Rudi mendapat kesempatan untuk mencoba,  dia memperoleh privilege atau kemewahan untuk menambah kemampuan baru. Tentu, masih banyak hal yang Rudi senangi. Masih banyak pertemuan dengan percikan yang mendorongnya untuk terus belajar, untuk terus menyenangi belajar, dan terus berjalan maju. Ketika dia bertemu rekorder, cat air, buku pop-up, sempoa, kaca pembesar, atau pramuka itulah saat dia mendapat kesempatan. Kesempatan mengeksplorasi potensinya. Mungkin, ini bibit perkenalannya dengan kata passion. Kesempatan menemukan titik hebatnya. Kesempatan untuk mengalami seperti yang juga dinikmati oleh anak-anak di kota. Kesempatan untuk menemukan jalan-jalan setapak menuju pengembangan karakter, lalu menuju cita-cita.

Tapi, bagaimana ya jika Rudi tak pernah mendapat kesempatan itu?

 

Mungkin,pertanyaan dari sebuah “Kapan ya pendidikan Indonesia bisa maju?” atau “Kapan ... seperti di luar negeri?” atau “Kapan .... inovasi dan teknologi canggih dari Indonesia?” atau ‘kapan’ lainnya, jawabannya sesederhana: sebuah kesempatan. Memberikan semakin banyak ruang pertemuan dengan percikan, bukan hanya sekedar mengejar angka. Memberikan kesempatan ini pun, wahana kerja bakti bersama, tak hanya bisa diisi oleh barisan guru dan sekolah. Dan kesempatan ini untuk semua anak Indonesia. Tanpa terkecuali.

Rudi dan Rekorder

https://www.youtube.com/watch?v=yJZOwCWXhXs&feature=youtu.be


Cerita Lainnya

Lihat Semua