Belajar Menjadi Ibu

Siti Nursari Ismarini 5 November 2014

Akhir pekan lalu, saya mengawali bulan November 2014 dengan mengajak lima anak-anak murid saya untuk mengikuti Olimpiade Matematika di Kota Bima. Tiga diantaranya adalah yang paling bungsu dan duduk di kelas III SD, ditambah ini jadi kali pertama bagi mereka mengikuti lomba dan berkendara naik bis dari desa ke kota. Namanya Puput, Rima, dan Yakin. Sementara, dua anak lainnya telah pernah saya ajak ke kota sebelumnya untuk lomba serupa, yaitu Aya di kelas IV dan Dita di kelas V.

Perjalanan dari desa Karumbu, Kecamatan Langgudu menuju kota Bima ditempuh melalui jalur darat, menyusuri pantai Teluk Langgudu ke barat dan berlanjut melewati pegunungan ke utara dengan jalan yang berkelok-kelok. Butuh waktu 2,5 jam perjalanan untuk sampai di perhentian akhir, Terminal Dara Kota Bima.

Kami berangkat siang hari selepas pulang sekolah, menaiki bis terakhir pada pukul 13.30. Saya mengajak anak-anak untuk bermalam di kosan pengajar muda di Kota Bima agar esok harinya mereka bisa segar bugar mengikuti kompetisi ini.

Dua hari perjalanan bersama mereka mengajarkan saya banyak hal :”)

**

Selalu ada pembelajaran berharga dari setiap perjalanan.

Pertama kalinya, mengelap muntah anak yang isinya campuran nasi dan mie goreng ditambah air di bajunya.

Ya, belum sampai 30 menit perjalanan, satu per satu anak sudah mulai memperlihatkan wajah lesunya. Dan, loaaarrrr, anak disebelah saya, Rima, muntah. Belum ada plastik di tangannya. Selama perjalanan, Dita—anak kelas V menghitung kalau Rima sudah muntah 5x. Disusul, Puput yang muntah 4x. Mereka berdua ini seperti saudara kembar. Dalam hati, saya sudah panik setengah mati, tapi berhubung saya orang dewasa satu-satunya yang bisa mereka andalkan, jadilah saya berlaku tenang dan menenangkan hisssh :”)

Pertama kalinya, baju terkena muntah anak yang isinya nasi dengan campur air mangga berwarna keorenan, ditambah harum mangga bercampur air lambung.

Ketika lima menit lagi tiba di depan gang rumah Desa Karumbu, lagi-lagi Rima yang duduk di sebelah saya. Tanpa suara, memuntahkan isi perutnya. Saya tidak sadar sampai saya, sadar ada wangi mangga di sekitar saya. dan, well, kalemboade yaa (red: Lebarkan hati, dalam bahasa Bima).

Pertama kalinya, perjalanan 2,5 jam bis dari desa Karumbu menuju Kota Bima terasa begitu lama karena berdoa penuh harap agar anak-anak baik-baik saja dan masih kuat bertahan hingga sampai di tujuan.

Perjalanan semakin bertambah lama dimana bis yang pada dasarnya sudah penuh dibuat semakin penuh oleh tambahan penumpang di sepanjang perjalanan. Sudah seperti ikan pepes kita di dalam bis, keringat, desak-desakkan, dan jalan berkelak-kelok. Sungguh, anak-anak saya tangguh luar biasa. Tak ada tangisan. Walau ada yang merintih kesakitan karena muntahnya tak bisa keluar-keluar.

Pertama kalinya, bangun pagi sekali sebelum adzan subuh untuk memastikan anak-anak dibangunkan untuk sholat subuh berjama’ah, mandi pagi, masak untuk makan pagi, dan siap untuk berangkat—pagi yang sibuk.

Memiliki anak-anak itu membuat kamu bangun lebih pagi. Karena kamu tahu, ada yang harus diurus selain diri kamu sendiri.

**

Pengalaman pertama ini mungkin biasa-biasa saja untuk sebagian besar orang di luar sana. Tapi, tidak bagi saya, seorang yang terbiasa mementingkan pekerjaan sendiri, tidak terbiasa mengasuh anak, mudah panik, penuh spontanitas dan rencana dadakan, dan seorang deadliner tingkat tinggi.

Sedikit dari hal-hal di atas sudah cukup mengajarkan saya bahwa mengasuh anak itu sebuah pekerjaan luar biasa.

Saya tepuk salut untuk seluruh ibu tangguh di seluruh dunia. Dan tepuk salut yang paling besar tentu untuk ibu saya, mama.

Yang jika saya coba recall kembali memori saya saat kecil hingga besar ketika tinggal di rumah, mama selalu menjadi yang paling awal bangun, menyiapkan segala kebutuhan di pagi hari: masak, bersih-bersih rumah, di siangnya aktif di kegiatan dharma wanita, mencari peluang bisnis dengan berwirausaha, silaturahim yang kencang ke banyak relasi, dan mengajarkan anak-anaknya banyak hal, dari hal kecil sehari-hari hingga hal-hal besar. Pekerjaan penuh 7x24 jam nonstop. Dan, mama adalah orang yang tidak suka menunda-nunda, selalu bersegera dalam kebaikan. Makanya, setiap hari menjadi hari yang produktif bagi mama. Hal penting yang saya pelajari dari mama.

Kontan, ketika sampai kembali di Desa Karumbu, saya langsung mengirim pesan untuk mama.

“Mamaaa, Thanks for being a GREAT MOM. I learn alot from you. I love you, Mama :”D”

Dan, mama saya sepertinya kebingungan dan membalas, “Kamu kenapa tiba-tiba sms gini?”

Dan, saya pun hanya tertawa senyum-senyum sendiri. Hahaha. Memang anaknya mama ini suka spontan, terima kasih mama.

Terkadang, kita akan lebih menghargai suatu usaha ketika kita telah mengalami sendiri jatuh bangun usaha tersebut. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua