Awan, Daratan, dan Air (2)

Say Shio 13 April 2014

Dari daratan desa Tanjung Aru yang sibuk bercerita sehari semalam, perjalanan lain dimulai. Awan Sebuah kapal tanpa atap sudah bersenandung di bawah kaki dermaga kokoh. Mesin motor siap melaju. Tapi, ada sedikit masalah. Daratan belum mau melepas kapal ke air. Padahal kapal sudah pamit baik-baik. Air laut pun menjelaskan, karena hari sudah menjelang siang, gerak rotasi bumi menarikku untuk tidak dekat-dekat dari daratan. Padahal baru pukul setengah 9 pagi. Tapi, sepertinya waktu surut air datang lebih cepat dari biasanya. Kapal pun harus diseret-seret oleh Bapak pemilik kapal yang berkulit coklat tua. Setelah agak ke tengah laut, mesin motor menderu lagi. Ah, baling-baling penggerak di bawah kapal membentur daratan. Lagi. Bapak pemilik kapal yang berkulit coklat tua, menyelam ke dalam air. Lalu, dia keluar lagi dan nyengir. Atau begitulah senyumnya terlihat. Tak lama kemudian, Bapak sibuk mempreteli baling-baling, mencabut sebuah selongsong besi, kemudian menambah penampang tipis berwarna perak. Dan semuanya, dilakukan sambil mengambang di air.

Awan

Menyaksikan dengan diam. Seakan itu hal yang krusial, untuknya. Setiap pagi adalah selalu saat yang khidmat. Memandang lamat-lamat dari atas. Ada sebuah balapan (kapal kecil tak beratap) yang terhambat. Di dalamnya, para penumpang berteriak-teriak berlebihan karena kapal goyang ke sana kemari. Mungkin pikir awan, ah sudah biasa yang seperti ini. Awan biru tanpa hiasan hanya asyik memperhatikan. Balapan dengan penumpang ekspresif itu pun melaju. Menerobos air laut dan meninggalkan buih-buih putih sebagai jejaknya. Awan baik pun ada juga di awal perjalanan ini. Menaungi balapan ini dan kapal dengan berbagai ukuran serupa lainnya. Seperti halnya penumpang yang duduk khidmat dalam balapan, (yang entah khawatir atau menikmati liukan awan), awan pun tidak banyak bicara. Tidak seperti sambutannya saat di dermaga Lori, waktu menuju Tanjung Aru. Ternyata awan pun bisa juga bermain dengan kejutan. Tunggu saja ya.

Air dan Daratan

Tentulah, balapan ini akan berhenti juga. Tidak mungkin dia terus berlarian ke sana sini. Terlalu luas lautan dibanding kapasitas solar yang dapat ditampung jerigen putih kusam, yang diikat di tengah kapal. Luasnya lautan memang patut dikagumi. Air menghampar, mengundang untuk disentuh dan dinikmati sejuknya. Sayang, air asin hanya indah dilihat, sakit jika terkena tamparan-tamparan kecilnya, dan membuat mual jika terminum. Air laut yang menghampar, seolah tidak menyisakan tempat untuk daratan. Benarkah?

Tentulah, balapan ini harus berhenti juga. Tidak mungkin dia tidak rindu untuk pulang. Dan tanpa mencari daratan, di tengah hamparan lautan luas itu. Balapan ini, yang diarahkan oleh Bapak pemilik kapal yang senang nyengir, menuju satu titik dengan percaya diri. Tidak ada tanda-tanda daratan seperti desa Tanjung Aru. Air juga tidak curiga dengan arah kapal. Sempat mencari daratan untuk mendengarkan panggilannya. Tapi tak ada juga.

Tentulah, balapan ini berhenti juga. Terlihatlah sebuah dermaga yang masih kokoh. Tapi sepertinya sudah menyapa dan melambai kepada berjuta kapal. Susunan kayu-kayunya semakin lama semakin terlihat. Seperti nenek yang setia, kayu-kayu yang besar saling menyangga kuat, walaupun tampak sudah sangat tua dan kelelahan.

Air laut-lah yang menyambut di pintu desa Slengot. Tiba juga, di sebuah desa yang masih bagian dari tempat bernama belakang Harapan. Ada keyakinan besar yang mengatakan, di sini ada harapan.

Suara-suara polos dari anak kecil tak berbaju dan bermain bebas langsung menyapa. Mereka semangat betul menikmati pagi pukul 10 yang masih sejuk. Teriakan mereka seperti mengundang untuk menjelajah daratan Slengot. Daratan yang dimaksud adalah, susunan kayu-kayu rapi yang berdiri bangga di atas laut. Susunan kayu-kayu rapi yang menjadi pijakan rumah-rumah yang mencari harapan, para nelayan yang memahat kapalnya, warung-warung kecil yang menjual sanggar udang (udang goreng tepung), dan sebuah sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah ini menarik untuk dimasuki. Bentuknya lurus memanjang dengan lapangan kecil di depan sekolah. Sejak pagi hingga siang, sekolah ini riuh dengan anak-anak SD yang asyik mendengarkan penjelasan guru. Setelah siang datang, barulah bergantian dengan murid-murid SMP untuk belajar di ruangan kelasnya. Saat sore, sekolah ini masih juga ditemani oleh anak-anak yang bermain bulu tangkis. Indah sekali sekolah ini. Berdenyut nyata di tempat yang dibangun di atas air laut. Menjadi tempat anak-anak Slengot untuk meluaskan pandangan mereka yang biasanya mengenal laut, menangkap kepiting untuk dijual, dan bermain ke tambak-tambak. Awalnya, belajar di sekolah adalah hal yang kurang relevan dibandingkan mencari rezeki di laut, yang sepertinya memberikan keuntungan lebih cepat. Sekarang, anak-anak ini mencintai sekolah, mengagumi gurunya dan berani bercita-cita. Siap-siaplah, generasi muda Slengot siap berkontribusi. Ada yang akan menjadi guru, polisi, bahkan profesor!

(menuju desa Slengot)

(pintu masuk Slengot)

(ada sebagian kecil bagian dari Slengot yang memiliki daratan, yang hanya berlaku dari jam surut air sampaing waktunya pasang di sore hari)

(dua gadis kecil, sudah siang dan masih bangga berseragam sekolah)

(menyambut air pasang, sebelum terlalu dalam untuk bermain air)

Dan hari yang penuh pelajaran dari desa Slengot, ditutup dengan kejutan dari awan. Awan menutup hari dengan warna memukau, seperti memberi kado untuk anak-anak, Bapak dan Ibu yang sudah bekerja keras seharian mengejar harapannya masing-masing. Awan, yang seolah-olah menjadi tanda janji untuk orang-orang yang memandang ke atasnya. Selalu ada tempat yang lebih tinggi untuk dicapai, ada cita-cita yang dapat terwujud untuk yang terus meraihnya. Di mana pun, tempatmu berpijak, di atas daratan maupun di atas air dan daratan, tentu tidak ada halangan untuk belajar. Sekolah bisa ada di mana saja. Selama ada manusia-manusia yang haus ilmu. Dan ada guru yang mau menempuh perjalanan bersama awan, daratan, dan air.

Inilah desa Slengot dan salam dari awan senjanya. Semuanya adalah daratan di atas laut. Bukan fatamorgana. Tempat ini nyata, dan nyata dengan harapan. Untuk Indonesia.

Tulisan yang mencoba menangkap keajaiban desa Slengot, (Kecamatan Tanjung Harapan, bagian dari Kabupaten Paser, Kalimantan Timur), desa penempatan Abdullah Kholifah, Pengajar Muda VII-Indonesia Mengajar (29 Maret 2014)


Cerita Lainnya

Lihat Semua