#13 - Papan tulis baru kami.

Michael Laurent Salim 14 April 2014

Hari ini saya berbagi sedikit mengenai pecahan kepada anak-anak kelas III. Di awali dengan cerita kue lontar (kue yang biasa di Fakfak) yang di potong-potong kemudian di bagi-bagi sampai kepada menggambar garis pecahan mulai dari nol sampai satu. Seperti biasa, anak-anak ada yang antusias ada juga yang sambil lalu melihat penjelasan dan gambar garis di papan tulis kami. Harus di akui memang, papan tulis yang ada di kelas kami, bukanlah sebuah papan yang dapat membangkitkan semangat belajar anak-anak jika kita melihat bentuknya. Papan tulis yang cukup berumur serta terlihat lusuh penuh dengan debu-debu kapur.

Melihat kondisi itu, maka saya mencoba untuk melakukan hal berbeda. Saya memanggil semua anak untuk berdiri dan maju mendekati saya, kemudian kita semua duduk melingkar  -menggerombol lebih tepatnya- di lantai. Kemudian saya berkata, “Anak-anak hari ini kita punya papan tulis baru.”. Serentak anak-anak mulai gaduh dan melihat sekeliling, tidak sedikit yang bertanya, “Mana Pak?”. Saya menikmati antusias sesaat yang muncul itu dan tidak lama kemudian hilang dalam sekejab setelah mereka tidak bisa melihat ada papan baru di sekitar mereka.

Selanjutnya saya kembali berkata, “ Ya hari ini kita akan menggunakan papan tulis yang besar dan baru dan itu ada di ko pu kaki.” Serentak mereka langsung melihat ke kaki. “Ya, yang ko injak itu sudah. Ko pu papan tulis baru.” dan mereka hanya terdiam tidak paham. Melihat itu, saya segera mengambil sebatang kapur dan menggambar garis bilangan baru yang lebih besar di lantai. Melihat itu anak-anak segera paham dan mengeerti, maka selanjutnya mereka pun mendapatkan kesempatan untuk menikmati papan tulis baru. Papan tulis yang sangat luas dan halus, berbeda dengan papan tulis kami di kelas yang lapisan kulit hitamnya sudah terkelupas dan pecah-pecah sehingga sulit untuk di baca.

Mereka cukup gembira dengan kebebasan bermain-bermain dengan kapur dan menggores secara bebas di lantai semen kelas kami. Walaupun memang ini jauh dari papan whiteboard tetapi setidaknya ini jauh lebih besar dari papan tersebut. Jadi di hari itu saya memberikan penjelasan di lantai. Memberikan kesempatan anak-anak mengerjakan soal di lantai, dalam arti sesungguhnya mengerjakan dan menuliskan langsung di lantai. Pemandangan hari itu, anak-anak sibuk dengan lapak papan tulisnya masing-masing dan mengerjakan soal yang ada dengan antusias (ada juga yang gambar-gambar dan lupa dengan soal) dan ramai tentunya. Tetapi biarlah tidak setiap hari mereka punya kesempatan untul menulis di papan tulis kami yang sudah lusuh ini.

Lantai sebagai papan tulis, memang sebenarnya itu sedikit memaksa. Apalagi jika kita sempat melihat bagaimana kehebohan yang terjadi ketika saya memberi kebebasan untuk membangun lapak “papan tulisnya” masing-masing. Heboh, ramai, dan yang pasti ribut. Namun saya rasa hal-hal itu yang mungkin dibutuhkan oleh anak-anak saat ini dan kita semua. Waktu di mana, kita bisa melakukan hal dan tanggung jawab yang sama tetapi dengan cara, suasana dan situasi yang lebih berbeda dan menyenangkan di balik setiap keterbatasan yang ada. Kita memang tidak bisa dan tidak boleh lari dari tanggung jawab, kita harus menghadapinya. Namun hadapilah dengan cara yang lebih menyenangkan. Yang seperti apa? Tidak tahu, masing-masing kita harus bereksperimen dan merasakannya sendiri. Dengan begitu kita bisa tersenyum lebih lebar, tertawa lebih lepas, serta menatap hari yang lebih berwarna. Mari bereksperimen dan mencoba :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua