info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Awan, Daratan, dan Air (1)

Say Shio 9 April 2014

Awan

Biru dan putih, dan banyak sapuan gradasi warna biru, khas-nya langit Paser kala sedang mengantarkan waktu menuju tengah hari. Ini janji yang baik untuk hari ini. Apa yang perlu dikeluhkan melihat senyum awan di atas sana? Maka perjalanan pun dimulai. Awan baik terus mengikuti, katanya dia akan mengawasi dari atas. Walaupun atas kepala tertutup sepenuhnya oleh atap mobil, tapi tentunya menyenangkan. Melihat iringan awan di sekeliling mata. Di setiap desa yang terlewati selama perjalanan, wajah awan seolah berganti-ganti. Kadang bergulung-gulung seperti benang rajut atau seperti susu yang tumpah di atas serbet biru. Kalau begini, rasanya seperti menonton film yang punya gambar berbeda di tiap adegan. Tanpa sadar, mobil berpenumpang 13 orang ini pun tak lagi melaju. Sepertinya sudah tiba di perhentian. Atau bisa juga, dalam hati supirnya sedang mengundang: selamat menikmati awan dari desa ini. Bisa aja kan? :p Ternyata benar saja. Hamparan awan yang luas langsung memenuhi mata, setibanya kaki melangkah di dermaga Lori. Beruntung, air laut masih mencapai parameter pasang. Bahkan ombak sedang semangat bergulung. Sepertinya sedang sahut-sahutan dengan awan yang semakin lama terlihat berat dengan air. Pukul 12 siang siang yang berangin, ada banyak orang yang bersama-sama bertanya, apakah kapal sedia berangkat? Semua mata menyaksikan interaksi alam. Terutama Bapak Kapten kapal, seolah-olah dia bisa menangkap bisik-bisik mereka. Ditatapnya bolak-balik kapal yang tertambat, ombak, dan langit. Dia cuma tersenyum santai kepada para penumpang. Katanya: tunggu saja. Sampai satu jam kemudian, kesimpulan dari pembicaraan awan dan air laut adalah hujan. Deras.

Daratan

Kalau saja air turun sejak tadi, tentu tak perlu mengalami dua jam penuh debu selama menuju Lori. Roda mobil yang melaju sudah menyapa berbagai jenis tanah. Mobil telah melaju menuju arah selatan dari kabupaten Paser. Sekitar 30-40 km jika memulai dari terminal Senaken, di kecamatan Tana Paser (dahulu Grogot). Perjalanan yang cukup panjang untuk mendengarkan cerita-nya daratan. Mulai dari tanah keras-nya Grogot, yang kemudian semakin berbatu menuju luar kota kabupaten. Pertemuan roda dan tanah hanya menghasilkan benturan-benturan bikin mual. Tapi, untunglah darat bukan saja soal keras atau becek. Daratan adalah juga surga untuk tumbuhan. Sepanjang jalan, banyak deretan pohon ukuran tinggi, rendah, semak belukar, pohon dengan buah sawit, dan warna hijau segar. Selama perjalanan ini, daratan juga banya bercerita kisah-kisah keluarga yang diam di atasnya. Daratan tanah keras bercerita tentang keluarga petani yang senang makan nasi panas, terong campur lombok giling hasil dari tanahnya. Daratan dengan kelapa sawit bingung mau cerita apa, karena tidak banyak rumah yang singgah di atasnya. Setelah melewati dua cerita itu, daratan terlihat melankolis. Banyak hamparan-hamparan luas yang tampak berair seperti, tapi warnanya hitam. Apakah karena memantulkan warna tanah? Rawa-rawa dengan pohon-pohon kering. Hampir tidak menyisakan harapan, kalau daratan ini bisa ditinggali. Lalu, lama kelamaan banyak rumah yang rapat berjejer. Menandakan daratan ini bukan sekedar tempat singgah. Benar saja, ini desa Lori. Bagian dari kecamatan Tanjung Harapan. Seolah-olah seperti namanya yang perasa,  ini daratan terakhir sebelum menuju air.  

Air

Sebuah teriakan kemudian memecah konsentrasi kelompok ibu-ibu yang sedang ngerumpi. Kapal berangkat, akhirnya! Pukul 2 siang yang gerimis, penumpang sudah mengambil posisinya di dalam kabin kapal. Mesin motor berisik pun menggerakkan kapal ke tengah laut. Riak-riak laut terlihat dari dalam jendela kabin kapal. Kalau daratan banyak memberikan rasa terbentur, air memberikan rasa mengambang. Melawan atau mengikuti arus, tetap saja kapal tidak berani berargumen dengan air. Hanya bisa mengambang mengikuti arah mata angin dan tujuan awal. Perempuan dan ibunya, kakek tanpa teman, dan para penumpang lainnya pun mengambang sejenak. Air memberikan waktu untuk ‘pause’. Rehat sejenak dan menikmati suguhan pertunjukann air laut. Dibanding daratan, perjalanan bersama air lebih hening. Entah karena laut memang pendiam, tak banyak bercerita. Atau manusia juga segan dengan daerah kekuasannya yang luas dan susah melihat daratan dari sini.  

Air hujan dari atas, dan air di bawah, hanya awan yang masih setia, duduk di tengah. Sudah satu jam dan perjalanan ini sungguh sepi. Ketika air berhenti turun dari atas, akhirnya pintu kabin dibuka. Satu dua penumpang duduk di atas kapal. Dan ternyata mengikuti gaya mereka, menyenangkan juga. Awan sudah senyum cerah, bahkan terlihat lebih berkuasa dari laut. Lebih mega dan berwarna. Laut masih anggun dan diam. Ke mana pun mata memandang, hanya ada kapal lain yang mengambang. Niat kapal ini baik, menuju tempat yang namanya Harapan. Sempat terpikir, apakah laut akan mengizinkan kapal ini berlabuh?

Perlahan-lahan, kapal berteriak senang, deru mesin semakin memburu karena melihat harapan baru. Meskipun masih bagian dari kecamatan Tanjung Harapan, desa ini seperti punya harapan dengan definisi pribadi. Dari jauh, desa Tanjung Aru pun menyapa, dengan malu-malu. Duduk di bawah awan yang luas menghampar, daratannya tampak setitik demi setitik, dan air bermain di sekelilingnya. Kapal pun izin untuk merapat di dermaga kayunya yang kokoh. Katanya, empat tahun lalu, dermaga ini belum ada. Dari dermaga ini, awan kelihatan mulai berwarna kemerahan. Saatnya meninggalkan air dan mendengarkan daratan yang sudah tak tahan bercerita. Ini tempat Harapan, meski yang terlihat banyak air di sana sini, tapi percayalah ada sesuatu di sini, katanya. Maka, ikutilah suara-suara yang terdengar dari berbagai sudut desa. Daratan pun mulai bercerita tentang kehidupan yang berpadu harmonis di atas punggungnya. Semakin jauh berjalan ke dalam desa, ada ibu-ibu yang berdiri di balik warung warna warni, pemuda desa di kiri-kanan jembatan sedang berdiskusi, dan anak-anak yang enggan mandi sore sedang berlarian di sana sini. Katanya, melihat sapi dan kambing berkeliaran adalah satu kewajaran di sini. (Nanti juga akan tahu, kenapa tertulis kalimat seperti ini J ) Pohon kelapa merayu di sana sini, dan indahnya desa ini dilapisi rumput hijau yang rapi, seperti sering bersisir setiap sore. Anak-anak mengajak untuk melihat sudut desa yang lain, melewati dermaga yang lain. Untuk melihat harapan yang lain. Di sana, anak-anak desa tertawa lepas dan riang di atas daratan, di pinggir laut dan memandang awan. Mereka bercerita tentang cita-citanya menjadi guru, dokter, dan lainnya. Mereka membaca buku Sains sambil berdiskusi asyik.

(Sandi, kelas 5 SDN 001 Tanjung Harapan, beruntung sekali ibu Afra Afifah, yang menyaksikannya tumbuh dan belajar di Desa Tanjung Aru )

Awan, daratan, air.

                 Perjalanan yang beriringan dengan awan, melewati daratan, dan mengarungi air laut. Ke manapun langkahmu berpijak, selalu ada cerita yang bisa dipetik. Perjalanan melengkapi apa yang bisa diceritakan oleh sebuah foto atau dikisahkan oleh buku. Ada harga yang sulit untuk diungkap. Ditambah, ada anak-anak di sudut lain Indonesia yang bercerita langsung tentang mimpinya.

            Catatan perjalanan menuju desa Tanjung Aru, (Kecamatan Tanjung Harapan, bagian dari Kabupaten Paser, Kalimantan Timur), desa penempatan Afra Afifah, Pengajar Muda VII-Indonesia Mengajar (28 Maret 2014)


Cerita Lainnya

Lihat Semua