Misteri Di Balik Ibadah Syukur

Fevrina Leny Tampubolon 10 April 2014

Apa yang terlintas di pikiran anda ketika aku katakan ibadah syukuran? canda tawa? kebahagiaan? anak? Rejeki nomplok?  segala yang sarat dengan hal-hal baik pastinya. Tetapi di sini, di sebuah desa yang bernama Bibinoi aku menemukan sisi lain dari ibadah syukuran.

Malam itu, terdengar suara riuh dari luar rumah ku.

“Ibu, ibu..” demikianlah penggalan kata dengan nada tak beraturan yang sanggup menarik perhatian ku.

Aku pun bergegas keluar dari kamar ku, menghampiri sumber suara. Terlihat beberapa kurcaci kecil sudah berdiri dengan manis di dekat pintu masuk rumah ku yang terbuka. Kali ini tanpa pena, tanpa buku di tangan mereka. Artinya malam ini mereka tidak sedang mengajak ku untuk belajar bersama. Tepat seperti dugaan ku, kali ini mereka akan mengajak ku ke sebuah ibadah syukuran

Ibu, mari ibu ganti baju sudah, ada ibadah di atas, ibadah syukuran”

“ Oh, sekarang?”  tanya ku memastikan, mengingat aku belum bersiap sama sekali untuk  menghadiri acara kejutan ini.

“Iyah ibu, sekarang. Ibu baganti sudah,biar kita tara (tidak) terlambat ” desak mereka

“ Acara syukuran apa ini?”

“ Ibadah syukuran orang meninggal bu ”

“Apa? Acara syukuran orang meninggal”  aku pastikan bahwa aku tidak salah dengar.

“Iah bu, acara syukuran orang meninggal”  timpal mereka membenarkan bahwa aku tidak salah dengar.

Belum sempat lagi aku memuaskan rasa penasaran ku tentang ibadah syukuran untuk orang meninggal tersebut. Ekspresi wajah anak-anak yang sudah tidak sabar untuk segera berangkat memaksa ku untuk bergegas. Setelah merasa siap aku dan para anak-anak ini pun meluncur ke dusun atas tempat dimana ibadah tersebut diadakan.

Setibanya di tempat ibadah, aku tidak akan menemui suara canda tawa dan orang-orang yang sedang bersenda gurau dengan lelucon-lelucon yang memancing tawa. Pemandangan yang terlihat hanyalah orang-orang yang berkostum hitam sebagai tanda belasungkawa. Pembicaraan yang seadanya antara satu orang satu dan lainnya. Karena Ibadah syukuran kali ini adalah ibadah syukuran untuk orang yang telah tiada. Sedikit kotradiksi memang Ibadah syukuran yang identik dengan suasana bahagia yang kemudian disandingkan dengan kata “orang meninggal” yang sarat dengan suasana duka. Tetapi ternyata pemilihan sebutan “ibadah syukuran orang meninggal” tidak dengan tanpa alasan. Sebutan tersebut memiliki filosofinya sendiri. Filosofi itu pun akhirnya terkuak beberapa saat kemudian setelah kejadian malam itu.

Beberapa minggu kemudian, ada berita duka yang kembali terdengar dari ketua komite di sekolah kami. Ibunya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Mendengar kabar tersebut, aku pun memutuskan untuk datang berkunjung selepas perjalanan dari ibu kota kabupaten. Seperti biasanya aku pun meluncurkan beberapa pertanyaan untuk membuka percakapan seperti jumlah keluarga beliau dan penyebab kematian ibu beliau. Obrolan tersebut akhirnya berakhir pada sebuah ajakan untuk menghadiri ibadah syukuran yang akan mereka laksanakan pada besok harinya.

Ibu, bisa ikut kah tarada (tidak) untuk ibadah syukuran besok?”

“Bisa saja pak” Jawab ku menyetujui ajakan beliau

Memang kita di sini ini jaga bikin ibadah syukuran bu kalau ada orang yang meninggal” ungkapnya menjelaskan kebudayaan di desa ini

Agak lucu memang bu disebut ibadah syukuran, padahal untuk orang meninggal. Kalau di sini Ibu, sekali pun kita sedang susah atau dalam kondisi duka kita tetap bersyukur kepada Tuhan. Makanya kita bilang ibadah syukuran”

Binggo, akhirnya pertanyaan yang sempat tersimpan di benak ku  pun terjawab malam itu. Awalnya sebutan itu sudah kuanggap sebagai istilah yang memang digunakan oleh masyarakat. Ternyata itulah maksud yang sesungguhnya. Bagaimana rasa syukur yang identik dengan kondisi bahagia dimaknai dalam kondisi sulit. Bagaimana rasa syukur yang sederhana dimaknai secara mendalam. Aku menjadi pengajar yang banyak belajar di desa ini. Sebuah desa yang bahkan tidak terlihat di peta. Desa Bibinoi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua