100 hari di Pulau Rupat

Zwita Almaida 10 April 2014

100 hari di Pulau Rupat

 

Mungkin itu adalah judul yang tepat untuk tulisanku hari ini. Gak kerasa. Ya benar-benar gak kerasa udah hampir 100 hari aku tinggal disini, di sebuah pulau kecil di Selat Melaka yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Merasakan tinggal di salah satu pulau terluar negeri ini menjadi salah satu impianku sejak dulu. Merasakan rupa-rupa kehidupan yang beragam, menjadi bagian dari masyarakatnya, dan mencicipi kehidupan Indonesia yang sebenarnya, hmm menggiurkan bukan?

Ya, 100 hari di Pulau Rupat. Selama kurang lebih tiga bulan terakhir ini aku mendapatkan kesempatan luar biasa menjadi seorang Pengajar Muda di salah satu desa di pulau ini. Desaku terletak di bagian tengah pulau, Desa Pangkalan Nyirih namanya. Ketika pertama kali memasuki desa ini, yang pertama terlintas di pikiranku saat itu adalah betapa desa ini mirip dengan suasana desa di serial kartun Upin dan Ipin. Rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu, halaman rumah yang luas, jalanan dari semen dan pasir, hamparan kebun karet di belakang rumah, dan masyarakatnya yang beragam suku Jawa, Melayu, Cina, dan Akit. Semakin mengingatkanku pada tokoh-tokoh film kartun Upin dan Ipin dimana teman-temannya (Jarjit, Fizi, Mei-mei) mewakili beragamnya suku di desa mereka. Oh iya, anak-anak disini sangat pandai membuat pantun. Lagi-lagi mengingatkanku pada tokoh Jarjit yang selalu mengungkapkan sesuatu dengan pantun.

Aku teringat ketika acara pisah sambut PM V dengan PM VII di sekolah. Salah seorang anak muridku maju dan membacakan sebuah pantun singkat. Isinya kurang lebih seperti ini :

                “Makan sirih diwaktu senja

                Dibuat lalap daun pegaga

                Jangan bersedih Bu Chita

                Masyarakat Nyirih siap menerima

               

Ayunkan anak dalam buaian

                Sambil bernyanyi lagu pujian

                Jangan Bu Chita merasa kesunyian

                Kami bersedia dijadikan teman”

 

Mendengar pantun tersebut, aku tersentak kaget sekaligus merasa terharu. Bagaimana mungkin mereka bisa membuat pantun yang sedikit banyak sesuai dengan perasaanku saat itu. Berada disini sebagai Pengajar Muda ke-empat apakah mereka masih mau menerimaku? Bagaimana jika aku tidak sebaik PM-PM sebelumnya? Bagaimana jika aku sampai mengecewakan mereka? Berbagai pertanyaan dan kecemasan bercampur aduk, namun aku tetap yakin bahwa aku pasti bisa menjalani hari-hariku disini dengan baik. Aku percaya aku tidak sendirian, teman-teman sepenempatan kabupaten Bengkalis maupun teman-teman PM VII seperjuangan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air menjadi suntikan penyemangatku selama satu tahun ke depan.

Berada disini sebagai seorang Pengajar Muda, sama seperti tiga Pengajar Muda sebelumnya, kami menjadi seorang pengajar di Sekolah Dasar. Terus terang aku lebih senang menyebut diriku sebagai Pengajar Muda, bukan guru. Menurutku sebutan guru sungguh amatlah terhormat, mereka benar-benar berjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, perjuangan tanpa lelah, dan tanpa akhir. Sebutan pahlawan tanpa tanda jasa bagi guru sangatlah tepat untuk mereka.

Hari itu seperti hari-hari sebelumnya, aku memulai aktivitas sekitar pukul 05.30. Disini, matahari terbit agak lebih siang daripada di kota-kota di Jawa. Pukul 06.00 terkadang masih gelap, dan matahari baru benar-benar menampakkan dirinya pukul 06.15. Dengan mengendarai sepeda motor aku melaju ke SDN 28 Pangkalan Nyirih yang berjarak sekitar 700 meter dari rumahku.

“Bu Chita datang! Bu Chita datang!”

“Pagi Bu!”

“Bu, semalam saya lihat Ibu bonceng honda dengan Ibu Nisa. Ibu mau kemana bu?”

“Bu, saya sudah kerjakan PR Ibu tapi bukunya basah Bu”

“Bu, sudah ada pengumuman anak yang ke Jakarta Bu?”

Berbagai celotehan anak-anak langsung menyambutku. Aku sungguh bersyukur memiliki murid-murid luar biasa seperti mereka. Murid yang selalu semangat, murid yang selalu bertanya padaku segala hal, murid yang membuatku berpikir untuk selalu melakukan sesuatu yang lebih bagi mereka.

My students are my teacher. I learned many things from them, and actually I was the one who inspired by them.

Kulangkahkan kakiku menuju kelas, bersiap untuk terinspirasi selama 265 hari lagi, seterusnya, dan selamanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua