Dari Mapahi ke Peana: Sebuah Perjalanan Penuh Makna

Sarah Nadila 27 Oktober 2024

Di SD BK Mapahi, sebuah sekolah di desa kecil di Kecamatan Pipikoro, tidak tersedia fasilitas yang memadai untuk melaksanakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Akibatnya, setiap tahun, para siswa harus menumpang ke sekolah lain untuk mengikuti ujian tersebut. Seperti hari ini, Minggu, 27 Oktober 2024. Matahari panas membara, tetapi langkah kami tak gentar untuk memulai perjalanan ini.  Pukul 11.20 WITA, rombongan kecil kami yang terdiri dari guru, orang tua, murid, dan saya sendiri, berangkat dari Desa Mapahi ke Desa Peana. Kami menuju SMA Negeri 13 Sigi untuk mengikuti pelaksanaan ANBK. Setiap siswa diantar oleh ojek atau orang tuanya menggunakan sepeda motor. Karena ANBK berlangsung selama dua hari, banyak keluarga yang ikut bermalam di Peana dengan membawa bahan makanan seadanya untuk dimasak di sana. Ada beras, sayuran, dan bahkan ayam hidup yang terikat di belakang motor menjadi pemandangan yang biasa.

Perjalanan menuju Desa Peana tidak pernah sederhana. Jalan yang membentang di hadapan kami adalah serangkaian rintangan, kami menembus desa-desa kecil diantara perbukitan terjal, tanjakan curam, turunan tajam, dan jalur berlumpur. Di sepanjang perjalanan, saya berkali-kali menoleh ke belakang memastikan jumlah motor lengkap beriringan. Lansekap alam begitu memukau, pohon-pohon menjulang dan lembah yang menghampar luas kehijauan. Tapi, di balik keindahan itu, ada rasa getir. Salah seorang pengemudi ojek sempat berkata, “Kalau hujan, jalannya hampir tak bisa dilewati. Ban motor kami bisa terjebak dalam lumpur.” Kata-kata itu terngiang, menciptakan bayangan tentang bagaimana kerasnya perjuangan para orang tua di sini, yang rela mempertaruhkan kenyamanan, bahkan keselamatan, demi pendidikan anak-anak mereka.

Perjalanan sempat terhenti ketika kami menyadari Papa Putra dan Putra, salah satu murid kami, tertinggal di belakang. Di antara rindangnya pepohonan dan kebun-kebun milik warga, kami duduk menunggu dan makan siang. Sambil bercakap bersama Bu Guru Hana, serta dua murid saya, Velan dan Dela, saya bertanya pada mereka, "Bagaimana perasaan kalian hari ini? Apakah senang?"

"Senang, Bu,” sahut Velan sambil tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat. “Ini pertama kalinya saya ke Peana.”

Lain halnya dengan Dela. Ia hanya tersenyum kecil, malu-malu namun penuh rasa bangga. “Saya sudah dua kali ke Peana, Bu,” katanya pelan.

Mereka mungkin belum memahami makna perjalanan ini, tapi saya bisa merasakannya. Dalam polosnya jawaban dan antusias mereka, ada kilasan keberanian dan rasa ingin tahu yang besar. Melihat mereka, saya terharu.  Anak-anak ini, bersama orang tua mereka, tak gentar meski harus melalui perjalanan yang penuh perjuangan. 

Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di Desa Peana. Rumah Pak Saferson, Kepala Sekolah SD BK Mapahi, menjadi tempat kami bermalam. Udara dingin langsung menyergap begitu kami turun dari motor. Di sini, dinginnya terasa lebih menusuk dibandingkan Mapahi. Kami menurunkan barang, dan duduk bercakap-cakap. Ketika sore berganti malam, hawa dingin memaksa kami mencari kehangatan dan enggan berlama-lama diluar. Kami menghabiskan malam itu dengan memasak sederhana dan makan bersama. Setelah makan malam, kami akhirnya beristirahat, membiarkan tubuh yang letih untuk pulih.

Keesokan paginya, pukul 5.00 WITA, anak-anak sudah bangun dan bersiap untuk mandi meskipun udara pagi sangat dingin sekali. Saya terharu menyaksikan semangat mereka untuk mengikuti ANBK. Pukul 7.00 WITA, kami berangkat ke SMA Negeri 13 Sigi. Perjalanan sejauh 3KM dari rumah ke sekolah dilalui dengan jalan tanah yang lebar, tapi becek. Harus pelan dan hati-hati melangkah agar tidak terpeleset.

Sesampainya di sekolah, anak-anak mengikuti ANBK dengan penuh antusias. Meski banyak yang belum mahir mengoperasikan komputer, atau masih terbata-bata membaca soal, saya dan Bu Guru Hana terus mendampingi mereka. Kami membantu mereka membaca soal, memberikan dukungan, dan membangkitkan rasa percaya diri agar mereka bisa memahami serta menjawab soal dengan baik. Setelah ujian selesai, semangat anak-anak tetap terpancar. Meskipun mereka menghadapi berbagai kendala, kebanggaan mereka mengikuti ANBK tak lekas sirna.

Di dalam hati, ada harapan besar bahwa cerita perjalanan ini dibaca oleh mereka yang memiliki kuasa. Agar mereka menyadari bahwa di pelosok negeri, ada anak-anak dan orang tua yang tak kenal lelah menempuh rintangan demi pendidikan. Harapan kami sederhana: suatu hari nanti, jalan yang panjang dan sulit ini dapat berubah menjadi jalur yang lebih mudah dilalui, dan sekolah kami memiliki fasilitas memadai agar ANBK dapat dilaksanakan di tempat sendiri.

Perjalanan ke Peana ini bukan sekadar perjalanan fisik semata, tetapi sebuah perjalanan penuh makna. Ini adalah sebuah kisah tentang keteguhan hati, tentang orang-orang yang berani berkorban, dan tentang anak-anak yang dengan tulus menggenggam harapan akan masa depan. Mereka adalah inspirasi sejati—mungkin jejaknya diabaikan oleh dunia, tetapi tak akan terlupakan oleh siapa pun yang menyaksikannya.[] 


Cerita Lainnya

Lihat Semua