Jakarta - Sau

Sandra Prasetyo 17 Juli 2011
Jakarta, 15 juni 2011 kurang lebih pukul 11.00 kami para pengajar muda batch II untuk daerah Fak-Fak dan Maluku Tenggara Barat tiba di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Waktu itu adalah waktu dimana kami akan diberangkatkan menuju daerah masing-masing. Inilah waktu dimana kami terakhir kalinya menginjakkan kaki di pulau jawa, karena ketika kami buka mata besok, kami sudah berada di tanah lain. Perpisahan dengan sesama PM dan teman-teman dari Indonesia Mengajar sangat terasa haru, tapi saya bertekad tidak ada airmata yang jatuh, tetapi senyum yang mengembang dari wajah, karena para Pengajar Muda akan berangkat menjemput  ladang amal mereka di tanah harapan pelosok nusantara tercinta. Pukul 1.30 dini hari pesawat kami take-off menuju Ambon, menempuh perjalanan 2,5 jam. Pukul 07.00 WIT, sampailah kami di Bandara Pattimura, Ambon. Di Ambon tim Fak-fak dan MTB berpisah, tim Fak-fak langsung naik pesawat kecil dan menuju Fak-Fak, Papua, sedangkan tim MTB harus stay 1 malam di Ambon manise, karena pesawat yang akan kami tumpangi menuju Saumlaki mengalami sedikit masalah teknis, alhasil, tim MTB memanfaatkannya untuk jalan-jalan mengelilingi kota Ambon manise, it’s time to know my country as well. Tempat wisata yang kami kunjungi antara lain pantai natsepa, patung martina tiahahu, gong perdamaian, dan tempat yang ada belut raksasa (lupa namanya, hehe..). Setelah puas menikmati keindahan Ambon, kami kembali ke hotel untuk istirahat, capek tapi seru. Mata saya pun terpejam di pukul 23.30, menghemat energi untuk perjalanan panjang besok menuju Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Badan boleh berada di daerah dengan waktu berbeda (WIT, red), tapi jam biologis tubuh saya masih di WIB, kami bangun pagi pukul 07.30, padahal pesawat yang akan ke Saumlaki take off pukul 09.00, sudah pasti bisa ditebak, saya dan teman-teman sekamar pontang-panting untuk packing barang. Alhasil, saya dan teman-teman hanya cuci muka, ganti baju, langsung kabur ke bandara pattimura untuk mengejar pesawat. Pesan saya, setting dulu jam biologis anda terhadap daerah yang anda kunjungi jika tidak ingin terlambat. Pesawat kami pun take off dari bandara pattimura, meskipun hujan lebat menyambut, pesawat kecil ini tetap mengepakkan sayapnya menuju tanah harapan, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Alhamdulillah, tepat pukul 11.00 WITA, pesawat yang membawa saya dan teman-teman mendarat dengan selamat di Bandara Saumlaki. Sambutan yang hangat dari bapak-bapak dinas pendidikan dan penduduk sekitar membuat saya tidak ragu akan keramahtamahan penduduk saumlaki, dan menguatkan saya untuk menginjakkan kaki lebih lama di kepulauan Tanimbar ini. dari bandara, kami langsung menuju penginapan yang telah dipersiapkan oleh dinas pendidikan MTB. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, saya sangat “amaze” dengan kesejukan dan ketenangan saumlaki, pemandangan yang indah, kesahajaan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah, masyarakat di Saumlaki ini sangat senang musik/bernyayi, setiap angkot di sini selalu full musik dan dinyalakan dengan sangat keras, seolah-olah mereka berlomba siapa musiknya yang terkeras. Setelah sampai penginapan, saya dan teman-teman istirahat sejenak, setelah itu keliling saumlaki dengan ditemani angkot khas saumlaki, MTB. Jujur, bagi saya ini adalah pengalaman pergi ke luar jawa pertama kali sepanjang hidup, pengalaman ini membuka mata saya tentang betapa luas dan indahnya Indonesia ini, keindahan itu ibarat wanita cantik yang indah dari ujung rambut sampai ujung kaki, all prefect. Memang benar apa kata pak Anies Baswedan, Indonesia Mengajar merupakan jembatan untuk merajut tenun kebangsaan, terutama antar titik terluar Indonesia. Sangat miris memang melihat kesenjangan pembanguna daerah di Indonesia, dalam satu kesempatan pada saat berbincang dengan salah satu masyarakat saumlaki, mereka merasa termarginalkan, saya kira ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua untuk mengubah stigma seperti ini, dan untuk itulah kami para pengajar muda dan Indonesia Mengajar berada. Indonesia is indonesia, the beatifull country with thousand island around, there is always a connectivity among indonesian, no marginalisation.

Cerita Lainnya

Lihat Semua