Cerita Ramadhanku

Sandra Prasetyo 7 September 2011

Malam ini langit begitu cerah, bintang-bintang bertaburan menghiasi langit malam. Dalam malam itulah ramadhanku dimulai, jauh dari keramaian kota yang selama ini aku tinggali. Disini begitu sunyi dan gelap, hanya ada pelita api yang menemani ibadahku kepadaMu , ya Rabb. Namun, aku menemukan ketenangan batin yang luar biasa disini, di tanah pengabdianku untuk satu tahun kedepan, Wunlah. Meskipun disini aku menjadi minoritas diantara masyarakat yang lainnya, tidak mengurangi imanku kepadaMU, untuk tetap menjalankan apa yang telah Engkau perintahkan, puasa ramadhan, shalat tarawih, tilawah, dan amalan lainnya.

Puasa pertama di Wunlah, aku berkenalan dengan orang Bhutton, Sulawesi Tenggara. Mereka lumayan banyak disini, kebanyakan mereka berdagang makanan, pakaian, yang sering disebut dengan Opsi. Mengawali puasa pertama, aku dan teman-teman bhutton menyembelih kambing, hasil urunan bersama, menikmati sate, gulai, dan menu makanan bhutton lainnya, indahnya ramadhanku, bisa mengenal budaya lainnya dalam keakraban dan nuansa keluarga. Di Wunlah ini, alhamdulillah aku mendapat keluarga baru yang sangat toleran terhadap keyakinan lainya, keluarga ini selalu membuatkanku  makan dikala buka puasa dan sahur, bahkan mereka setiap sahur selalu bangun untuk membuatkanku makanan dan menemaniku sahur, begitu hangat dan indahnya satu dalam keragaman.

Shalat tarawih aku lakukan dalam kegelapan malam, bersama dengan orang-orang bhutton dan satu guru agama, Bapak shidiq, yang berasal dari Petogogan, Jakarta. beliau ini sudah 11 tahun menjadi guru di MTB, berpindah dai satu sekolah ke sekolah lainnya, pengabdiannya sudah tidak diragukan lagi. Pelita lampu kecil menemani tarawih kami, hening dalam kekhusukan, menghadapkan diri sejenak kehariban Illahi Rabbi. Setelah shalat, nuansa sedih dan “nelangsa” sempat menghampiri diriku, baru kali ini aku melaksanakan shalat tarawih dalam kegelapan dan menjadi minoritas diantara masyarakat lainnya. Doa terucap, memecah kegelapan dan keheningan, mata sedikit berkaca, berharap esok pelita yang terang akan menghampiri kami di akhirat nanti, pengganti kegelapan dalam shalat kami ini.

Suatu hari, entah mengapa kami disuruh pindah dari rumah yang kami jadikan tempat ibadah bersama, tanpa tahu alasannya. Still have positive thinking dan khusnuzon, kamipun pindah kerumah salah satu guru di SMA Wunlah , yang kebetulan juga muslim, namun rumah itu kosong, tidak digunakan. Aku dan teman-teman bhutton bersama-sama membersihkan rumah yang snagat kotor tersebut, dan alhamdulillah kami bisa kembali bersujud kepada IllahiRabbi di bulan yang penuh berkah ini, semoga kami termasuk hamba yang Engkau sayang ya Rabb, meskipun dalam kesusahan melaksanakan ibadah jamaah, tapi engkau memang selalu ada bersama kami, pertolonganMu selalu ada setiap kami butuhkan. Thank You Allah.

Suatu hari, aku tidak ada makanan buat buka puasa, dan disaat itu aku juga bingung mau makan makan apa, karena di rumah tidak ada bahan apapun. Tapi orang bhutton itu memang sangat baik, tiba-tiba ia memberiku secangkir kolak pisang dan buah pateka (semangka), sangat nikmat dan luar biasa kasih Allah itu. Malamnya, karena melihat aku kelaparan, karena dirumah yang ada hanya pisang mentah, mama piara memasakanku sayur piasng mentah (pisang dicampur dengan kuah), dan ternyata latihan di Rindam Jaya tak sia-sia, yang selama latihan aku sangat “nek” ketika makan nasi dengan buah, saat ini aku mengalaminya sendiri, makan buah pisang dengan nasi, dibuat enak saja lah. 

Cerita itu terus berlanjut, ketika masuk sekolah di bulan puasa, aku menjalani rutinitas ini seperti biasa, namun ketika anak-anak begitu ramai dan emosi sudah tak tertahankan, yang aku lakukan hanyalah keluar sebentar dari kelas dan menenangkan diri. Pulang mengajar yang aku bisa aku lakukan adalah tidur siang selama puasa ini, regain my energy.

Begitulah cerita ramadhanku, ramadhan yang indah di sebuah pulau kecil Indonesia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua