info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Pundau (ku)

Salimatus Shadri 4 Maret 2012

 

Where we love is home,Home that our feet may leave, but not our hearts.~Oliver Wendell Holmes, Sr., Homesick in Heaven

            Jujur, sebenarnya di awal awal penempatanku di dusun Pundau ini, aku tidak begitu excited. .Aku berfikir kok tidak ada pelosok pelosoknya ya desaku; ada listrik, ada sinyal, dan air yang bisa dibilang cukup. Padahal sejak awal mengirimkan aplikasi untuk bisa ikut mendapatkan kehormatan menjadi bagian dalam program ini, aku selalu membayangkan pelosok itu adalah; dareah yang sangat sulit di jangkau, sangat terpencil, tak ada listrik, sinyal dan belum tersentuh ke "modern' an zaman. Aku bahkan sempat membayangkan akan tinggal didaerah yang sangat sejuk di puncak gunung.Yang sebagian penduduknya masih berpakaian goni atau dari dedaunan.  Jika aku ingin menelfon keluarga aku mesti memanjat pohon kelapa dahulu atau di antar oleh pak nelayan ke tengah laut dan mesti mengangkat tangan setinggi tingginya dengan dramatis untuk menangkap sinyal. Aku akan jarang sekali mandi karena tak cukup air (terlepas dari apakah aku sekarang rajin mandi karena cukup air). Aku akan mengajar di sekolah yang terbuat dari papan yang ujung ujungnya telah di makan rayap, atapnya akan runtuh dan bolong bolong. Aku juga membayangkan hanya lilin saja yang akan membantu penenranganku pada malam hari. Okay... okay, mungkin bayanganku tantang penduduk berpakaian dari bahan alami, memanjat pohon kelapa, dan tak mandi mandi terlalu berlebihan. Tapi meski tak se-extreem itu, tentu desa Pundau dengan lokasi hanya dua kilo setengah dari jalan poros dengan segala ketersediaannya ini sama sekali tidak sesusai dengan bayanganku tentang desa terpelosok. Maka, segera saja hatiku dipenuhi kecemburuan yang sangat pada teman teman sesama pengajar muda yang di tempatkan di gunung-gunung yang memang secara geografis dan kondisi fisik memang pantas di sebut pelosok dan terpencil. 

       Alhasil jika setiap kami para pengajar muda berkumpul akulah yang paling jarang bercerita; mau menceritakan apa? Aku hanya menyimak. Bagaimana anak anak murid temanku Arif di Tati Bajo mesti dua kali menyebrangi sungai dulu sebelum ke sekolah. Atau bagaimana temanku Veri di Butu Tala melewati jalan kecil yang liat dan menantang maut jika mesti ke ibukota kabupaten. Atau Luluk yang mesti melewati gunung dan lembah juga pendakian sangat curam dengan jurang di kanan kiri jalannya sejauh tujuh kilo untuk bsia ke desanya di Limboro, yang memang tak ada sinyal dan listrik itu. Bahkan entah bagaimana mulanya, semakian sulit secara geogrfis desa penempatan, semakin bangga dan menggebu gebulah pengajar muda itu bercerita di setiap pertemuan. Sementara aku di tempatkan di desa yang sepertinya sudah cukup maju, dan tak membutuhkan lagi kehadiranku (yang di tandai dnegan adanya segala ketersediaan dan kemudahan tadi). Cerita cerita mereka selalu seperti menuang bensin ke dalam api untuk rasa iri-ku yang terasa semakin tersulut. Kadang-kadang ketika mereka bercerita, di menit kesekian. Hanya tubuhku yang masih di lingkaran rapat dan pertemuan itu, tapi dalam imajinasiku aku sudah berlari ke pantai, terduduk dan menggaruk garuk pasir lalu meratap merana sambil menatap ke langit: mengapaaa Tuhaaan?.. mengapaaa aku ditempatkan disini? (so lebay :P)

     Hampir empat bulan bulan lamanya, aku terbutakan dengan kekecawaanku sendiri. Aku memang terlalu sinetronis mungkin, definisiku tentang sesuatu masih sangat mengikuti apa yang umum di percayai banyak orang. Ya, contohnya dengan kata pelosok tadi, yang aku artikan melulu dari segi fisik dan geografis. . Aku sibuk mencari cari kenapa aku dengan semangatku yang gebu semestinya tidak ditempatkan disini. Kenapa seorang pengajar muda tidak perlu ditempatkan lagi di desa ini. Dan kau akan mendapatkan apa yang kau cari kawan, percayalah. Sepertiku yang semakin hari dalam tiga bulan itu semakin buntu. Hal-hal kecil dapat membuatku bertambah menyesali. Melihat bar sinyal di handphoneku saja aku sebal. Ketika melihat anak anak muridku menyanyikan lagu Cherrybele misalnya, aku juga bisa jadi kesal. Atau ketika remaja remajanya menentang handphone buatan China dengan dengan lagu Pop Melayu yang diputar di aplikasi Mp3nya dengan loud speaker dan volume di keraskan.  Pikirku Lihat; mereka bahkan hafal lirik Cherrybele dan meniru niru gerakannya atau lihat mereka bahkan sduah bisa gaya gayaan dengan handphone; padahal entah apa hubungan antara girlband, handphone dengan keterpelosokan (sungguh sangat tidak ilmiah sodara sodara)

       Rasa sesal ini membuatku butuh waktu untuk berdamai dengan drii sendiri dan tak bisa melihat dengan jernih kenapa pengajar muda di tempatkan disini. Aku luput dari fakta bahwa jarang sekali (bahkan tidak ada sebelum IM) ada orang dari luar desa yang singgah, menetap, tinggal membaur disini. Kehidupan mereka kebanyakan seputar desa ini saja atau paling jauh ke jalan poros Palipi yang jaraknya dua kilo setengah dari sini saat hari hari pasar.  Sehingga mereka nyaris tak pernah bersinggungan dengan kebaragaman dan nyaris buta dengan Indonesia secara umum. Indonesia hanya mereka kenal lewat televisi yang mereka tonton bersama di rumah orang yang mampu di antara mereka yang baru ada sejak listrik masuk desa ini; tahun 2004 silam.

       Seperti kakak bapak dusun (ayah angkatku) yang bahkan tidak tau beda Jawa dan Sumatera ( dan dia tidak sendirian). Aku masih ingat dulu di minggu-minggu pertama aku tinggal di dusun ini. Setiap akan makan pagi bersama beliau, beliau selalu bertanya "Kita Jawanya dimana?" Awalnya aku tersenyum dan berkata tenang.  ” Saya dari Padang bu, dan Padang itu di Sumatera, tepatnya Sumatera Barat bukan dari Jawa" Besoknya aku di tanya lagi dengan pertanyaan itu " Di mana jawanya ki? di Padang?"  Aku menghela nafas "Hmm Iya bu Padang, di Sumatera bukan Jawa, Jawa dan Sumatera itu dua pulau yang berbeda bu, terpisah Selat Sunda “ Aku bahkan menggunakan tangan menggambarkan secara imajiner pulau jawa dan sumatera. Si ibu kemudian mengangguk,   "Owh, yaya (sambil tersenyum)" Aku menghela nafas lega karena akhirnya beliau faham. Namun tak berapa lama beliau menyambung "Berarti Padang sama Jawa beda kota dik (dik; ya)"

       Di lain hari ketika menonton tivi bersama sambil menyantap ubi rebus, mereka tiba tiba dengan antusis bertanya apakah orang orang di Padang juga tau dan makan Ubi? Atau apakah di Padang juga ada Ikan-ikan seprti ikan ikan disini? Apakah Orang Padang atau Jakarta juga memelihara kambing dan sapi? Atau pertanyaan pertanyan lain tentang kampungku di Sumatera, tentang Jawa, tentang Jakarta. Pertanyaan pertanyaan polos yang meenggemaskan yang disebabkan karena  ketak tahuan dan keingin tahuan mereka seperti apakah kehidupan saudara saudara sesama bangsa yang terserak di berbagai kepulauan Indonesia ini.

       Begitupun fakta bahwa anak anak muridku meski hanya berjarak dua kilo dari jalan poros, banyak sekali yang tak pernah keluar dari desa, bahkan jika itu hanya ke ibukota kecamatan, luput dari mataku. Sehingga sekalinya kuajak keluar ke kecamatan untuk mengenal berbagai profesi dari dekat mereka girang luar biasa, sampai sampai menceritakanya terus berhari hari. Ya berhari berhari, kawan.

       Bahwa Ibu dan Bapak mereka hanya lulus SD atau tidak pernah sekolah sama sekali, tidak bisa baca tulis dan tidak bisa Berbahasa Indonesia. Bahwa sebagian besar dari mereka adalah generasi pertama dari keluarganya yang sekolah, Yup generasi pertama, bisa kalian bayangkan itu? Dan bahwa meski akhirnya sejak 2004 sudah ada sekolah dasar, dan dekat dengan jalan poros sekalipun sekolah tempat aku mengajar tetaap  saja masih sangat kekurangan guru. terkadang bahkan empat kelas kosong tanpa guru dari pagi hingga siang. Hingga anak anak yang bahkan sejak setengah tujuh sudah menjejali sekolah, hanya berkeliaran lalu berdesakan di pintu kelas dan jendela menonton aku mengajar. Dan begitu aku sesekali mengajar parallel, masuk kelas kelas kosong yang lain itu, mereka terlihat senang luar biasa karena akhirnya belajar. 

       Bahwa mereka sebelum ini, tak berani bercita cita, karena dipaksa mempercayai cita cita hanyalah milik orang mampu, milik orang orang kota. Atau kalaupun ada cita cita mereka adalah menjadi pns dengan menjadi guru agama, atau guru olah raga. Itu saja! Bukan mengatakan bahwa menjadi PNS atau guru buruk, sama sekali bukan. Aku pun guru bukan? hanya saja hanya guru atau PNS lah pekerjaan yang mereka tau, dan itu pun tak semua berani mencita citakannya. Tak ada yang berani menjadi dokter dan tau apa itu pekerjaan dokter, apalagi pilot, astornot, arsitek, itu semua adalah profesi profesi yang sama sekali tidak mereka kenal dan belum berani mereka impikan. 

       Bahwa sebagian dari remaja tanggung yang selang senja hari hinnga malam duduk di saung atau pos kamling unt mengobrol sesudah mandi dan berdandan dan berbedak tebal dan memakai miyak wangi yang baunya menjangkau radius puluhan meter itu tidak termotivasi untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, simply karena memang tak pernah di dukung di rumah mereka. Dan sebagian dari mereka, kuketahui malah berhenti sekolah sebelum UN SMP atau ujian semester untuk melangsungkan pernikahan. Dulu aku sempat berfikir, anak anak semi desa yang cheesy. Tapi belakangan setelah kuajak bercerita, berdiskusi dan belajar besama. Ternyata mereka adalah anak anak yang cerdas yang punya mimpi dan harapan harapan yang mereka tutup rapat karena takut dengan mimpi mereka sendiri. Anak anak yang ternyata sangat ingin diperhatikan, di motivasi dan didukung.

     Bahwa meski hanya dua kilo dari jalan poros dan tak sebebrapa jauh dari kecamtan, bukan jaminan mereka akan mepunyai fasilitas kesehatan atau MCK yang layak dan mendapat informasi yang cukup tentang kesehatan. Mereka seperti terlupakan oleh pihak yang berwenang dalam hal memajukan kesehatan didaerah ini. Sehingga untuk (maaf) buang hajat saja misalnya, sebagian besar dari mereka masih lakukan di tanah belakang rumah dan di sungai yang airnya hampir kering. Aku biasa mendapati kuku anak anak muridku yang manis lucu dan pintar pintar itu selalu panjang dan kehitaman. Rambut mereka kering, kaku dan berbau keringat dan matahari juga berkutu karena jarang sekali di cuci tampak tak cocok dengan wajah mereka yang imut dan cantik itu. Pernah suatu hari ketika aku memberi pretest sebelum memulai belajar mengenai daur air, aku bertanya apakah guna sungai yang di jawab serempak oleh mereka; Untuk menghanyutkan rumput (rumput disini berarti; sampah) dan buang air. 

 

Murid muridku

        Meskipun begitu mereka adalah sekolompuk penduduk yang ramah dan solider, hingga kau akan mulai berfikir semua orang di desa ini mungkin saja benar benar berkeluarga. Tak ada satupun acara bersama yang seluruh dusun tak terlibat. Bahwa mereka pekerja keras! pekerja keras yang jarang mengeluh. Khas Keteguhan penduduk desa yang kerja keras nya tak dinodai keluhan sesulit apapun hidup saat itu.

     Bahwa di desa ini, di dalam rumah panggung 4x 5 meter yang berjejer rapi berhadap hadapan itu lahir dan tumbuh besar anak anak yang cerdas di antaranya bahkan sangat pintar dan berbakat, namun tak punya kepastian akan kelangsungan pendidkan. (lahir disini secara harfiah dan konotatif karena sebagian besar anak anak muridku benar benar dilahirkan sendiri ibu mereka di rumah panggung itu tanpa bantuan medis)  

      Dan tiba tiba saja aku tersadar, ternyata satu satunya yang membuatku keluh dan sesal ditempatkan disini,  hanya karena masalah geografis yang tak sesuai dengan harapan dan bayanganku! 

     Dan itu membutakanku tentang keunikan desa ini dan orangnya. Membuatku luput dari banyaknya potensi tersembunyi dan kearifan hidup mereka yang selama ini tak terkabarkan. Membuatku lupa bahwa tantangan tidaklah melulu harus secara fiisk; mendaki gunung, melwati sungai lembah atau jurang.

 

    Fakta fakta di atas kupaparkan bukan untuk mengatakan bahwa aku akan menyelesaikan semua persoalan itu, aku tak akan bisa. Meskipun memang dulu sempat dilatih oleh tentara baret merah, survival di hutan yang sesaat sempat membuatku merasa menjadi rambo girl (apa hubungannya coba) :P. Hanya saja fakta fakta itu mengirim pesan yang sangat jelas padaku; bahwa ketersedian listrik dan sinyal juga kedekatan lokasiku dengan jalan poros benar benar menjadi hal kecil saja yang harusnya tidak menjadi alasan sama sekali mengapa aku tak segera berbuat sesuatu untuk orang orang disini semampuku, karena ternayta banyak hal yang bisa kulakukan dan pada saat yang sama juga belajar banyak dari mereka.

      Program ini toh bukan tentang rekreasi ke tempat paling menantang dan terpencil, bukan. Seprti kata founder program ini; Ini tentang mengisi kekurangan guru, tentang menjadi bagian dari masyarakat di belahan bumi Indonesia yang lain, mengikat tenun kebangsaan, menjadi terinpirasi oleh mereka dan berbagi inspirasi semampunya. It’s not about me, its about them. Dan aku rasa, kini tak terlalu sulit lagi karena aku mulai jatuh cinta pada desa ini, pada mereka.

 

Salah satu sudut Pundau


Cerita Lainnya

Lihat Semua