info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Rojol, Bukan Amir Khan

Jaka Arya Sakti 1 Mei 2012

Rojol bukan aktor India. Bukan temannya Kajol, apalagi Amir Khan. Dia murid saya. Hari Yuwono nama aslinya. Sapaannya Rojol atau cukup Jol. Saya tak tahu dari mana muasal atau hubungan kedua nama itu.

Rojol berumur sekitar 8 tahun. Dia sekarang duduk di kelas 2 SD. Rojol selalu bahagia dan sinar matanya memancarkan kepolosan. Apa yang istimewa dari seorang Rojol? Selain senyum khasnya, Rojol memiliki sesuatu yang mungkin saya dan banyak orang akan merasa kehilangan jika dia tidak melakukannya.

Rojol adalah makmum setia saya setiap kali sholat di surau Istiqomah, desa Semalah. Begitu suara adzan berkumandang, Rojol selalu bersiap mengenakan baju koko dan kopiahnya untuk berangkat ke mesjid. Tak jarang dia masuk ke rumah saya tinggal, berdiri di depan pintu, dan menunggui saya sedang bersiap-siap. Saat anak-anak yang lain datang dan pergi silih berganti, Rojol selalu ada di antara makmum di shaf pertama, atau di samping saya saat kami hanya berdua. Dia selalu ingin iqomah atau adzan, namun sering kali ia mengalah pada abang-abangnya. Dia pun hafal sebagian bacaan dzikir dan do’a setelah sholat.

Ia paling bersemangat saat ditunjuk membaca solawat sehabis sholat berjama’ah. Saya sulit menahan senyum bangga sekaligus geli tiap kali melihat Rojol dengan lantang dan khas membacakan solawat pada Nabi. Khawatir mengganggu konsentrasinya, saya sering melemparkan senyum pada bapak-bapak jama’ah di mesjid. Mereka pun nampak mengerti, dan membalas dengan senyum penuh kebanggaan. Bahkan Rojol sudah didaulat “anak mantu” oleh Pak Abdullah, seorang jama’ah di mesjid yang memiliki putri seumur Rojol. Ada-ada saja.

Suatu waktu, Rojol mencari saya hingga hilir kampung. Ia menemukan saya sedang terlelap di rumah salah satu warga. Ia datang dengan seragam sholat lengkap, lalu membangunkan dan mengajak, “Pak, sembahyang!” Saya pun terjaga, sekaligus tercengang.

***

Generator listrik desa dari pembiayaan PNPM bekerja dari pukul 17.30 hingga pukul 23.00 malam. Praktis, hanya sholat magrib dan isya yang mendapat jatah aliran listrik. Dan karenanya, surau pun menyala terang, dan adzan berkumandang nyaring melalui pengeras suara. Sebaliknya, waktu sholat subuh, desa  sunyi dan gelap.

Namun, Rojol bangun saat gelap subuh. Rojol mengambil air wudhu ke sungai dan sholat, sendirian. Rojol pernah menangis marah pada ibunya karena tidak dibangunkan dan terlambat sholat subuh. Rojol sungguh tangguh. Banyak orang harus berjuang setengah mati untuk memilih antara mengangkat selimut lebih tinggi atau dinginnya air wudhu.  Sedangkan Rojol dengan senang hati bangun dini hari.

“Pak, subuh nanti bangunkan saya!”, pintanya jika kami berjanji sholat subuh berjama’ah di surau. Alhamdulillah, setelah saya meminjam genarator listrik portable untuk mengalirkan listrik ke surau, cukup dengan adzan subuh, maka Rojol pun hadir.   Rojol pun selalu khusyu dalam sholatnya. Saat teman-temannya yang lain kadang bermain-main ketika sholat, Rojol tetap tak bergeming. Rojol seolah mengerti bahwa dia sedang menghadap Sang Penciptanya, dia bersikap sebaik-baiknya. Pandangannya lurus ke tempat sujudnya, mulutnya sibuk membaca bacaan sholat. Serius, penuh kesungguhan.

Pernah Rojol berkomentar, “Aku ndak mau ninggal sholat, rugi!”. Gong! Sudah bisa terbangun konsep yang abstrak di benak Rojol, saat kebanyakan anak seusianya masih pada masa kecerdasan konkrit-operasional. Bahkan orang dewasa masih banyak yang gagap dengan konsep “untung-rugi” yang satu ini. Dengan polos, tanpa siratan sombong, Rojol kadang dengan bangga berkata pelan, “Pak, aku sudah lima waktu hari ini!”.

Rojol sedang belajar mengaji. Belum sampai membaca Al-Qur’an memang. Ia masih belajar dengan metode IQRA, sudah sampai ke tingkat 5. Dia mengaji pada Ngah Idah, salah seorang warga. “Ngah” adalah panggilan untuk anak kedua dalam bahasa Ulu.

Suatu waktu Rojol sedang belajar mengaji dengan Ngah Idah. Kebetulan saya dan beberapa anak yang juga belajar mengaji ada di sana. Tiba-tiba bacaan Rojol menjadi aneh terdengar, kami mengira ia tertawa. Namun, kami sadar ternyata ia menahan tangis. Kami pun heran. Namun heran kami menjadi geli ketika kami tahu dia menangis karena belum mampu membaca dengan baik bagian yang sedang dibacanya. Kami pun kegelian, karena lantunan bacaan Rojol menjadi tersedu-sedu, bercampur dengan isak tangis. Bagaimanapun, lantunan tersedunya bernilai dua kebaikan. Kebaikan seorang pembelajar dan kebaikan seorang pembaca kitab suci.

Semoga kita dirahmati-Nya dengan Al-Qur’an, Jol!

Di lain waktu, di saat sedang banyak anak-anak gemar bermain kartu remi dengan mempertaruhkan kartu bergambar, saya mengingatkan untuk tidak belajar bermain judi. Dan di antara sekian banyak dari mereka, Rojol mengerti dan mematuhi. Jika ia terlihat berkumpul bersama anak-anak yang bermain kartu remi sambil bertaruh kartu bergambar, ia menenangkan saya, “Pak, saya tidak ikut mereka, saya cuma melihat saja.”

Ah, semoga Rojol selau dilindungi oleh-Nya dari berbagai keburukan.

***

Rojol telah mengajarkan saya banyak hal penting yang saya, dan mungkin banyak orang, telah lama lupakan maknanya. Rojol mengingatkan saya bahwa selalu ada hak sang Pencipta dalam waktu kita. Sesibuk apapun, sebanyak apapun pekerjaan, luangkanlah waktu untuk mengingat-Nya. Tidaklah lama, apalagi dibandingkan dengan banyak waktu yang kita gunakan untuk urusan-urusan pribadi dalam sehari. Tidak hanya sekedar soal kuantitas, Rojol mengajarkan saya tentang ketulusan dan kekhusyuan dalam ibadah, tanpa motif apapun, tanpa paksaan siapapun, tapi bukan pula sekedar rutinitas.

Rojol mengajarkan saya bahwa, memang benar, setiap orang fitrahnya baik. Setiap orang punya potensi yang sama untuk soleh dan dekat dengan Tuhannya. Rojol pun mengajarkan saya bahwa hidayah bisa datang pada siapapun, tanpa kecuali. Rojol buktinya. Walaupun lingkungannya tidak mengondisikannya untuk itu, ada kecerdasan spiritual (baca: fitrah) yang menjadi energi dan invisible hand (baca: hidayah) yang membimbing Rojol untuk rajin sholat dan mau belajar mengaji. Dan Rojol mengajarkan pula, hidayah itu memang perlu dicari dan dipelihara. Dan setiap orang yang ingin mendapatkannya, perlu melalui proses untuk itu, hanya butuh sedikit waktu dan kesabaran. Jika Rojol saja bisa, kita pun bisa, insya Allah.

Rojol pernah menyampaikan cita-citanya. Katanya “Aku ingin jadi ustadz turun dari jamban!”. Kenapa turun dari jamban? Tanyalah sendiri pada imajinasi Rojol. Yang penting, mari bantu saya mengamini tekadnya menjadi seorang yang berilmu, guru bagi keluarganya, bagi teman-temannya, dan bagi masyarakat di sekelilingnya. Semoga di manapun berada, kebaikan selalu diberkahkan bagi kita, Jol! Aamiin.


Cerita Lainnya

Lihat Semua