Air Mata Koma

Maisya Farhati 9 Juni 2012

“Cari yang lain saja, Bu,” kata seorang pria berkumis di depanku. Ia adalah ayah Koma, salah satu murid kelas 6 di sekolahku.

Seketika itu juga Koma menangis. Aku melihat air mata membasahi pipinya. Tangisan diam-diam yang ia sembunyikan dariku. Saat itu kulihat Koma menggenggam erat tangan ibunya sambil mengatakan sesuatu. Aku tak bisa mendengarnya.

“Koma gelem, Pak,” kata sang Ibu kepada suaminya. Namun pria berusia 40-an itu tetap pada keputusannya, bagaikan putusan hakim yang sudah diketuk palu.

Aku terdiam. Seolah seluruh semesta berhenti. Surau panggung yang terbuat dari kayu itu menjadi saksi drama sore itu. Bagaikan kisah Lintang dalam Laskar Pelangi, Koma tak bisa melanjutkan sekolah. Namun kisah ini punya jalan cerita yang agak berbeda.

***

Beberapa hari sebelumnya, aku pergi ke Tambak, kota kecamatan yang dapat ditempuh dengan motor dalam waktu sekitar 40 menit dari dusunku. Di Tambak, aku mencari informasi tentang salah satu SMP, bukan negeri, tapi aku dengar kualitasnya terbilang bagus. SMP Islamiyah namanya. Sekolah di sana gratis tanpa pungutan bulanan dan tanpa biaya masuk, sama seperti di SMP negeri. Siswa hanya membayar baju seragam olahraga dan batik, serta biaya ujian setiap ujian semester tiba. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler disana juga cukup banyak, ada drum band, teater, zamrah, dan bermacam olahraga. Aku rasa siswa yang bersekolah disana akan memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan diri.

Di sanalah rencananya aku akan menyekolahkan Koma. Komariyah nama lengkapnya. Ayahnya adalah seorang nelayan. Berbeda denga kebanyakan keluarga di Bawean, keluarga Koma tak memiliki sanak saudara yang bekerja di Malaysia. Jadi untuk biaya hidup benar-benar mengandalkan dari hasil menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang katanya ‘ghaib’ karena kita takkan pernah tahu apakah malam ini akan pulang dengan hasil tangkapan ikan atau tidak.

Karena jarak yang cukup jauh dari dusunku, aku mencarikan pondok untuk Koma. Dari orang-orang Tambak, aku direkomendasikan untuk ke rumah Bu Azizah. Banyak siswi SMP dan SMA Islamiyah yang mondok disana dan jaraknya cukup dekat dari sekolah. Berkenalan dengan Bu Azizah, aku semakin yakin bahwa Koma akan senang tinggal disana. Tempat tidurnya menyatu dengan rumah Bu Azizah. Tempatnya bersih dan nyaman. Sedangkan untuk belajar dan mengaji, ada gedung sendiri di belakang rumahnya.

Satu hal yang paling penting, Bu Azizah menganggap santrinya seperti anaknya sendiri. Para santri setiap hari makan dengan menu yang sama seperti yang ia makan hari itu. Ia juga tidak mengekang santrinya untuk berkegiatan di luar sekolah, seperti yang terjadi di beberapa pondok yang lain. Malam itu aku melihat beberapa santrinya baru pulang hampir pukul sembilan malam karena baru selesai latihan drum band. Bu Azizah ternyata adalah seorang aktivis Muslimat NU di Bawean dengan pemikiran yang cukup terbuka soal pendidikan. Rasanya aku tenang jika menitipkan Koma disana.

Koma bukanlah anak paling pintar di kelas. Ada Jannah dan Syahid, dua siswa paling berprestasi di kelas 6 yang tahun ini ikut Olimpiade Sains Kuark sampai ke babak semifinal. Kalau diperingkatkan, Koma masuk tiga atau empat besar besar di kelas. Namun, aku memilih Koma untuk disekolahkan karena Jannah dan Syahid kudengar memang sudah berencana melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Jannah akan sekolah dan mondok di Madura. Orang tua Jannah bekerja di Malaysia sebagai TKI sehingga dari segi keuangan ia cukup mampu. Sedangkan Syahid akan melanjutkan ke Tsanawiyah di Desa Telukjatidawang. Meskipun orang tua Syahid tak bisa dibilang sangat berada, namun setidaknya mereka berkecukupan dan punya kesadaran dalam hal pendidikan.

Lain ceritanya dengan Koma. Sejak awal semester dua, aku selalu bertanya-tanya akankah anak ini melanjutkan sekolah. Ia selalu bilang tak tahu dan katanya orang tuanya tak pernah menjawab jika ia menanyakan hal tersebut. Koma adalah anak yang cerdas, rajin, dan penuh semangat. Ia tak pernah bolos sekolah ataupun les jika memang tak ada kepentingan mendesak. Ia selalu hadir paling awal. Setiap sebelum les, ia mampir di rumahku untuk membaca buku. Koma senang sekali membaca dan ia bisa menghabiskan dua buku dalam sehari. Aku pernah menguji apakah ia benar-benar membaca buku atau majalah yang ia pinjam. Dan ia memang tahu seluruh isinya. Ia benar-benar membaca.

Dari kesukaannya membaca, kemampuan Koma dalam menulis mengalami peningkatan. Pemilihan katanya cukup beragam dan gaya menulisnya pun cukup menarik. Koma paling suka pelajaran Bahasa Inggris. Selain aktif saat pelajaran di kelas, Koma juga rajin ikut les Bahasa Inggris seminggu sekali yang sebetulnya aku adakan untuk remaja usia SMP dan SMA di dusunku.

Sepanjang aku mengenal Koma, bagiku Koma adalah semangat yang tak pernah padam. Cita-citanya ingin menjadi dokter, meskipun aku malah melihat Koma sepuluh tahun mendatang menjadi seorang guru Bahasa Inggris atau pekerjaan apapun yang ada hubungannya dengan pelajaran favoritnya itu. Yah...itu hanya bayanganku saja. Karena ternyata semua tak semulus yang aku dan Koma harapkan.

“Koma setelah lulus SD mau lanjut sekolah tidak?” tanyaku.

“Tak tahu, Bu...”

“Tapi kalau ada kesempatan, Koma MAU melanjutkan tidak?”

“Mau lah, Bu...” jawabnya sambil tersenyum tapi kemudian senyum itu cepat-cepat disimpannya kembali. Kurasa ia agak takut berharap.

“Ibu dan teman-teman Ibu mau membantu menyekolahkan Koma jika Koma memang sungguh-sungguh mau belajar. Koma mau?”

“Mau, Bu,” jawabnya mantap.

“Kalau sekolahnya di Tambak, Koma nggak tinggal di rumah, mau?”

“MAU! Dimana saja, Bu, asalkan sekolah.”

Percakapan itulah yang memantapkan hatiku untuk bertemu kedua orang tua Koma.

***

Orang tua Koma mengemukakan beberapa alasan ia tak mengizinkan anaknya melanjutkan sekolah. Aku duduk di hadapan keduanya sambil mencerna satu per satu alasannya. Koma juga berada di tengah kami bertiga.

“Katanya Koma takut, Bu, kalau sekolah di Tambak. Mondok lagi... Nanti tak punya teman,”

Aku tak percaya dengan alasan pertama ini. Setahuku Koma bukan anak penakut seperti itu.

“Koma, teman itu bisa dicari. Memangnya Koma takut?” Koma menggeleng. Satu kecurigaanku terjawab.

Satu yang aku tangkap, Ayah Koma ketakutan soal biaya padahal aku sudah kemukakan bahwa biaya pondok dan kebutuhan sekolah yang utama (seragam dan ujian) sudah tidak usah dipikirkan lagi. Orang tua Koma hanya menanggung kebutuhan sehari-hari (seperti uang jajan) dan kebutuhan pribadi lainnya. Pengeluran itu bisa dibilang sama saja seperti saat Koma sekolah SD. Jadi aku katakan, “Anggap saja Koma masih sekolah SD, Pak. Sekolah gratis, ditambah biaya hidup dan makan sudah ditanggung. Bapak hanya kasih Koma uang jajan atau kebutuhan sehari-hari,”

Ayahnya terlihat berat untuk melepas Koma melanjutkan sekolah. Ia berbicara berputar-putar yang lama kelamaan seperti mencari alasan. Sebelumnya aku usulkan Koma sekolah di desa agar tak terlalu jauh dan bisa tetap tinggal di rumah. Tapi ayahnya beralasan itu sulit karena tidak ada kendaraan. Akhirnya aku mencari solusi dengan menyekolahkan di Tambak dan mencarikan pondok. Dari pondok ke sekolah hanya perlu sekitar lima menit berjalan kaki.

“Yah tapi Tambak itu kurang jauh, Bu. Saya maunya di Jawa sekalian. Atau di Madura,” ungkap sang Ayah.

Aku semakin bingung. Sebetulnya apa masalahnya? Di Tambak juga sama-sama sekolah.

“Bapak, Koma punya kemauan dan kemampuan. Sayang sekali jika tidak melanjutkan sekolah. Tapi bagaimanapun semua harus atas izin orang tuanya. Mungkin ini terakhir saya tanyakan Pak, apakah Bapak mengizinkan?”

“Cari yang lain saja, Bu,” keputusan itu keluar dari mulut sang Ayah.

***

Aku melihat air mata Koma.

Air mata Koma air mataku juga.

Kekecewaan Koma kekecewaanku juga.

Kesedihan Koma kesedihanku juga.

Sore itu aku melangkah meninggalkan rumah Koma dengan dada sesak, dengan air mata yang siap tumpah. Kisah Lintang terulang lagi.

(09062011)


Cerita Lainnya

Lihat Semua