Pelajaran Di Balik Berburu Sayur Pakis
Sabar Artiyono 16 Desember 2017Cerita ini saya persembahkan bahwa setiap anak adalah istimewa, apapun bakatnya.
Minggu itu, anak-anak sudah antusias menunggu saya untuk pergi ke Telaga Biru di belakang kampung (read: masuk hutan). Kali ini adalah ketiga kalinya piknik ke telaga. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat jam tujuh pagi.
Jalanan tidak seperti biasa, banyak kerbau yang menghadang di jalan. Air parit yang biasanya setinggi mata kaki, kini menjadi sepinggang. Sayangnya, telaga yang biasanya berwarna biru/hijau, pagi itu berubah menjadi hijau kecokelatan. Semua itu dikarenakan hujan yang melanda desa selama berhari-hari.
Akan tetapi, kami tetap lahap menikmati mie instan goreng dengan nasi. Begitulah kebiasaan saya, selalu ada bekal dalam setiap perjalanan bersama anak-anak. Kami tetap bisa berenang di telaga yang super alami itu. Akan tetapi, yang beda adalah acara foto panjat pohon secara bergantian.
Setelah lelah berenang karena dinginnya air, kami pindah lokasi lagi ke Mopua, sebuah lahan maha luas yang rencananya akan dijadikan lahan peternakan sapi oleh mantan desa. Di sinilah saya melihat hamparan empang (kolam) yang begitu luas dengan angin sepoi-sepoi bercampur sengatan mentari.
Barulah mepakis (mencari sayur pakis). Lokasinya tidak jauh dari Telaga Biru dan Mopua. Akan tetapi lokasinya lebih ekstrem. Saya dipandu mereka agar tidak terkena duri dengan telanjang kaki. Anak-anak sangat jago dalam hal ini.
“Menyeberang ke sini Pak Guru, banyak pakisnya,” tutur Adit dan Aril. Perkataaan inilah yang membuat adrenalin saya naik. Untuk mencari sayur ini, harus masuk hutan. Lalu berenang menyeberangi sungai. Barulah memetik pakis di rawa-rawa, dengan kaki telanjang pula. Lewat pengalaman inilah saya merasakan bagaimana baju basah dan kering karena matahari meski menempel di badan. Wajar saja kami mendapatkan pakis satu baskom besar dari perburuan ini.
Saya melihat anak-anak santai. Bahkan mereka seperti orang dewasa yang memang berkewajiban mencari sayur pakis untuk keluarga. Tidak ada wajah was-was dari mereka. Luar biasa, apalagi Isra, satu-satunya anak perempuan yang juga ikut berenang dan masuk rawa-rawa.
Meskipun saya bisa berenang, tetapi untuk berenang di sungai yang berarus adalah tantangan bagi saya. Pernah saya ditarik mereka dengan dahan pohon karena terhantam arus. Apalagi soal rawa-rawa, kaki saya sering jinjit untuk memastikan tidak ada binatang yang aneh-aneh. Alhamdulilah selamat karena panduan dari anak-anak.
“Kemanapun pergi di kampung ini, saya bagaikan turis, dan anak-anak adalah guidenya,” batin saya setelah sampai rumah.
“Wah Pak Guru ini sudah kemana-mana ya, saya yang orang kampung belum pernah ke situ,” komentar inilah yang sering saya dapatkan setelah jalan seharian dengan anak-anak.
Mereka dibesarkan oleh alam setiap harinya. Sementara saya dibesarkan oleh media, hanya bisa melihat dan membayangkan. Mereka mengalami secara nyata, saya hanya melalui imajinasi. Itulah mengapa mereka kenal dengan pasti apa itu bahaya ketika berhadapan dengan alam. Sementara ‘bahaya’ dalam otak saya adalah sebuah prediksi dan ketakutan yang banyak tidak nyata (apalagi kasus rawa-rawa). Itulah pelajaran yang begitu membekas dalam hati saya.
Saya selalu terkejut dengan polah mereka saat bertemu dengan alam. Dan dengan sabar selalu menjawab pertanyaan yang aneh-aneh dari saya. Terima kasih sudah menjadi guide bagi saya, anak-anakku.
Salam,
Sabar Artiyono
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda