Sekelompok Anak Yang Tak Suci

Jonathan Alfrendi 14 Desember 2017
Muridku punya kebiasaan unik kala sore tiba. Aku dan mereka kerap berkumpul beralaskan tikar di teras rumah, bukan untuk bermain poker atau menenggak sopi melainkan sekedar membantu mengerjakan tugas kelompok atau lempar obrolan sambil tertawa di bawah senja. Mereka yang datang untuk berkumpul jumlahnya kadang tak menentu dan berasal dari kelas berbeda. Kadang jumlahnya belasan, lima, tujuh orang, bahkan pernah tak ada orang sama sekali. Saat berkumpul, aku suka membawa buku bacaan kepada mereka. Meski ada dari antara mereka yang masih terbata-bata saat membaca, namun mereka doyan melihat buku, kemudian membolak-balikkan setiap halaman serta berusaha untuk mengejanya. Aku berupaya secara maksimal untuk mengajari mereka yang belum pandai membaca. Seperti belajar mengenal huruf, mengenal angka, mengenal warna, menghitung juga membaca. Tetapi sore ini aku membawa buku yang isinya penuh dengan gambar buah dan wajah binatang. Hal ini sengaja aku berikan agar pengetahuan mereka kian bertambah walau mereka tak bisa melihat secara nyata dalam hidup sehari-hari. Mulanya aku sodorkan gambar buah mangga, mereka bisa menjawabnya, sebab di Raijua ada mangga. Aku sodorkan gambar babi, mereka cepat menjawabnya. Wajar karena di Raijua, setiap rumah memiliki babi. Aku sodorkan gambar kelelawar, mereka seperti kilat meresponnya. Lagi-lagi wajar karena saban sore kerap tampak segerombolan kelelawar menari di langit pulau paling tenggara Indonesia ini. Sesaat kemudian, aku memberikan gambar buaya, mereka bisa menjawabnya. Tetapi aku bingung. Sebab di Raijua tidak ada buaya. “Kamu, tahu itu gambar buaya darimana?”, tanyaku dengan penuh keheranan. “Dari tivi, pak!”, jawab mereka dengan kompak. Aku tersenyum lega karena mereka bisa menjawab semua pertanyaan, membuat diriku kian bersemangat untuk menampilkan gambar berikutnya. “Kalau yang ini apa?”, sambil kutunjukkan gambar burung perkutut. “Burung, pak”, ucap murid-muridku dengan volume suara setengah berteriak. Aku mengangguk dan membalas ucapan mereka dengan santai, “Ooo… memang siapa yang disini punya burung?” “Beta punya, pak.” teriak muridku laki-laki yang kala itu berjumlah lima orang. “Memang, dimana burungnya?”, tanyaku penuh penasaran. Dan, plang! Kelima muridku itu cengengesan dan kompak menjawab, “Disini pak.”, sambil menaruh tangannya tepat di area resleting. ***

Cerita Lainnya

Lihat Semua