Pak Mandor: Siswa Sekaligus Tukang Bangunan SMA Negeri Wawaonii Utara
Sabar Artiyono 20 Februari 2018Pagi itu, saya jogging dari rumah ke Afdelin III. Lima hari saya tidak menggerakkan kaki di bawah barisan pohon sawit. Setelah kurang lebih setengah jam, akhirnya saya sampai tujuan. Secara otomatis saya langsung lepaskan earphone dari telinga.
Tujuan pertama adalah rumah orang tuanya Gito. Sembari menunggu memandikan anaknya yang masih bayi, saya bertemu dengan walinya Pikra dan Iklan. Bukan sekedar basa-basi, pagi itu saya update tentang perkembangan anak-anak selama saya pegang. Lalu datanglah ibunya Nursan. Ceritanyapun sama.
Kemudian beralih ke rumah yang di ujung, kediamannya Apon. “Yang mana ini bapaknya Apon?” saya bertanya sambil melongok untuk memastikan. Lalu saya diajak masuk ke karpet hijau yang ada di dalam rumah.
“Wah kalau Apon ini masih perlu dibimbing dalam menulis dan membacanya Pak,” kata saya tegas.
“Kadang itu Apon kalau menulis mirip huruf China Pak,” jawab mamanya.
Kemudian terbesit senyum malu-malu dari wajah kelas satu itu. Sayapun berbagi bagaimana mengajari orang tua membaca di rumah melalui media temple-tempel. Misalnya tulisan ‘lemari’ ditempel di lemari. Kemudian cerita itu menjadi babak baru setelah suguhan teh hangat nan manis.
“Saya sempat berhenti tiga tahun setelah lulus SMP,” kata bapak itu memulai membuka masa lalunnya. Ayahnya Apon merupakan orang Wawonii (sekarang Konawe Kepulauan). Dia merantau ke Routa bekerja di kebun sawit dengan kini posisinya sebagai mandor.
“Kalau dulu, sekolah itu memang harus ada kemauan,” jelasnya semakin membuat penasaran.
“Dulu saya pas 2010, jadi siswa sekaligus yang membangun sekolah,” tandasnya.
Kala itu, ayah Apon yang masih muda angkat kayu bersama teman-temannya membangun sekolah di Wawonii. Membuat atap serta membuat jendela juga dilakukan daripada hanya sekedar menunggu cairnya dana dari pemerintah. Kala itu belum ada mobil ataupun motor yang masuk di perkampungannya. Semuanya dilakukan hanya dengan jalan kaki.
“Yang perempuan menyiapkan kue sementara kami (laki-laki) yang bekerja,” ucapnya. Kala itu, dia dan teman-temannya berhasil membangun empat ruangan yang terbagi kelas I, Kelas IPA, Kelas IPS, dan satu lagi. Baru dia naik kelas III, dia menduduki kelas permanen.
Cerita pagi itu dengan cepat menghilangkan keringat capai saya lari. Seperti cairan es batu yang saya dapatkan di water station saat half marathon. Terima kasih Pak Mandor atas ceritanya!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda