Interview Dengan Lalomerui Express
Sabar Artiyono 19 Juli 2017Dipublikasikan Pada 3 Juli 2017
Hujan kembali turun. Bukit tertutup oleh kabut. Langit pekat dengan warna abu-abu. Berkali-kali dia mencuri pandang dari balik jendela. Tidak ada yang berubah kecuali derasnya air hujan.
Telinganya sengaja disumbat dengan lantunan Everytime Close My Eyes-nya Kenny G. Ini adalah triknya agar tidak sendu mendengar rintikan hujan. Sudah berkali-kali lagu ini terputar. Jazzgasm itu berubah menjadi rasa cemas. Jarinya mulai diremas karena yang ditunggu belum datang.
Dia angkat pantat untuk keluar dari rumah panggung itu. Lagunya sudah berganti dengan daftar Hot 100 Billboard. Sayangnya, Adam Levine tidak bisa menyelesaikan Lost Starnya. Dia harus menyalami tamunya.
"Silakan masuk," katanya gugup.
"Apakah kita bisa langsung mulai?" Tanya pria berbaju hitam sambil membenahi jam tangannya.
"Tentu saja," jawabnya datar.
Pria itu langsung memasangkan clip on di kaus birunya. Badannya geli karena kabel yang menempel di badannya.
"Coba Pak tes tes," perintahnya.
"Sudah cukup suaranya segini?"
Tanyanya untuk memastikan. "Good!" Jawabnya.
Pria ini terlihat gusar. Berkali-kali dia membenarkan posisi kaca matanya sambil membuka catatan di buku merahnya. Sesekali keningnya dikerutkan seolah sedang berpikir keras. Kakinya yang dibalut sepatu hitamnya juga tidak bisa diam.
"Karena hujan, kami ambil audionya dulu ya Pak. Nanti baru keliling desa ini," pria itu menjelaskan dengan datar.
"Oh tidak masalah," timpalnya.
Pria itu membalik buku catatannya. Kali ini dia mengambil penanya yang berwarna biru. Lalu menekan tombol paling besar di mesin hitamnya.
"Coba ceritakan perasaan Bapak setelah satu bulan di Lalomerui," tanya pria itu setelah memperkenalkan nama kantornya, Lalomerui Express.
"Bulan pertama di Lalomerui mirip dengan bermain takraw untuk pertama kali," jawabnya.
Dia tahu siapa lawan dan teman satu timnya. Aturannya juga mirip dengan olahraga bulu tangkis. Jadi gampang untuk diingat. Hanya saja ketika takraw sudah di depan mata, badannya kaku. Dia bingung apakah harus menaikkan kakinya atau menyundul dengan kepala.
Itulah perasaannya. Setelah membaca laporan serta mengamati interaksi warganya. Bahkan dia semakin buntu semenjak bertemu dengan aparat desa.
"Lalu apakah sudah ada progam yang dirancang begitu?" Pria itu seolah melempar bola api di lapangan takraw.
"Saya masih menyusunnya untuk memastikan cocok dengan kebutuhan," jawabnya diplomatis.
Pertanyaan itu mengubah dirinya menjadi politikus muda. Akan tetapi kenyataannya memang seperti itu. Dia rombak dan rombak lagi hingga seperti tidak ada yang tersisa ide lagi.
"Tapi apakah Bapak mempunyai program khusus?" Sepertinya Pria ini memang ingin sekali jawaban yang tegas dan jelas.
"Ada sebenarnya dan sedang saya usahakan," ujarnya singkat.
Dia memang sedang mencetuskan program agar masyarakat melek media melalui taman bacaan. Akan tetapi, program ini juga harus dipertimbangkan. Tujuannya memang sederhana, meningkatkan sikap kritis dan peka dengan pemberitaan dan dunia sekitar.
Dia yakin program ini memang yang dibutuhkan masyarakat karena ada dua perusahaan, tambang dan sawit, yang mengelilingi rumah mereka.
"Terima kasih, Pak! Sepertinya sudah cukup," ucapnya sambil berjabat tangan.
Pria itu lalu melepas kabel yang ada di badannya. Setelah ditata rapi, dia menenteng tasnya untuk mengambil beberapa gambar.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda