info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tak Berjodoh Dengan Indonesia Timur Dan Laut #4

Ryanda Adiguna 15 Oktober 2014

Kadang sesuatu yang kau inginkan bukan sesuatu yang kau butuhkan, Tuhan lebih tau.

***

Menurut ilmu yang menelitinya, semakin ke timur suatu wilayah maka semakin duluan wilayah itu disinari matahari. Jadi semakin ke timur wilayah Indonesia, semakin duluan matahari terbit di sana. Kata orang yang pernah kesana, laut di kawasan timur itu luar biasa indahnya, menurut gambar juga begitu sepertinya. Jadi kesimpulan sementara yang aku dapat adalah, laut timur itu indah, di sana matahari terbit lebih awal, dan aku tidak pernah kesana. Kata “tidak pernah” biasanya menjadi awal dari munculnya sebuah keinginan. Ketika kata “tidak pernah” bertemu dengan “kesempatan”, maka semakin besarlah keinginan itu.

Kesempatan itu datang di depan mata. Dari 10 daerah penempatan PM 8, lokasi penempatannya merata mulai dari Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Entah kenapa aku yakin tidak akan ditempatkan di daerah Indonesia Barat terutama daerah Sumatra. Hitung-hitungannya sederhana, Aku lahir dan besar di Sumatra dan 2 penempatan berlokasi di sana, yaitu Musi Banyuasin dan Muara Enim dan Sumatra Selatan. Jadi semakin besar peluangku untuk ditempatkan semakin ke timur. Yang aku dengar, tujuan utama Pengajar Muda dikirim ke penempatan yang bukan daerah asalnya adalah menyempitkan peluang untuk pulang.

***

Dini hari di bulan Juni 2014 itu, tanggal baru saja berganti menjadi 15. Di hari yang sedini itu kami yang berjumlah 75 orang dan beberapa orang pengantar berangkat dari sebuah wisma di kawasan Jl. R.S. Fatmawati Jakarta Selatan, menggunakan 1 bus besar dan 1 bus kecil. Di bagasi-bagasi bus itu diisi koper, tas, ransel, dan perlengkapan lain. Tak muat di bagasi, maka dimuat-muatkan di selasar antara kursi, di sudut-sudut atas-bawah, depan-belakang. Ada juga yang dipangku, dipegang, dan apapun itu caranya yang penting bisa dibawa. Maklum, barang yang dibawa untuk dipakai setahun.

Tepat pukul 2 dini hari, 2 bus itu berangkat menyusuri jalanan Jakarta yang sepagi itu sudah mulai ramai (atau memang selalu ramai, atau menurutku itu ramai sedangkan tidak menurut orang lain karena berbeda definisi makna ramai). Semua hening selama perjalanan. Ada yang memejamkan mata (entah untuk tidur atau hanya tidur-tiduran), ada yang sambil mendengarkan lagu lewat hands free, ada yang tetap terjaga tapi tak bersuara, dll. Dalam diam itu Aku merasakan sedikit kegelisahan Aku gelisah karena akan pergi ke tempat yang entah ada dimana, kondisi yang entah bagaimana, entah siapa yang akan ditemui dan berbagai ke-entah-an lain. Mungkin yang lain juga rasakan hal yang sama.

***

Dua bus itu tiba di bandara Soekarno-Hatta saat langit di atasnya masih terlihat agak gelap. Maka di saat sepagi itu berkumpulah sekelompok orang mengenakan rompi seragam. Sama seperti penumpang lain, mereka sama-sama bergegas mengejar penerbangan pagi ke tujuannya masing-masing, entah sedari pukul berapa mereka berangkat menuju bandara. Ada yang pergi untuk tujuan kerja, tugas, pelatihan, berangkat umrah (ibadah), atau yang sekedar pergi liburan. Dan sekelompok orang yang berkumpul itu tau akan kemana tapi (mungkin) belum pasti tujuannya untuk apa. Bisa jadi untuk kerja, pelatihan, ibadah, jalan-jalan, atau mungkin semuanya digabung jadi satu.

***

Sekitar pertengahan bulan Mei 2014 Aku diberitahukan akan ditempatkan di Kabupaten Bima. Beberapa minggu setelah itu Aku diberitahu akan tinggal di Desa Laju Kecamatan Langgudu. Jadi, singkat cerita aku tak ditempatkan di Indonesia Timur. Desa penempatan ku tidak seperti yang “dijual” saat roadshow Indonesia Mengajar. Yang aku dengar saat itu adalah akses terbatas terhadap listrik, air, sinyal hp, jarak tempuh jauh, dan berbagai keterbatasan lain. Desa ku, kebalikannya. Listrik hampir tak pernah putus, air bersih tak pernah kering, sinyal hp baik, akses internet yang cukup bahkan aku bisa nonton youtube di desa! Jarak ke kota hanya 1 jam jika menggunakan kendaraan ribadi dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Di kota itu ada bandara yang bisa membawaku pulang ke kampung halaman jika tiba saatnya nanti. Sedangkan teman-temanku di penempatan lain, mereka merasakan akses terbatas itu. Bahkan teman-teman se-kabupaten (total ada 9 orang di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bima) merasakan itu dan aku tidak.

***

Di awal bulan Agustus 2014, desa ku mendapat kehormatan menjadi tuan rumah pelaksanaan upacara HUT Pramuka tanggal 14 Agustus. Ini adalah acara besar. Seluruh siswa, guru, Kepala Sekolah, Pengawas, perangkat desa-desa, Kepala UPTD Dikpora, petinggi Kecamatan Langgudu akan hadir pada upacara itu. Dan Siang hari tanggal 13 Agustus aku bersama beberapa orang guru dari beberapa sekolah di desaku sedang bersiap untuk gladi upacara peringatan besar itu. Gengsi desa dipertaruhkan karena ini acara besar perdana dan harus baik.

Saat sedang bersantai menunggu gladi, hp ku dikejutkan oleh sebuah panggilan dari nomor yang sering aku hubungiku.

“Nak, lagi apa?”

“Lagi persiapan Upacara Bendera, Ma. Nanda ikut melatih,” jawabku.

“Papa masuk ICU, tolong didoakan ya. Ada gejala sesak nafas, jadi diistirahatkan di ICU biar suasananya tenang”.

Sehari sebelumnya aku dikabarkan bahwa Papa ku dirawat dan harus menginap di rumah sakit. Aku tidak terlalu khawatir karena sebelumnya beliau pernah dirawat. Tapi panggilan telpon siang itu mengejutkanku. Tidak pernah beliau masuk ICU dan setauku ICU adalah tempat yang setingkat lebih tinggi untuk merawat jika tidak bisa di ruangan biasa. Artinya penyakit beliau semkan berat. Langsung aku konsultasikan kepada pihak Indonesia Mengajar tentang kemungkinan pulang jika ada kondisi tertentu.

***

Sekitar sejam setelah itu tiba-tiba datang panggilan kedua.

“Nak, kondisi Papa makin berat. Kalau bisa pulang, usahakan pulang ya”.

Singkat dan tegas, perintah untuk pulang sesegera mungkin. Saat mendaftar Indonesia Mengajar, sudah aku persiapkan diri untuk kemungkinan tidak bisa pulang. Sudah kujelaskan juga kepada orang tua ku bahwa aku akan pergi jauh dan kecil peluang untuk pulang, bahkan saat lebaran. Ku jelaskan juga bahwa peluang ku sangat besar untuk dikirim ke Indonesia Timur karena aku berasal dari Sumatra.

Dengan badan yang agak gemetar, aku bulatkan niat untuk pulang siang itu juga. Siang itu sekitar pukul 14.00, pesawat terakhir pukul 14.30. Dengan niat wallahualam, aku berangkat ke bandara dengan diantar oleh seorang guru. Jarak ke bandara sekitar 1 jam dan aku berharap dapat pesawat sore itu juga. Singkat cerita pesawatnya ditunda dan ada 1 kursi tersisa. Aku terbang menuju Pekanbaru dari Bima transit di Denpasar dan tiba di Jakarta pukul 23.00. Pesawat ke Pekanbaru sudah tidak ada jam segitu. Aku harus terbang keesokan harinya dan tiba di Pekanbaru dengan selamat, tanggal 14 Agustus 2014. Sedangkan di desa ku sedang berlangsung upacara HUT Pramuka.

Hidup kadang begitu. Kadang kita bersiap untuk suatu hal, tapi tiba-tiba kita bertemu dengan hal lain.

***

Tepat tanggal 17 Agustus aku sedang menonton tv, upacara peringatan HUT RI di Istana Merdeka di ruang tunggu ICU. Sekitar pukul 10.30 kira-kira saat bendera akan dibentangkan di tiang upacara oleh Paskibraka, datang perawat yang memanggilku dan mamaku. Saat itu, hanya panggilan seperti itu yang diharapkan datang. Jenisnya hanya 2, keadaan pasien membaik atau memburuk. Dan saat itu Dokter minta persetujuan keluarga untuk menghentikan seluruh tindakan medis. Keadaan papaku semakin memburuk, seluruh tindakan medis yang diberikan selama 4 hari terakhir tidak berdampak signifikan. Menurut ilmu kedokteran dengan kondisi saat itu, harapan hidup beliau tidak lama lagi.

Sejak keputusan menghentikan seluruh tindakan medis itu hingga pukul 14.10 itu, seluruh doa-doa, surat, ayat, bacaan la ilaha illallah aku dan keluargaku bacakan di ruang ICU itu. Tidak ada lagi pembatasan, seluruh keluarga boleh masuk. Tepat pukul 14.10 alat monitio detak jantung beliau tiba-tiba berhenti. Berubah bentuk dari gelombang menjadi garis lurus dengan bunyi tiiiiit yang panjang. Persis seperti di film atau sinetron yang pernah aku tonton saat adegan pemeran menghembuskan nafas terakhir. Saat ayat terakhir surat Yasiin selesai dibacakan, saat itu lah papaku pergi. Yang aku percaya saat itu Malaikat Izrail sudah melaksanakan tugasnya. Dan lengkap sudah janji Allah kepada Papaku;

Kullu nafsin zaikatul maut – tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan kematian.

***

Dengan tidak bermaksud mengabaikan keindahan daerah lain, Indonesia Timur memang terdengar eksotis untuk didatangi, ditambah lagi jarak yang jauh dan aku tidak pernah kesana. Harapanku memang menginjakkan kaki di Indonesia Timur ditambah adanya kesempatan. Tapi ternyata bukan itu takdirku. Aku tidak berjodoh dengan Indonesia Timur dan laut indahnya. Jodohku adalah ditakdirkan melepas Papaku pergi menemui penciptanya, memandikan, mengafani, dan menjadi imam sholat jenazahnya, serta mengantar beliau hingga ke dalam liang kubur.

Terlintas pertanyaan, bagaimana jika aku ditempatkan di daerah Indonesia Timur yang jauh? Atau di tempat yang tidak ada sinyal, listrik, harus menempuh perjalanan jauh ke kota/bandara terdekat, dan hambatan lain seperti yang aku dengar dari teman-teman Pengajar Muda 8 lainnya? Bagaimana aku akan tau kalau papaku sedang kritis jika tidak ada sinyal?

Terima kasih, kadang yang kita inginkan bukan yang kita butuhkan, Tuhan lebih tau mana yang kita butuhkan. Semoga kalian tidak harus pulang seperti ku. Semoga keluarga yang kalian tinggalkan baik-baik saja.

Selamat memasuki tanggal 15 Oktober, sudah 4 bulan sejak kita berangkat di subuh itu masih ada 7 bulan lagi. Mari selesaikan tugas ini baik, selesaikan apa yang sudah kita mulai. Dan 2 hari lagi, 2 bulan sudah setelah aku melepas Papaku.

Karena hidup tak melulu tentang duka dan kehilangan. Hidup juga tentang bagaimana menyikapi hal-hal yang tidak sesuai keinginan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua