Kreativitas Melesat di Kelas Super Darurat

Hanif Azhar 10 Oktober 2014

Pak Haniiiiiiiiip .... Pak Haniiiiiiiiip... Pak Haniiiiiiip” beberapa anak berteriak, kemudian anak-anak lain yang berada di dalam kelas keluar berhamburan seperti serangga beterbangan di sore hari. Mereka menyahutinya dengan kata serupa. “Pak Haniiiiiip, Pak Haniiiiiiip, Pak Haniiiiiiip,”.  Panggilan itu diiringi dengan lari-lari kecil kegirangan di lapangan depan sekolah. Setelah itu mereka berebut membawakan tas saya. Beberapa yang lain berebut menggandeng tangan saya. Semacam sebuah kebanggan, kalau mereka bisa menjadi ajudan saya.

Itulah situasi pagi sebagai tanda masuk di sekolah mungil ini.Bukan karena ngefans gurunya sih, tapi memang bahkan bel masuk pun mereka tak punya. Dengan setia mereka menunggu saya di depan sekolah sejak pukul 06.00 WIB, padahal waktu masuk masih pukul 07.30 WIB.

***

Pak Guru, sebutan yang cukup familiar empat bulan terakhir. Pak Guru, sebutan hangat dari mulut-mulut mungil, yang setia menyapaku setiap pagi. Mengintipku malu di balik jendela, berharap balasan atas sapaan mereka. Pak Guru, oh Pak Guru, beban moral yang harus kupikul. Pak Guru, digugu lan ditiru, sebuah tanggung jawab besar yang tak pernah terlintas, dan  saya harus membiasakan diri dengan panggilan itu. Pak guru!

Tak terasa, empat bulan sudah saya belajar sambil bermain dengan anak-anak SD N 10 Rambang di kelas jauh nan kecil. Iya, kelas yang benar-benar jauh dan kecil. Sebuah gedung semipermanen beratapkan seng seluas 6x9 m2 menjadi rumah kedua bagi 50 anak SDN 10 Rambang, Talang Airguci. Ruang belajar itu dibagi menjadi tiga sekat triplek seadanya dan ditempati oleh dua kelas sekaligus setiap sekatnya. SD tersebut hanya diajar oleh tiga guru honorer dan satu tenaga kerja sukarela, Sang Pengajar Muda.

Dapat dibayangkan, betapa tidak kondusifnya ruang kelas kami. Masyarakat pun berinisiatif  membangun kelas darurat untuk menampung anak-anak. Sebuah gubuk sederhana beratapkan daun kelapa dan berdindingkan kayu cabang pohon karet kering. Beralaskan daun kering, tanpa pintu dan jendela. Dan yang paling menyenangkan adalah tidak ada anak yang naik meja, bangku sekolah, keluar masuk lewat pagar atau jendela. Iya, karena kami memang tak punya! Hahahaa

Gubuk Kreativitas

Nah, di kelas super darurat ini, kami biasa menyebutnya dengan gubuk kreativitas. Berbagai macam eksperimen dan pembelajaran kreatif kami lakukan di sini. Termasuk kegiatan lokakarya yang merupakan program dari Pengajar Muda angkatan VIII di Kabupaten Muara Enim.

Origosystem,Belajar Kreatif Sains dan Sosial Dengan Origami

Origosystemmerupakan singkatan dari Origami-Ecosystem. Sebuah bentuk pembelajaran kreatif untuk materi tematik Kelas 3. Meliputi pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tentang mengenal makhluk hidup, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tentang lingkungan alam dan buatan, serta Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) tentang aplikasi seni rupa 3D. Origosystem juga mampu mengasah keterampilan komunikasi dalam Bahasa Indonesia.

Pengenalan makhluk hidup (ilmu sains) dan lingkungan alam serta buatan (ilmu sosial) kurang menarik apabila hanya melalui buku teks. Materi seperti ini seharusnya divisualisasikan, baik melalui foto maupun video. Peserta didik pun akan lebih mudah memahami apabila visualisasi dikombinasikan dengan pengalaman langsung melalui praktikum.

Kali ini, saya mencoba dengan mengkombinasikan berbagai macam bentuk origami dengan sistem kolase. Peserta didik akan mengenal berbagai macam klasifikasi makhluk hidup, mulai manusia, hewan, dan tumbuhan, dari aneka ragam bentuk origami. Mereka juga dapat belajar ilmu sosial tentang lingkungan alam dan buatan dengan mengkombinasikan berbagai macam origami untuk membentuk sebuah ekosistem. Belajar sains, sosial, dan kesenian 3D dengan origosystem pun jadi asyik dan menyenangkan!

Melukis Bersama Alam

            Ini adalah hasil penemuan mutakhir dari partner saya, Syamrotun Fuadiyah, Pengajar Muda dari talang sebelah. Eksperimen ini diawali dari keadaan anak didik yang tidak punya alat pewarna, padahal mereka sangat senang untuk menggambar. Anak-anak di Talang Airguci, Kecamatan Rambang, memang punya bakat alam kesenian.

            Ibu Diyah,  begitulah kami memanggilnya, mengajak anak-anak keluar kelas dan berkeliling hutan. Mereka berburu bunga berbagai macam rupa dan warna. Berbagai warna dedaunan pun mereka dapatkan. Beberapa bongkah arang, segenggam tanah kering, dan juga tanah liat. Mereka kumpulkan dan karya pun siap untuk dibuat.

            Anak-anak memulai kreasinya dengan mencoretkan bongkahan arang ke kertas putih. Beberapa mencoretkan di atas kardus bekas sebagai bahan dasar. Setelah terbentuk pola dasar gambar, mereka mulai memilah bunga, daun, dan tanah sebagai pewarna. Merah, kuning, hijau, jingga, ungu, biru, nila, semua ada! Ternyata alam begitu kaya warna. Dengan dana Rp 0,- mereka berhasil membuat karya seni yang luar biasa indah.

Jam Matahari : Cara Asyik Membaca Waktu

            Jam Matahari adalah salah satu eksperimen andalanpartner saya, Casim, dalam lokakarya kali ini. Dia mengajak segenap guru dan siswa untuk berlatih membaca waktu dengan cara yang menyenangkan, yaitu dengan memanfaatkan bayang-bayang sebuah benda dengan pencahayaan matahari. Dengan sudut yang tepat, bayangan itu dapat menunjukkan waktu dengan jitu.

            Alat dan bahannya cukup sederhana. Hanya bermodal kertas, penggaris lingkaran, kayu kering, dan paku. Anak-anak berkreasi membuat jam matahari di depan gubuk kreativitas, di bawah terik matahari siang. Panas pun mereka abaikan. Dan betapa senangnya anak-anak ketika jam mataharinya siap diamati.

Senam Dangdut Poco-poco Ala Pak Janu

            Januar Ikhsan, salah satu partner saya di Muara Enim memang sangat ahli dalam kreasi seni gerak dan olahraga. Ia memperkenalkan tari poco-poco kreasi baru kepada anak-anak di Talang Airguci. Dapat dibayangkan betapa serunya senam poco-poco dengan lagu dangdut. Suasana semakin hangat dan berkeringat! Dalam waktu sekejap, Pak Janu pun menjadi idola anak-anak. Pak Janu,U rocks!

Metode Calistung dengan Menyanyi dan Menari

            Ibu Winda dan Ibu Shofa, duet maut mengajarkan baca-tulis-hitung (calistung) untuk anak-anak kelas 1 dan 2. Berbagai macam nyanyian dan tarian mereka ajarkan. Dengan riang gembira, semua anak menirukan gerakan tubuh Ibu Winda dan nyanyian Ibu Shofa.

***

The power of kepepet

Kreativitas manusia akan melesat kalau terdesak

Kami belajar bahwa keterbatasan bukanlah alasan

Iya, Semua potensi akan keluar dalam keadaan titik nol, kawan

 

Teringat sebuah pesan pengabdian...

Tunjuk satu titik dimanapun di atas peta Indonesia...

            Setiap anak dimanapun disana berhak mendapatkan pendidikan yang layak...

            Di sanalah lahan-lahan pengabdian bagi Pengajar Muda terhampar...

            Pengajar Muda, selamat menikmati petualangan di kelas-kelas kecil kalian..

 

Salam,

Keluarga Besar Gerakan Indonesia Mengajar.

 

NB : gambar-gambar dokumentasi eksperimen dapat dilihat di blog pribadi saya (http://www.hanifazhar.net/2014/10/kreativitas-melesat-di-kelas-super.html)


Cerita Lainnya

Lihat Semua