Renungan Adik Kecil dan Pertanyaan tentang Tuhan

Aidell Fitri Rachmawati 10 Oktober 2014

Bu guru...siapa yang menciptakan bawang bu?

Bu guru...di Jawa ada sapi? Kalo kambing ada bu? Ayam?

“Bu guru... kalo awan nda nempel sama langit, dong kenapa dia nda jatuh?”

“Bu guru...kenapa yang bergerak itu rahang bawah kita, bukan yang atas?”

Bu guru...Nabi Muhammad itu Tuhan?

Ya, hari-hariku di Tambora selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari Ajar, adik kecilku yang masih duduk di kelas 4 SD. Saat sarapan, saat berjalan ke sekolah, saat memasak di dapur, dan bahkan sebelum aku terlelap tidur, selalu saja ada pertanyaan menggelitik yang ia tanyakan.

***

Ini purnamaku yang ke-3 di Tambora. Bulannya terlihat cantik sekali, bulat penuh. Aku yang selalu menyukai langit malam biasanya sangat girang jika tidak ada awan yang menyaput gemintang. Di sini, di Tambora, aku bisa puas memandangi bintang setiap hari karena tidak ada polusi cahaya seperti di kota. Setiap malam kampungku memang gelap karena tidak semua rumah dipasangi listrik. Rumahku sendiri sudah dipasangi listrik, namun seringkali tegangannya turun sehingga lampunya mati.

Salah satu rutinitasku setiap malam adalah pergi ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah kayu kami. Biasanya aku dan Ajar saling menunggu karena kami berdua adalah pasangan guru-murid yang sama-sama penakut. Saat menunggu Ajar, aku arahkan pandangan mata ke atas, melihat bulan yang cahayanya mendominasi langit.  

“Cantik ya, Jar”

Kalimat itu rutin aku lontarkan ketika kami berdua melihat langit Tambora yang memesona mata.

“Jar, pernah liat permukaan bulan nda?”

Aku bertanya disusul dengan gelengan kepalanya. Rambutnya yang lurus panjang dan diikat ekor kuda ikut bergoyang. Aku kemudian mengambil laptop, mengajaknya duduk manis dan membuka aplikasi Stellarium, semacam peta bintang digital yang memuat macam-macam informasi mengenai benda langit. Kepadanya aku perlihatkan gambaran bulan dari dekat. Dia terlihat takjub dan mengeluarkan bunyi ”eeeeeh” panjang dari mulutnya.

“Bu, benar kata Kak Suhar, bulan itu bolong-bolong, nda rata ya Bu yah. Kalau kita ke sana naik roket bu?”

“Iya ni, nanti Sudirman yang pergi ke sana.”

“Ooooh jadi astronot ya Bu yah, deh kenapa Ibu nda mau jadi astronot?”

Aku hanya tersenyum.    

“Kalau bintang bagaimana Bu Guru?”

Aku jelaskan semuanya dengan gambar dan vidio. Tentang bintang yang berpijar panas, tentang matahari yang sebenarnya adalah bintang, tentang jauhnya jarak bumi-matahari dibandingkan dengan jarak Bima-Tambora, dan tentang seberapa besar matahari jika dibandingkan dengan bumi. Dia melihat dengan takjub, kemudian terdiam. Dahinya berkerut, hal yang selalu dia lakukan ketika sedang berpikir serius.

“Jadi kita tinggal di dalam bumi ini bu?” katanya sambil menunjuk gambar planet bumi yang terpampang di laptop.

“Di atasnya Jar” aku mengoreksi

“Iya ni maksud saya begitu, dong gimana kalo kita tinggal di dalamnya. Nda bisa hidup ni bu”

Dia kemudian terdiam kembali. Tangannya menyangga dagu. Aku sibuk mencari vidio-vidio lain untuk diperlihatkan kepadanya.

“Bu guru... kalau Tuhan itu adanya di mana?”

Aku menghentikan gerakan, lalu melihat ke arahnya.

“Eeeeh, kenapa ni bertanya seperti itu, Jar?”

Masih dengan tampang serius dia menjawab

“Iya niiii, saya mau tau bu.. Bu guru punya vidio tentang tuhan? Di laptopnya bu guru ada?”

Aku menggelengkan kepala

“Bagaimana ya Bu rupanya Tuhan, Bu Guru nda pernah lihat?”

Aku terdiam menghadapi pertanyaan Ajar. Seakan kembali ke lima belas tahun lalu, ketika aku menanyakan hal yang sama kepada guru mengaji. Aku pun jadi bertanya-tanya, apakah setiap anak selalu melewati fase “mempertanyakan Tuhan”? Entahlah, yang jelas pertanyaan polos dari Ajar cukup membuatku kebingungan. Bagaimana ya cara menjawabnya. Adik kecilku yang satu ini memang senang sekali membuat ibu gurunya kebingungan menghadapi pertanyaan-pertanyaannya yang sederhana.

Akhirnya setelah menimbang dan memilih kata-kata, aku menjelaskan kepadanya bahwa Tuhan itu tidaklah perlu dipertanyakan bentuk dan rupanya. Tuhan ada di mana-mana, Dia dekat dan selalu mengawasi kita. Yang perlu kita lakukan adalah merasakan keberadaannya dalam hati. Haaaa pasti membingungkan untuk anak umur 9 tahun. Tapi sampai saat ini mungkin jawaban seperti itu saja yang cukup dia tahu. Seiring berjalannya waktu dia akan menemukan jawaban lain yang lebih baik, semoga.

-Langit Tambora, September 2014-


Cerita Lainnya

Lihat Semua