Belajar dari Pohon Lontar
Farli Sukanto 10 Oktober 2014Pulau Rote, yang oleh orang-orang lokalnya juga disebut Lote, adalah sebuah pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur di Gugus Kepulauan Sunda Kecil. Selain sebagai wilayah paling selatan di Indonesia, Rote juga dikenal sebagai Nusa Lontar. Lontar di sini adalah nama pohon yang mungkin lebih umum dikenal sebagai Siwalan, sejenis palma yang dapat tumbuh hingga usia seratus tahun di wilayah Asia Selatan dan Tenggara.
Di Rote, pohon-pohon lontar adalah penguasa vegetasi. Di Oeulu, dusun penempatan saya di pesisir Rote Timur, dia tumbuh tinggi-tinggi menjulang mengalahkan pohon-pohon kelapa. Setiap tahun, mulai bulan Agustus hingga November, para Bapak tanpa kenal lelah akan naik turun pohon lontar menyadap karangan bunga atau tongkol bunga betinanya untuk mengumpulkan ber-barrel-barrel air nira atau yang disebut masyarakat lokal sebagai tuak. Empat bulan inilah yang dikenal sebagai musim sada tuak di Rote.
Sedari kecil, anak-anak Oeulu sudah akrab dengan pohon lontar. Pelepah pohon yang sudah kering dan jatuh ke tanah menjadi teman bermainnya walaupun hanya sekedar didorong-dorong dan ditarik-tarik ke sana dan ke sini layaknya gerobak balap. Saat akan datang musim sada tuak, ada Oe No Kili Vepa (dalam bahasa Rote Timur berarti air kelapa dan mengiris pelepah lontar) yaitu saat seisi rumah berkumpul dimana para laki-laki akan mengiris pelepah lontar dan mengikatnya satu persatu menjadi anak tangga panjat pohon lontar sementara anak-anak perempuan membantu ibu di dapur menyiapkan masakan berunsur santan serta penganan-penganan lain. Tidak jarang juga, saat musim sada tuak tiba, beberapa anak menemani ibu mereka memasak air nira yang berhasil dikumpulkan Si Bapak hingga matang.
Kedekatan pohon lontar dengan kehidupan anak-anak murid saya inilah yang saya manfaatkan sebagai metode mengajar. Harapan saya adalah dengan menggunakan apa yang setiap hari mereka lihat akan membantu mereka mengingat apa yang saya ajarkan. Serta menggunakan apa yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka ini juga memudahkan saya untuk memaknakan apa yang saya ajarkan kepada mereka. Namanya Pohon Lontar Kebaikan, ide ini merupakan modifikasi dari Pohon Kebaikan-nya Priska Sebayang Pengajar Muda Angkatan ke-4 yang bertugas di Pulau Kawio, Sangihe, Sulawesi Utara.
Hari itu mata anak-anak murid saya lebih berbinar saat saya masuk kelas dengan beberapa gulung karton warna-warni yang mencuat dari sebuah kantung plastik yang saya jinjing, ada beberapa gunting dan lem di dalamnya. Kebahagiaan mereka meledak saat saya mengumumkan bahwa kami akan bersama-sama membuat pohon lontar sebagai penghias dinding kelas kami dari bahan dan alat yang saya bawa. Dalam sekejap, karton coklat yang saya bawa sudah berubah rupa jadi batang pohon lontar, karton kuning diguntingnya segitiga menjadi apa yang mereka sebut bebak atau pelepah lontar yang tumbuh mencuat dari batang pohon lontar, dan karton hijau menjadi daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun lontar memang serupa kipas bundar.
Di tengah kebanggaan murid-murid saya atas hasil buah tangan mereka yang kini memberi sedikit warna pada kelas kesayangan kami, saya pun menyampaikan sebuah kesepakatan kepada mereka bahwa pohon ini akan berbuah kebaikan setiap siapapun melakukan kebaikan itu. Pohon Lontar Kebaikan akan berbuah Ringan Tangan saat ada yang menolong temannya, atau berbuah Pemberani saat ada yang berani meminta maaf setelah berbuat salah pada temannya, itu janji saya. Harapannya sedikit demi sedikit pohon lontar ini dapat membuahkan banyak hal-hal baik yang dapat mereka baca setiap hari. Dengan hanya kata-kata positif yang mereka perhatikan setiap hari di kelas, saya berharap sifat-sifat itu jugalah yang tumbuh subur di dalam mereka.
Dan kemanapun mereka pergi dan melihat pohon lontar, semoga buah-buah kebaikan itulah yang senantiasa mereka ingat.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda