info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menuai Kebaikan Yang Ditanam Orang Lain #2

Ryanda Adiguna 19 Juli 2014

Ada sebuah peribahasa berbunyi, “Siapa yang menanam, Dia yang menuai.” Artinya lebih kurang, siapa yang berbuat, maka akan bertanggung jawab atas akibat baik atau buruk yang tecipta setelahnya. Di Indonesia Mengajar hal itu mungkin tidak berlaku, lain yang berbuat lain yang bertanggung jawab. Begini ceritanya:

***

Pada malam itu tanggal 26 Mei 2014 di kawasan Cisarua Puncak Bogor tempat pelatihan Intensif Indonesia Mengajar angkatan 8, datanglah seseorang Bapak bernama Hikmat Hardono. Beliau adalah Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Mengajar, penanggung jawab paling besar dari Gerakan Indonesia Mengajar. Malam itu adalah materi refleksi setelah kami memasuki minggu ke 5 pelatihan Intensif Pengajar Muda. Kemudian beliau bercerita tentang perjalanannya seminggu yang lalu ke Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel). Lebih kurang begini kalimatnya:

“Saya baru saja pulang dari Kabupaten Halmahera Selatan. Di sana ada sebuah desa yang di desa itu muncul gerakan bernama Pemuda Penggerak Desa. Inisiatif ini muncul berdasarkan kegelisahan bahwa keberadaan PM akan segera berakhir di desa tersebut pada bulan Desember 2015. Ketergantungan terhadap PM harus segera diakhiri dan dicarikan penggantinya.”

“Gerakan Pemuda Penggerak Desa ini lahir setelah 3,5 tahun keberadaan PM di desa tersebut. Gerakan ini lahir karena adanya orang yang melakukan hal yang baik secara terus menerus. Gerakan ini lahir karena adanya orang yang ingin ikut serta (sadar) untuk melakukan hal baik.”

“Gerakan seperti itu dipanen di Halsel setelah 3,5 tahun keberadaan PM di sana. Bisa jadi gerakan atau inisiatif serupa akan muncul/lahir di desa-desa lain, di penempatan PM 8 tahun ini. Karena ini adalah tahun ke 4, bersiaplah jika kalian akan temukan mereka di penempatan. Bersiaplah kalian untuk memanen hasil tersebut”.

Memanen Kebaikan Yang Ditanam Orang Lain

Begitu lebih kurang kalimat beliau, bersiaplah memanen apa yang sudah ditanam oleh orang lain, oleh PM sebelumnya. Dan saya baru saja (semacam) memanen apa yang sudah ditanam oleh PM sebelumnya. Tanggal 2 Juli 2014 yang lalu saya berkesempatan mengantar 6 orang pelajar lulusan SD dari beberapa sekolah di Desa Karumbu, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya ikut menjadi saksi berangkatnya 6 orang pemberani sekaligus inspirator.

Mereka lulus seleksi untuk sekolah di SMART Ekselensia Indonesia. Sekilas tentang SMART Ekselensia Indonesia menurut website www.smartekselensia.net, “Merupakan sekolah bebas biaya, unggulan, berasrama dan akselerasi pertama di Indonesia. Diresmikan pada 29 Juli 2004 dengan lokasi terletak di Jalan Raya Parung KM 42-Bogor, Jawa Barat. Sekolah ini adalah salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa, yang merupakan sekolah menengah setingkat SMP dan SMA khusus bagi siswa laki-laki lulusan sekolah dasar yang memiliki potensi intelektual tinggi namun memiliki keterbatasan finansial”. Siswa laki-laki yang memiliki potensi kecerdasan tinggi dan keterbatasan finansial, itu syarat utamanya.

Jadi, siang hari tanggal 2 Juli 2014 itu saya berkesempatan mengantarkan mereka ke bandara. Di pelepasan itu hadir Kepala Sekolah masing-masing siswa, orang tua, keluarga, teman, guru, dan semua yang ikut mengantar. Dilepas oleh Kepala UPT Dikpora Langgudu, siang itu ada rasa haru bercampur bangga yang terpancar dari balik kelopak mata para pengantar. Ada gumpalan air yang terkumpul di pinggiran mata dan perlahan menetes. Air mata kebanggan atas prestasi mereka dan air mata haru karena akan berpisah. Saya bersama Riri, PM yang bertugas di Desa Karumbu dan satu kecamatan dengan saya, mencoba membesar-besarkan hati mereka yang ikut mengantarkan.

“Dulu, Bung Karno, Presiden Indonesia yang pertama pergi keluar dari tanah kelahirannya untuk sekolah ke Kota Bandung. Bung Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama juga sekolah jauh dari kampung halamannya, beliau sekolah hingga ke negeri Belanda. Karena sekolah, Kedua orang itu berkesempaan menjadi proklamator Indonesia dan nama mereka kemudian diabadikan menjadi nama Bandara Soekarno-Hatta, Bandara yang Insya Allah akan kalian datangi dalam beberapa jam lagi.” Ujar Riri.

“Sejarah mencatat banyak orang-orang yang menjadi hebat dan besar karena pergi jauh dari tanah kelahirannya untuk belajar. Hari ini adik-adik mendapat kesempatan itu dan manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Se-Indonesia hanya ada dipilih 35 orang penerima beasiswa ini, 6 di antaranya adalah adik-adik. Untuk orang tua dan keluarga yang ditinggalkan, pasti berat rasanya melepaskan mereka untuk pergi jauh. Tapi perlu diingat bahwa ini bukanlah pengorbanan, ini adalah kehormatan  bagi Bapak Ibu. Kehormatan karena Bapak Ibu memberikan bukti tentang pentingnya pendidikan dan harus dikejar. Ini akan dicatat oleh sejarah keluarga, oleh masyarakat, oleh sekolah dan setiap tahun ini akan terus diceritakan.”

Memanen Cerita Positif dan Memberi Dampak

Mengutip paragraf 12 dari sub-tulisan Melipatgandakan Dampak:

“Selama 4 tahun ini pula Indonesia Mengajar menyaksikan ada banyak perubahan positif yang terjadi. Mulai dari guru setempat yang semakin rajin hadir mengajar dan menggunakan metode kreatif, kepala sekolah yang terpacu mengelola manajemen sekolah jadi lebih baik, orang tua yang ikut mengawal proses pendidikan anaknya, hingga siswa-siswi dari SD terpencil yang mulanya tak diperhitungkan kini dikagumi karena mampu berprestasi hingga tingkat nasional.”

Di Indonesia Mengajar kami menyebutnya dengan penanda kemajuan. Yaitu tanda-tanda yang menunjukkan adanya kemajuan di penempatan yang ditandai dengan ditemukannya cerita-cerita positif. Cerita di atas saya anggap sebagai cerita positif yang dipanen karena ada orang secara sadar melakukan hal baik secara terus menerus. Keberangkatan 6 orang siswa tersebut akan memberikan dampak positif jangka panjang bagi masyarakat di sekitar desa yang mengenal mereka.

Bayangkan anak yang baru lulus SD dilepas pergi jauh untuk balajar. Mereka pergi dengan pesawat dan hampir seluruh anggota keluarga yang mengantar belum pernah sekalipun naik pesawat, juga tetangga dan teman-teman yang ikut mengantar. Dari rombongan yang mengantar, bisa dihitung jari yang pernah naik pesawat. Beberapa juga ada yang baru pertama kali masuk ke dalam bandara, padahal setiap perjalanan mereka dari desa ke Kota Bima selalu melewati bandara tersebut.

Setelah melalui proses check-in dsb, para pengantar menunggu dan melihat hingga mereka ber 6 naik ke dalam pesawat. Saat pesawat tinggal landas, tangis dari orang tua dan yang mengantar meraung semakin kencang. Maklum, karena itu perpisahan. Saat mendengar tangis itu, saya teringat pernah 3 kali menangis saat perpisahan mengantar Kakek, Nenek, Orang tua saya pergi berangkat haji. Padahal itu adalah perpisahan yang paling lama 40 hari. Saya juga sedikit terharu ketika berpisah saat akan berangkat ke pelatihan dan penempatan Indonesia Mengajar. Padahal perpisahan untuk 1 tahun lebih sedikit dan saya sudah berumur 24 tahun saat itu. Sedang mereka baru lulus SD dan perpisahan itu akan berlangsung 5 tahun.

Guru-guru yang pernah mengajar mereka saat di SD dan berkesempatan mengantar pada hari itu, juga ada yang belum pernah naik pesawat. Kemudian seorang guru bertanya pada saya,

“Pak Ryan, kalau dari Bima ni ke Jakarta naik pesawat, berapa lama sampainya?”

“Ditambah transit di Bali, sekitar 5 jam buk”, jawab saya.

“Cepat ya sampainya. Kalau saya dulu pernah ke Jakarta naik bus. Lamanya  3 hari 3 malam, 3 kali menyebrang laut. Saya harus bisa naik pesawat, Pak Ryan. Saya akan ikut lomba atau apapun itu yang bisa membawa saya ke Jakarta naik pesawat. Saya tidak mau kalah dengan siswa saya”

Saya yakin cerita tentang Jakarta, Pulau Jawa dan cerita tentang pesawat terbang akan menjadi motivasi yang menarik untuk dikejar. Jakarta dan Pulau Jawa sering jadi cerita indah dan motivasi bagi mereka yang berasal dari luar Jawa, untuk mereka yang tinggal jauh dari ibukota. Saya pun dulu pernah begitu.

Sekedar informasi, 5 dari 6 siswa itu tidak berasal dari sekolah tempat PM mengajar. Mereka tidak secara langsung diajar oleh PM. Jadi, sebenarnya ada ataupun tidak adanya PM di sebuah tempat, sebenarnya cerita penanda kemajuan itu selalu ada. Dan setahun ini saya yakin akan memanen banyak cerita penanda kemajuan itu, cerita yang ditanam oleh orang lain, ataupun hanya akan menjadi saksi lahirnya cerita-cerita tersebut untuk kemudian diceritakan.

Saat tulisan ini diunggah, kami memasuki bulan ke dua di penempatan dan sudah melihat purnama pertama.

Tulisan lain:

Sebuah kesempatan bernama Indonesia Mengajar #1

Lebaran, Rendang, dan Memori Jangka Panjang Otak #3

Tak Berjodoh Dengan Indonesia Timur dan Laut #4


Cerita Lainnya

Lihat Semua