info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

The Method Of My Own

Roy Wirapati 2 November 2010
Rabu, 27 Oktober 2010 Hingga dini hari aku masih terjaga, bukan karena kontemplasi yang biasa kulakukan sejak kecil hingga kuperoleh kantung mata ini, tetapi untuk mencari jati diriku dalam mengajar. Aku berusaha untuk menggali seperti apa tipe diriku. Aku memulai dari caraku belajar. Aku terbiasa belajar dengan menvisualisasikan apa yang berada di kepalaku ke dalam sebuah simulasi buatanku sendiri sejak kecil. Aku tidak bisa belajar hanya dengan melihat ribuan huruf kecil-kecil terpampang di depan mataku. Aku membutuhkan sebuah gambaran visual, tetapi tidak dengan mataku, tetapi dengan pikiranku. Tetapi, kembali pada keta-kata keramat milik dosenku, it’s not about me, it’s about them. Saat itulah kudapati bahwa mengapa kulihat diriku. Aku harus lebih mengerti anak-anak, terutama para murid SDN Cikereteg 03. Kucoba selami kegagalanku dan juga bagaimana mereka bertindak selama ini. Mereka adalah anak-anak yang terbiasa untuk tidak aktif jika tidak melakukan sebuah gerakan tertentu. Mereka akan lebih mudah menjawab kalau diberikan sebuah aktivitas fisik. Apakah ini berarti aku harus terus-menerus memberikan mereka permainan? Tetapi, lagi-lagi aku terbentur sebuah penghalang. Bukankah itu berarti metodeku tidak autentik? Aku tidak memiliki ciri khas jika metodeku harus terus berubah setiap kali aku menghadapi orang yang berbeda. Aku harus bisa memperoleh ciri khasku. Metode apakah yang cocok dengan kebiasaanku dan anak-anak pada umumnya. Hingga pagi aku menyiapkan bahan ajar, pikiranku masih melayang pada gaya mengajarku yang orisinil. Baiklah mungkin tidak orisinil karena orang lain mungkin sudah pernah memilikinya tetapi setidaknya sesuatu yang bisa membuatku nyaman karena sesuai dengan diriku sendiri. Mungkin lebih tepat kalau kembali kusebut sebagai autentik. Akhirnya aku berangkat ke sekolah dengan perencanaan yang cukup matang dari segi RPP dan visualisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa persiapanku hari ini jauh lebih siap dibandingkan kemarin. Setibanya di sekolah, aku langssung memasuki ruang kelas 6B yang cukup sering aku observasi selama ini. Mereka sudah mengenalku sehingga cukup menghemat waktu untuk perkenalan. Kali ini aku akan mengajari mereka Bahasa Inggris dengan tema “In The Forest” atau “Di Dalam Hutan” di mana kosa kata dan konteks baru yang kuajarkan kepada mereka harus kusampaikan dengan penyajian berlatar belakang hutan. Hari ini aku akan mengajari mereka kosa kata hewan-hewan di hutan beserta perbandingan sifat dalam bahasa inggris. Saat aku bersiap untuk mengajar, aku melihat gambar-gambar hewan dan bahasa inggrisnya yang telah kusiapkan. Rasa ragu menyerang hatiku. Apakah aku bisa mengajarkan bahasa inggris yang sedari awal aku tidak memiliki buku teksnya dan bukan disiplin ilmuku, serta terlebih lagi dengan menyenangkan bagi anak SD. Saat pelajaran akan segera kumulai, sedikit terbesit di pikiranku. Akan kubiarkan mereka yang berimajinasi. Semenjak dulu aku dan teman-temanku di sekolah sangat suka berimajinasi. Jangankan anak SD, bahkan anak SMA atau kuliah sangat menyukai konsep yang disebut imajinasi. Karena dalam imajinasilah mereka bebas berpikir. Karena dalam imajinasilah mereka dapat menjadi diri sendiri dan berani untuk berpendapat. Akhirnya kuberikan kepada mereka waktu untuk berpikir mengenai hutan. Kubiarkan mereka berimajinasi seperti apa hutan tersebut. Apakah pohonnya rapat? Apakah pohonnya tinggi? Apakah gelap? Terus kutanamkan kata-kata penuh imajinasi hingga akhirnya aku sampai kepada sebuah pernyataan, binatang apa saja yang ada di sana? Kemudian, kukeluarkan semua gambar hewanku dan kutempel terbalik di papan tulis. Aku meminta mereka untuk menebak isi kepalaku. Gambar hewan-hewan tersebut adalah hewan yang terbesit di pikiranku saat kubuat pelajaran hari ini. Tidak semua hewan terpikirkan. Dan untuk itulah, tugas mereka adalah menebaknya. Sebagian besar dari mereka menebak benar karena sudah sempat mengintipnya. Kemudian mereka mulai salah. Mereka mulai menebak hewan-hewan yang tidak kupikirkan. Tetapi, aku tidak melihat itu sebagai kesalahan. Sebaliknya kugunakan untuk menambah kosa kata hewan yang dapat kuberikan kepada mereka. Sehingga, baik yang salah maupun benar mereka akan mendapatkan hal yang baru. Kemudian kuberikan mereka kartu-kartu yang menuliskan kata sifat yang bisa menunjukkan masing-masing hewan tersebut secara satu-persatu. Mereka dengan antusias menempelkan kata-kata sifat tersebut kepada hewan-hewan tersebut. Ada yang kurang tepat, ada pula yang sangat tepat. Pada saat semua kartu sudah kukeluarkan, mereka mulai menyadari ada yang salah dengan penempatan kata sifatnya. Kata sifat yang tersisa tidak cocok dengan hewan yang tersisa. Akhirnya mereka pun mulai saling bertukar satu sama lain. Mereka bernegosiasi dengan temannya untuk bisa mendapatkan kata sifat yang tepat. Aku hanya bisa melihat mereka sambil tersenyum. Inilah salah satu konstruktivisme yang baru saja kutemukan. Konstruktivisme ciri khasku yang membiarkan mereka merasa salah dengan sendirinya tanpa harus kufasilitasi. Dengan demikian pemahaman mereka akan semakin terbangun. Akhirnya setelah mereka bertukar, mereka pun memperoleh jawaban yang tepat. Saat itulah aku menghitung nilai mereka. Dalam sebuah kesempatan, salah satu anak protes karena nilai diberikan kepada kelompok yang menukar kartu sifat itu sementara kelompok yang memilikinya tidak memperoleh nilai. Pada saat itulah aku langsung meminta maaf karena lupa dan memberikan nilai kepada keduanya. Saat mereka tahu aku memberi nilai pada keduanya, mereka tampak masih kurang puas. Sehingga aku pun kembali mengatakan kepada mereka, bahwa pada dasarnya jawaban sebelum ditukar itu kurang tepat. Kelompok yang menukar, namanya kelompok Angin, melihat kesalahan yang dilakukan oleh kelompok Api dan menukarnya dengan kesepakatan bersama. Dalam hal ini terlihat konsep saling tolong-menolong. Kelompok Angin mengingatkan bahwa kelompok Api salah, dan kelompok Api menerima dengan lapang dada kesalahannya dan bersedia bertukar. Dalam hal ini keduanya bertindak benar sehingga patut diberikan nilai plus untuk keduanya. Kemudian kutanya lagi kepada seluruh murid apakah tindakanku ini adil dan mereka semua menyetujui makna tersirat dari tindakanku ini. Saat itulah aku tersentak. Secara tidak sadar aku melakukan sesuatu yang selalu kulakukan setiap kali aku mengajar. Aku secara tidak sadar tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga pelajaran mengenai akhlak mulia dari sudut pandangku. Aku tidak menggunakan sistem ceramah biasa tetapi memberikan mereka contoh yang konkrit yang mereka sendiri lakukan. Ini tidak direncanakan tetapi mengalir begitu saja. Saat itulah aku menyempurnakan gaya mengajar autentikku. Mungkin aku tidak berakhlak semulia kawan-kawanku di sini tetapi setidaknya aku bisa memberikan mereka saran-saran yang berharga bagi kehidupan. Kelas hari ini pun berakhir dengan sangat baik. Aku merasa telah berhasil mengendalikan kelas hari ini. Tidak seperti hari sebelumnya. Kali ini aku telah menvisualisasikannya sebelumnya dengan sangat baik. Sehingga aku siap dengan segala kemungkinan. Aku telah menetapkan. Apa yang kulakukan hari ini akan menjadi gaya mengajarku di masa depan. Imajinatif, konstruktif dan inspiratif. Mungkin tidak orisinil, tetapi dapat dibilang inilah gayaku sendiri yang kuperoleh melalui kontemplasi diriku sendiri, tidak mencontoh dari orang lain atau mendapatkan saran dari orang lain. Aku merasa nyaman dengan gaya ini. Now, what’s left is to find my original style, a style that no one can copy. It’s still a long way to go. I need to find it somehow, no matter how long it takes. I’m still far from GTR, but I feel like approaching closer and closer. It begins with one small step to make a giant leap. Dream On! Wirapati

Cerita Lainnya

Lihat Semua