Tentang "Cinta Satu Arah" dan "Inti Pendidikan"
Roy Wirapati 24 Maret 2011
Bukittinggi, 29 Desember 2010
Tentu kalian agak bingung melihat tempat dituliskannya kisah ini di atas. Bukittinggi? Sedang apa aku berada beratus-ratus kilometer dari Pulau Rupat ini. Ya, inilah kisahnya. Pada saat liburan sekolah semester 1 ini, aku diundang oleh orang tua dari sahabat PM-ku yang ditugaskan di Halmahera Selatan, Dika, untuk mengunjungi kampung halaman mereka di Bukittinggi. Orang tua dari sahabatku ini bernama Om Syafril dan Tante Yul. Akhirnya kami ber-10 dari Tim Bengkalis pun keluar dari sarang tempat kami bertugas ini dan melakukan perjalanan ke Bukittinggi bersama dengan Om Syafril dan Tante Yul.
Perjalanan ini telah membawa kami melihat berbagai macam sisi lain dari Indonesia. Aku yang mungkin selama ini mentok-mentok saja di Pulau Jawa, lebih parahnya lagi di Jakarta, akhirnya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk melihat Indonesia dengan lebih banyak. Sumatera Barat memang merupakan negeri yang sangat luar biasa. Provinsi ini didominasi oleh perbukitan sehingga secara umum provinsi ini memang terletak di tempat tinggi sehingga mayoritas beriklim sejuk. Memang sangat sejuk, bahkan terkadang terasa dingin jika malam atau mendung. Aku hampir tidak berganti baju seharian kecuali jika terkena kotoran karena selama di tempat ini aku tidak berkeringat sama sekali, kecuali kalau menahan buang air besar karena sialnya aku terkena diare selama di Bukittinggi.
Perjalanan ini mempertemukanku dengan Jam Gadang, Danau Singkarak, Ngarai Sianok, Lembah Anai, Pasar Atas, Pasar Bawah, Benteng Fort de Cock, dan Jembatan Limpapeh. Semua itu adalah lanskap-lanskap dari Bukittinggi dan sekitarnya yang kukunjungi selama di Bukittinggi. Sayang aku belum sempat mengunjungi Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Maninjau. Perjalanan ini menunjukkanku sebuah keindahan Indonesia yang luar biasa. Aku jadi ingin menjelajahi negeri ini lebih jauh. Mungkin akan kulakukan setelah menyelesaikan tugasku selama setahun, demi memperkaya diriku akan wawasan nusantara.
Perjalanan ini juga mempertemukanku pada figur Om Syafril dan Tante Yul yang mengajariku cukup banyak hal tentang pendidikan dan cinta kasih. Beliau-beliau ini sudah sangat lama berkecimpung di dunia itu, tentu saja aku meminta saran-saran dari beliau-beliau ini. Dalam sebuah pembicaraan, entah di mana, atau mungkin aku hanya mendengarnya saja sekilas dari Rangga, Om Syafril pernah berkata demikian:
Cinta itu adalah jalan satu arah. Berikan saja diri kita sepenuhnya, tak perlu mengharapkan kembali.
Aku benar-benar tergugah mendengar kata-kata itu. Memang benar, cinta itu bukanlah jalan dua arah, di mana kita memberikan ke seseorang dan orang tersebut mengembalikannya kepada kita. Kalau dua arah, berarti itu adalah saling mencintai. Tetapi cinta haruslah satu arah. Tak perlu kita harapkan kembali, yang penting kita sudah berikan cinta kita ini kepada orang lain. Termasuk kepada muridku. Aku tidak perlu berharap mereka mencintaiku. Cukup kuberikan cintaku saja kepada mereka dan biarkan mereka merasakannya. Tidak peduli apapun timbal balik dari mereka, yang harus kulakukan adalah tetap mencurahi mereka dengan rasa cinta. Pelajaran ini sungguh sangat berharga bagiku. Mungkin inilah yang kurang dari diriku selama ini.
Di lain waktu, perjalanan ini juga mempertemukanku kepada seseorang yang sangat out-of-the-box. Memang tidak ada seorang seniman yang menyebut dirinya sendiri sebagai seniman, tetapi orang ini dengan bangga menyebut dirinya sebagai seniman. Memang pemikiran dia sangat di luar pola pikir kita selama ini dan mungkin orang lain akan menyebut dia sebagai sekedar sebuah omong kosong belaka atau bahwa dia hanya bisa bicara saja. Tetapi, aku memaknai kata-kata orang ini dengan sangat dalam karena memang ada sebuah makna indah dari kata-katanya, terlepas dari apakah dia cuma ngomong doank atau memang memaknainya dalam hidupnya. Siapa peduli!
Namanya adalah Mario. Dia adalah anak dari kawannya Tante Yul yang bernama Tante Rita. Anak ini ikut dalam beberapa perjalanan kami. Dia mungkin terlihat seperti pria nakal berumur 25 tahun yang hidupnya cuma bisa bersenang-senang saja, tetapi itulah, dia mungkin seorang seniman kata-kata yang tulen. Dalam perjalanan pulang dari Bukittinggi, saat aku menyetir mobil sewaan kami untuk pulang ke Riau, dia bertanya kepadaku, "Roy, lo tau inti dari pendidikan apa? Maksudnya inti dari mendidik sebagai guru." Aku tentu saja sebagai seorang yang baru beberapa bulan mengajar tidak bisa menjawab banyak dan kemudian dia menjawab pertanyaannya sendiri.
"Buat gue, Inti dari pendidikan adalah kasih sayang. Jika kita hanya mengandalkan ilmu saja, tidak ada lulusan S1 yang bisa mengajari mahasiswa S2 atau S3. Tetapi dengan kasih sayang, bahkan lulusan SD pun pasti bisa mengajari para doktor botak itu."
Luar biasa! Aku cukup kaget mendengar kata-katanya itu. Benar juga, di dunia ini ada banyak orang-orang yang mungkin secara keilmuan lebih rendah dari orang lain yang diajarinya tetapi dia dapat menjadi seorang guru yang baik daripada orang yang ilmunya lebih tinggi itu. Karena apa? Karena kasih sayang. Terdengar klise, tetapi memang inilah intinya. Sampaikanlah dengan kasih sayang, sama seperti kata Om Syafril dan semua orang yang telah mengajariku sampai saat ini.
Aku mungkin hanya seorang lulusan ekonomi dan tidak memiliki latar belakang sebagai guru sedikitpun. Tetapi, jika aku menuangkan kasih sayang dalam pendidikanku, aku bisa mengajari semua orang. Ingatkah kalian dengan cerita Pay It Forward. Seorang anak bernama Trevor McKinney yang melalui idenya untuk menyebar kebaikan ke seluruh dunia dengan membalas budi bukan dengan mengembalikannya kepada dirinya tetapi dengan melakukan kebaikan kepada orang lain, Not paying back, but pay it forward. Dia hanya seorang anak kecil biasa tetapi karena dia memasukkan kasih sayang dalam apa yang dilakukannya dia telah mengajari orang-orang dewasa yang lebih pintar darinya bahkan mengubah hidup orang tua dan gurunya yang jelas lebih berpengalaman daripada dirinya.
Inilah inti pendidikan yang harus kita tanamkan dalam hati setiap pengajar, Kasih Sayang. Sekali lagi Klise tetapi menjelaskan secara keseluruhan dan merupakan inti yang paling hakiki. Mari kita mengajari dunia ini dengan kasih sayang, maka mereka akan mengerti akan apa yang kita sampaikan.
Perjalananku sebagai Pengajar Muda sekali lagi mempertemukanku dengan orang-orang hebat dan mengajariku banyak hal tentang kehidupan. Perjalanan ini juga menunjukkan kepada diriku betapa kecilnya aku, betapa tidak tahunya aku, dan betapa aku masih harus banyak belajar. Saatnya untuk kembali ke Pangkalan Nyirih dan mewujudkan semua impian murid-muridku dan menghiasi langit ini dengan pelangi impian mereka.
Smile Eternally
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda